Kamis, 11 Juni 2020

Cuntaka(Cemer atau Leteh)



Istilah cuntaka, cemer atau leteh tentu tidak asing bagi kita sebagai orang Bali(Hindu), yang sering kita dengar sebuah (lingkungan)desa adat dikatakan cuntaka, cemer atau leteh misalkan; terjadi tindakan yang menyimpang (bunuh diri, tindakan asusila dll). Dalam kamus Kawi-Indonesia kata cuntaka memiliki arti cemer (letuh). Berdasarkan keputusan pesamuhan agung PHDI 015/Tap/PA.PHDP/1984 kata Cuntaka digunakan untuk menyatakan suatu keadaan kotor (tidak suci) baik akibat dari kematian maupun hal – hal lain yang dipandang kotor. Jadi, istilah cuntaka dan sebel diartikan sama sebagai istilah untuk menyatakan suatu keadaan yang kotor secara spiritual baik karena kematian maupun hal – hal lain yang dipandang kotor dari segi adat agama.


Image: Koleksi Pribadi, Ngaben di Sandakan, Petang Badung

Dari pengertian tersebut maka cuntaka dapat digolongkan menjadi 2 macam
Cuntaka karena diri sendiri adalah orang yang dalam keadaan kotor (cemer), sehingga tidak boleh melakukan suatu upacara Agama dan memasuki tempat suci.
Cuntaka yang disebabkan oleh orang lain adalah orang yang dalam hubungan duka karena kematian, sehingga tidak boleh melakukan upacara keagamaan dan memasuki tempat suci kecuali kegiatan yang ada hubungannya dengan upacara kematian tersebut.
Jenis-Jenis Kecuntakaan:
A. Cuntaka lantaran kotor lahiriah ( sebel )
Hindari Bedarah darah masuk pura, yang sedang Menstruasi, luka berdarah termasuk tukang paebat yang tangannya masih belepotan dengan darah.
Hindari netekin / menyonyonin di pura.
Hindari badan yang masih kotor, belepotan masuk pura, sehingga menimbulkan nuansa yang tidak sreg untuk sembahyang bagi yang lainnya yg datang sembah.
Hindari membuang kotoran dipura ( buang air besar / kecil )
Hindari rambut jatuh di pura, sehingga diusahakan untuk mepusungan ke pura bagi yang istri, bagi yang lanang jangan potong rambut, kumis, jenggot dipura.
Hindari meninggalkan kotoran, daki,bagian dari tubuh kita di pura, misalnya potong kuku, gosok gigi, korek kuping dsbnya.
Terkadang ada yang menerapkan bagi anak wanita yang sudah semestinya datang bulan, tetapi sudah tutug kelih bulannya tak kunjung datang.
B. Cuntaka lantaran manah ( sebet )
Ada bagian keluarga yang meninggal ( Umumnya mereka yg tunggal sembah ) penerapan awig awig ini sangat beraneka ragam : Area Sebelnya ada sebatas tunggal sembah, sebatas tembok kiri kanan depan belakang, ada sampai sebatas dusun dan juga terkadang ada sampai satu desa.
Demikianpun durasi lama waktu cuntaka ini, sangat bervariasi, ada sebatas s/d Ngerorasin bagi yang meninggal, ada sebatas ngelinggihan dewa hyang tergantung dari commitment krama adat itu sendiri.
Hilang ingatan ( dianggap mati ) mayat berjalan
Kelahiran Bayi ( puput puser batas cuntaka sang ayah), dan 42 hari batas cuntaka sang Ibu.
Pada umum cuntaka seperti diatas ini penerapannya hampir sama, namun terkadang ada juga yg berbeda, tetapi perbedaannya tidak terlalu menjolok. Nah inilah biasanya di buatkan awig awig dalam tatanan masuk pura yang bertujuan untuk menjaga kesucian pura yang merupakan milik orang banyak.

C. Cuntaka yang tidak dapat diprediksi/diduga/diperkirakan.

Ada bebrapa cuntaka yang sangat sulit untuk dideteksi orang lain, malahan terkadang hanya orang yang bersangkutan saja mengetahui dirinya tak layak untuk ke pura Sehingga pikiranya menjadi labil misalnya:
Telah melakukan perbuatan asusila, nyolong, memfitnah, berkelahi (tetapi orang lain belum tentu tau kondisinya)
Gamya Gemana – kawin dengan cara yang tidak wajar ( dg ibu kandung, anak, dengan binatang dsbnya)
Marah marah Mojar gangsul, nangun kroda, sehingga kalau dipaksakan dirinya berada di pura bisa jadi akan mempengaruhi keheningan dalam sembahyang.
Banyak lagi contoh contoh yang lainnya, sehingga yg beginian sangat sulit untuk di prediksi sehingga sulit untuk mengundang undangkan.

Artikel ini : Dari Postingan IPM AGRA DWIJANANDA


Tidak ada komentar:

Posting Komentar