Kamis, 18 Juni 2020

Nyentana Menurut Manawa Dharmasatra



Nyentana Sah Menurut Manawa Dharmacastra.

Pada dasarnya system kekerabatan dalam masyarakat Bali menganut sistem Patrilineal. Dimana, keturunan yang dilahirkan mengikuti keluarga pihak ayahnya. Tujuan perkawinana secara kasat mata hanya untuk melanjutkan keturunan suatu keluarga (dinasti). Masalah akan timbul manakala suatu keluarga tidak memiliki anak laki-laki sebagai penerus keturunan. Sehingga, untuk menghindari keputungan keluarga (putusnya keturunan) keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki ini akan menetapkan salah seorang anak perempuannya sebagai sentana rajeg (statusnya ditingkatkan menjadi laki-laki yang akan mewarisi milik orang tuanya).




Image by: Hipwee



Sebagian masyarakat Bali berargumen bahwa perkawinan Nyentana tidak boleh dilakukan. Karena mereka khawatir keturunannya yang menjadi keluarga pihak perempuan tersebut akan ‘’kesakitan’’ dan kesulitan dalam menentukan kawitannya (asal-muasal keturunan). Masalah berikutnya yang banyak ditakutkan yakni terkait dengan pembagian warisan dan nasib anaknya ketika terjadi perceraian dengan istrinya.

Dalam masyarakat adat Bali, kalau seorang laki-laki mengikuti pihak keluarga istrinya biasanya oleh keluarganya maupun lingkungannya akan dicemooh dan disebut ‘’Kepaid Bangkung’’. Sebenarnya, uangkapan kasar inilah yang sangat ditakutkan oleh pihak keluarga lelaki yang anaknya nyentana. Secara yuridis pelaksanaan nyentana dengan kepaid bangkung berbeda. Karena proses nyentana jelas dilakukan dengan sebuah upacara sehingga status pengantin pria juga jelas menjadi bagian dari keluarga istrinya. Sementara kepaid bangkung sampai sekarang masih rancu karena biasanya status laki-aki tetap pada keluarganya hanya saja tinggalnya dirumah istri. Itulah biasanya disebut kepaid bangkung.
- JUAL BANTEN MURAH hub.08980563916 atau KLIK DISINI

Namun demikian, argument ini tidak 100 % benar. Larangan perkawinan nyentana hanya didasarkan atas kebiasaan dari adat yang berlaku semata. Karena sebagian daerah tidak ada kebiasaan nyentana jadi wajarlah masyarakat adat disana menentang perkawinan ini. Sebenarnya golongan masyarakat yang melakukan penentangan dengan kebiasaan perkawinan nyentana ini sangat tidak memahami dari hakekat perkawinan dan penentangan yang mereka lakukan tidak memiliki dasar hokum yang kuat. Mereka hanya mendasarkan larangan melakukan perkawinan nyentana berdasarkan adat kebiasaan. Perlu diingat, adat kebiasaan muncul karena kesepakatan dalam suatu masyarakat adat yang dilakukan dan akhirnya diikuti secara turun temurun. Sehingga lama-kelamaan kebiasaan tersebut berubah menjadi hukum adat.

Dalam agama Hindu, tidak ada sloka atapun pasal yang melarang perkawinan nyentana. Namun demikian kembali seperti keterangan diatas masyarakat pada umumnya memandang negatif perkawinan ini. Karena pihak keluarga laki-laki akan dianggap tidak memiliki harga diri.

Kitab Manawa Dharmasastra sebagai sumber hokum positif yang berlaku bagi umat Hindu secara tegas menyebutkan mengenai status anak wanita yang ditegakkan sebagai penerus keturunan dengan sebutan Putrika (perempuan yang diubah statusnya menjadi laki-laki. Cloka 127 kitab tersebut secara gamblang menyebutkan ‘’Ia yang tidak mempunyai anak laki-laki dapat menjadikan anaknya yang perempuan menjadi demikian (status lelaki) menurut acara penunjukan anak wanita dengan mengatakan kepada suaminya anak laki-laki yang lahir daripadanya akan melakukan upacara penguburan’’.

Dari uraian Cloka tersebut, jelaslah bahwa perkawinan nyentana dibolehkan. Lelaki yang mau Nyentana inilah yang disebut Sentana. Dengan demikian, argument yang mengatakan pelarangan terhadap perkawinan nyentana harus dipandang tidak beralasan karena tidak memiliki dasar hokum yang jelas. Pelarangan ini hanya didasarkan atas kebiasaan yang ada. Adat kebiasaan muncul karena perilaku yang diakui dan dilakukam secara turun-temurun. Sehingga kebiasaan ini bukanlah dasar yang logis dijadikan alasan untuk menentang perkawinan nyentana.

Demikian halnya dengan pembagian warisan dalam perkawinan Nyentana. Dalam Cloka 132 Manawa Dahrmacastra disebutkan, ‘’Anak dari wanita yang diangkat statusnya menjadi laki-laki sesuangguhnya akan menerima juga harta warisan dari ayahnya sendiri yang tidak berputra laki-laki(kakek). Ia akan menyelenggarakan Tarpana bagi kedua orang tuanya, maupun datuk ibunya’’. Selanjutnya Cloka 145 menyebutkan’’Anak yang lahir dari wanita yang statusnya ditingkatkan akan menjadi ahli waris seperti anak sendiri yang sah darinya. Karena hasil yang ditimbulkan adalah untuk dari pemilik tanah itu menurut UU’’.

Diolah dari berbagai sumber.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar