Senin, 15 Juni 2020

Proses Perceraian Hindu Bali

Perceraian sangat tidak dianjurkan dalam agama Hindu, kecuali suami atau istri berkhianat dan tidak setia. Didalam Rg Weda perceraian telah melanggar Yadnya yang sudah dilakukan. Pada konteks tertentu pasangan suami istri tetap memilih berpisah tentu dengan pertimbangan yang matang dari kedua belah pihak.
Photo Credit: Iamexpat.nl
Kita tentu tidak asing dengan Istilah Tri Upasaksi yaitu:
Butha Saksi, Manusa saksi dan Dewa Saksi dalam upacara perwakinan Hindu Bali.
Butha Saksi, Bebanten yang ditujukan (di ayab) dan diletakkan di bawah (biyakoanan, pekala-kalan, pedengan-dengenan) sebagai pralambang
Manusa Saksi, lebih kepada pengesahan perkawinan sesuai dengan undang-undang perkawinan acara ini dihadiri oleh masyarakat, dimana petugas desa/adat (prajuru). Akta Perkawinan adalah bentuk manusa sakti
selaku wakilnya sebagai manusa saksi.
Dewa Saksi, adanya bebanten yang dihaturkan kehadapan Sang Hyang Widhi dan pemerajan/sanggah sebagai perwujudan dewa saksi. Dengan prosesi perkawawinan yang dilalui tersebut diatas maka perceraian hendaknya dilakukan sejalan dengan proses perkawinan, maka perceraian patut dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
  • Pasangan suami istri yang akan melangsungkan perceraian, harus menyampaikan kehendaknya itu kepada prajuru banjar atau desa pakraman. Prajuru wajib memberikan nasihat untuk mencegah terjadinya perceraian.
  • Apabila terjadi perceraian maka terlebih dahulu harus diselesaikan melalui proses adat, kemudian dilan­jutkan dengan mengajukannya ke pengadilan negeri untuk memper­oleh keputusan.
  • Menyampaikan salinan (copy) putusan perceraian atau akte perceraian kepada prajuru banjar atau desa pakraman. Pada saat yang bersamaan, prajuru banjar atau desa pakraman menyarankan kepada warga yang telah bercerai supaya melaksanakan upacara perceraian sesuai dengan agama Hindu.
  • Prajuru mengumumkan (nyobyahang) dalam paruman banjar atau desa pakraman, bahwa pasangan suami istri bersangkutan telah bercerai secara sah, menurut hukum nasional dan hukum adat Bali, sekalian menjelaskan swadharmamantan pasangan suami istri tersebut di banjar atau desa pakraman, setelah perceraian.
Perlu disadari kedua belah pihak akibat hukum perceraian adalah sebagai berikut.
  • Setelah perceraian, pihak yang berstatus pradana (istri dalam perkawinan biasa atau suami dalam perkawinan nyeburin) kembali ke rumah asalnya dengan status mulih daa atau mulih taruna, sehingga kembali melaksanakan swadharma berikut swadikara-nya di lingkungan keluarga asal.
  • Masing-masing pihak berhak atas pembagian harta gunakaya (harta bersama dalam perkawinan) dengan prinsip pedum pada (dibagi sama rata).
  • Setelah perceraian, anak yang dilahirkan dapat diasuh oleh ibunya, tanpa memutuskan hubungan hukum dan hubungan pasidikaran anak tersebut dengan keluarga purusa, dan oleh karena itu anak tersebut mendapat jaminan hidup dari pihak purusa.
Artikel diolah dari:
Keputusan Majelis Utama Desa Pekraman Bali(MUDP)

Visit Our Sponsor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar