Image by: vemale.com
Memiliki anak kembar tentu menyenangkan apalagi bagi yang belum dikarunia anak. Banyak yang berpendapat memiliki anak kembar tidak masalah sekalian repotnya (tentu dalam artinya sekalian sibuknya ngurusin dua anak sekaligus) apalagi memiliki anak kembar laki-laki dan perempuan sekalian satu paket. Dahulu kala Di Bali kelahiran kembar laki-laki dan perempuan dikenal dengan istilah kembar buncing atau manak salah. Ada cerita miris mengenai Kembar Buncing, konon dimasa lalu jika seorang ibu yang melahirkan laki-perempuan bisa bermakna ganda. Jika dari keluarga raja hal itu bisa berarti berkah atau keberuntungan. Sebaliknya, bagi masyarakat kebanyakan hal itu bisa dikatakan bencana atau aib dan tak lazim. Sebenarnya tradisi dijaman kerajaan itu telah dihapus dalam sebuah keputusan DPRD Bali pada tahun 1951. Namun, kehidupan modern sekarang masih ada yang menerapkan seperti yang terjadi di Nusa Lembongan, Nusa Penida, Klungkung dan beberapa wilayah lainnya. konon ketika warga disana ada yang melahirkan bayi kembar (manak salah), desa adat setempat batal melakukan upacara melasti penyepian lantaran dinilai masih leteh(kotor/cemar).
- JUAL BANTEN MURAH hub.08980563916 atau KLIK DISINI
Situasi masa lalu dibeberapa wilayah tersebut tentu sangat bertentangan dengan nurani kita sebagai manusia. Kelahiran adalah anugerah dari Sang Hyang Widhi, bagaimana mungkin kelahiran dimaknai sebagai aib.
Semua kelahiran merupakan berkah. Tidak ada istilah lahir salah (manak salah) yang kemudian dianggap ngeletehin (menodai) desa sehingga perlu diupacarai. Terlebih ada pembenar bahwa jika raja melahirkan kembar buncing dianggap berkah, sementara rakyat dianggap bersalah sehingga perlu diberikan sanksi. Akan merupakan kemunduran jika pada era sekarang masih ada pengenaan sanksi adat kepada pasangan suami-istri yang melahirkan anak kembar buncing, sebab pemerintah Bali sejak tahun 1951 telah mengeluarkan keputusan tentang pelarangan pengenaan sanksi semacam itu. Oleh karenanya, tradisi kerajaan yang berlaku dulu itu sudah saatnya ditinggalkan. Terlebih dalam konsep religius dipandang bahwa tiap kelahiran adalah menebus dosa yang tertinggal pada kelahiran masa lampau.
Dosen STAHN Denpasar Drs. Gede Rudia Adiputra menegaskan, dalam agama Hindu tidak ada istilah manakan salah. “Dalam sastra agama tidak ada disebutkan kembar buncing itu merupakan manak salah sehingga perlu diupacarai karena dianggap leteh,” katanya. Jangankan pada diri manusia, tegasnya, jiwatman yang ada pada butha saja mesti di-ruwat agar derajatnya bisa meningkat.
Dikatakan, munculnya tradisi manakan salah semata-mata karena prestise orang-orang tertentu pada zaman dulu. Terutama ketika Belanda menerapkan politik pemecah belah, raja tidak boleh disamakan dengan rakyat dan rakya tidak boleh menyamai (memada) raja. Tradisi itu kemudian dikaitkan dengan keagamaan sehingga terkesan sangat sakral. Oleh karena dikaitkan pada agama jelas hal itu merasuk tulang sumsum spiritual umat. Akibatnya, begitu kembar buncing dicap ngeletehin desa, maka hal itu tidak bisa diganggu gugat dan mesti diterima. Terlebih hal itu didukung oleh raja dan purahita (penguasa politik). Jika ada masyarakat yang tidak mendukung, sudah bisa dibayangkan sanksi yang akan diterima. “Mau tidak mau masyarakat menerima, dan ikut larut pada tradisi seperti itu. Masyarakat yang melahirkan anak kembar semacam itu lalu menjadi trauma, dan mengangap dirinya orang-orang berdosa atau orang-orang yang ngeletehin,” ujarnya.
Jadi ditinjau dari segi agama, kata dia, jelas tidak benar dan tradisi itu melanggar hak asasi manusia. Belum terhapusnya tradisi semacam itu dia menilai karena masih ada dualisme pemahaman di masyarakat. Terutama bagi mereka yang percaya terhadap hal itu, jelas tidak berani meninggalkan tradisi tersebut. “Ini yang masih terjadi di masyarakat sehingga tidak ada keberanian untuk meninggalkan tradisi semacam itu, kecuali secara perlahan-lahan.” Oleh karena itu, lanjutnya, peraturan yang pernah dikeluarkan Pemerintah Daerah Bali tahun 1951 itu perlu dimasyarakatkan terus, baik melalui aparat desa, desa adat, maupun pemerintah yakni melalui Departemen Agama.
Bahkan dia menegaskan, kembar buncing dianggap manak salah sudah merupakan penghakiman, karena dalam konsep relegius memandang tiap kelahiran adalah menebus dosa yang tertinggal pada kelahiran terdahulu. Di samping pemahaman masyarakat perlu diubah, semua pihak harus berani mengatakan bahwa kembar buncing itu tidak salah karena jelas-jelas dalam sastra agama tidak ada disebutkan hal itu.
Drs. Ketut Wiana sepakat dengan Rudia Adiputra bahwa manak salah itu merupakan tradisi kerajaan. ”Itu jelas tradisi kerajaan dan bukan tradisi agama. Jeleknya lagi, masih banyak pemimpin umat kita memegang tradisi itu.” Padahal, kata Wiana yang Ketua III PHDI Pusat, tradisi itu sudah dihapus sejak 1951 sekaligus sanksi adat lainnya yang sudah tidak cocok lagi. ”Namun, sayang sampai sekarang hal itu masih saja terjadi.”
Harus diakui, kata Wiana, rasa agama umat Hindu sudah sangat tinggi tetapi pengetahuan agama masih kurang sehingga sulit membedakan mana tradisi agama dan mana tradisi kerajaan. Pengenaan sanksi hukum adat terhadap mereka yang melahirkan kembar buncing sangat bertentangan dengan ajaran agama dan melanggar hak asasi manusia. ”Sangat tidak masuk akal, raja yang melahirkan anak kembar buncing dianggap berkah atau karunia, sedangkan jika itu terjadi di masyarakat dianggap salah,” ujarnya.
Tradisi semacam itu sudah saatnya ditinggalkan karena tidak sesuai dengan ajaran agama. Sementara itu semua pihak baik pemerintah, Parisada maupun Departemen Agama menjadi mediator agar terwujudnya beragama yang benar. ”Tradisi yang baik mesti dilestarikan, sedangkan yang jelek sudah saatnya ditinggalkan. Kebiasaan yang bersumber pada ajaran agama wajib dilestarikan, yang tidak baik jangan dipakai lagi,” tandas Wiana.
Terima kasih: Bali Post
Situasi masa lalu dibeberapa wilayah tersebut tentu sangat bertentangan dengan nurani kita sebagai manusia. Kelahiran adalah anugerah dari Sang Hyang Widhi, bagaimana mungkin kelahiran dimaknai sebagai aib.
Semua kelahiran merupakan berkah. Tidak ada istilah lahir salah (manak salah) yang kemudian dianggap ngeletehin (menodai) desa sehingga perlu diupacarai. Terlebih ada pembenar bahwa jika raja melahirkan kembar buncing dianggap berkah, sementara rakyat dianggap bersalah sehingga perlu diberikan sanksi. Akan merupakan kemunduran jika pada era sekarang masih ada pengenaan sanksi adat kepada pasangan suami-istri yang melahirkan anak kembar buncing, sebab pemerintah Bali sejak tahun 1951 telah mengeluarkan keputusan tentang pelarangan pengenaan sanksi semacam itu. Oleh karenanya, tradisi kerajaan yang berlaku dulu itu sudah saatnya ditinggalkan. Terlebih dalam konsep religius dipandang bahwa tiap kelahiran adalah menebus dosa yang tertinggal pada kelahiran masa lampau.
Dosen STAHN Denpasar Drs. Gede Rudia Adiputra menegaskan, dalam agama Hindu tidak ada istilah manakan salah. “Dalam sastra agama tidak ada disebutkan kembar buncing itu merupakan manak salah sehingga perlu diupacarai karena dianggap leteh,” katanya. Jangankan pada diri manusia, tegasnya, jiwatman yang ada pada butha saja mesti di-ruwat agar derajatnya bisa meningkat.
Dikatakan, munculnya tradisi manakan salah semata-mata karena prestise orang-orang tertentu pada zaman dulu. Terutama ketika Belanda menerapkan politik pemecah belah, raja tidak boleh disamakan dengan rakyat dan rakya tidak boleh menyamai (memada) raja. Tradisi itu kemudian dikaitkan dengan keagamaan sehingga terkesan sangat sakral. Oleh karena dikaitkan pada agama jelas hal itu merasuk tulang sumsum spiritual umat. Akibatnya, begitu kembar buncing dicap ngeletehin desa, maka hal itu tidak bisa diganggu gugat dan mesti diterima. Terlebih hal itu didukung oleh raja dan purahita (penguasa politik). Jika ada masyarakat yang tidak mendukung, sudah bisa dibayangkan sanksi yang akan diterima. “Mau tidak mau masyarakat menerima, dan ikut larut pada tradisi seperti itu. Masyarakat yang melahirkan anak kembar semacam itu lalu menjadi trauma, dan mengangap dirinya orang-orang berdosa atau orang-orang yang ngeletehin,” ujarnya.
Jadi ditinjau dari segi agama, kata dia, jelas tidak benar dan tradisi itu melanggar hak asasi manusia. Belum terhapusnya tradisi semacam itu dia menilai karena masih ada dualisme pemahaman di masyarakat. Terutama bagi mereka yang percaya terhadap hal itu, jelas tidak berani meninggalkan tradisi tersebut. “Ini yang masih terjadi di masyarakat sehingga tidak ada keberanian untuk meninggalkan tradisi semacam itu, kecuali secara perlahan-lahan.” Oleh karena itu, lanjutnya, peraturan yang pernah dikeluarkan Pemerintah Daerah Bali tahun 1951 itu perlu dimasyarakatkan terus, baik melalui aparat desa, desa adat, maupun pemerintah yakni melalui Departemen Agama.
Bahkan dia menegaskan, kembar buncing dianggap manak salah sudah merupakan penghakiman, karena dalam konsep relegius memandang tiap kelahiran adalah menebus dosa yang tertinggal pada kelahiran terdahulu. Di samping pemahaman masyarakat perlu diubah, semua pihak harus berani mengatakan bahwa kembar buncing itu tidak salah karena jelas-jelas dalam sastra agama tidak ada disebutkan hal itu.
Drs. Ketut Wiana sepakat dengan Rudia Adiputra bahwa manak salah itu merupakan tradisi kerajaan. ”Itu jelas tradisi kerajaan dan bukan tradisi agama. Jeleknya lagi, masih banyak pemimpin umat kita memegang tradisi itu.” Padahal, kata Wiana yang Ketua III PHDI Pusat, tradisi itu sudah dihapus sejak 1951 sekaligus sanksi adat lainnya yang sudah tidak cocok lagi. ”Namun, sayang sampai sekarang hal itu masih saja terjadi.”
Harus diakui, kata Wiana, rasa agama umat Hindu sudah sangat tinggi tetapi pengetahuan agama masih kurang sehingga sulit membedakan mana tradisi agama dan mana tradisi kerajaan. Pengenaan sanksi hukum adat terhadap mereka yang melahirkan kembar buncing sangat bertentangan dengan ajaran agama dan melanggar hak asasi manusia. ”Sangat tidak masuk akal, raja yang melahirkan anak kembar buncing dianggap berkah atau karunia, sedangkan jika itu terjadi di masyarakat dianggap salah,” ujarnya.
Tradisi semacam itu sudah saatnya ditinggalkan karena tidak sesuai dengan ajaran agama. Sementara itu semua pihak baik pemerintah, Parisada maupun Departemen Agama menjadi mediator agar terwujudnya beragama yang benar. ”Tradisi yang baik mesti dilestarikan, sedangkan yang jelek sudah saatnya ditinggalkan. Kebiasaan yang bersumber pada ajaran agama wajib dilestarikan, yang tidak baik jangan dipakai lagi,” tandas Wiana.
Terima kasih: Bali Post
Visit Our Sponsor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar