Selasa, 30 Juni 2020

Upacara Mulang Pakelem Umat Hindu di Lombok

UPACARA MULANG PEKELEM (Tradisi Tahunan Umat Hindu Di Lombok Untuk Keharmonisan Alam Semesta)
Upacara Mulang Pekelem dan Bumi Sudha tergolong upacara besar bagi umat Hindu di Pulau Lombok. Peserta yang hadir bukan hanya umat Hindu dari Pulau Lombok, tapi juga dari Bali, Jawa, dan Kalimantan. Upacara ini adalah refleksi dari konsep Tri Hita Karana.
Image by: Courtesy by Google
Konsep tersebut didasari untuk memberikan sebuah pengorbanan suci agar alam dibersihkan dari kekuatan jahat dan manusia bisa hidup dalam harmoni dengan alam di sekitarnya. Apalagi, berbagai bencana alam yang muncul akhir-akhir ini membuat ritual itu patut dilakukan. Sejatinya, ritual Mulang Pekelem dan Bumi Sudha adalah perjalanan panjang yang akan melelahkan, menyita waktu, pikiran, dan tenaga luar biasa. Pasalnya, selama tiga hari mereka akan mendaki Gunung Rinjani untuk sampai di Danau Segara Anak, yang diyakini sebagai pusat spiritual di Tanah Sasak.
Gunung Rinjani adalah gunung berapi tertinggi kedua di Tanah Air dengan ketinggian mencapai 3.726 meter dari permukaan laut. Bagi umat Hindu, gunung ini mempunyai nilai spiritual yang tinggi, magis, dan keramat. Seperti halnya Gunung Himalaya di India atau Gunung Semeru di Pulau Jawa, Rinjani menjadi sebuah tempat yang mempunyai getar kesucian yang tinggi. Tempat para Dewa kerap berkumpul untuk memberikan anugerah kehidupan. Di kawasan ini, tumbuh-tumbuhan dan binatang hidup dengan penuh vitalitas. Itu semua dipercaya berkat dukungan energi dari Sang Gunung. Air dari Danau Segara Anak mengairi sebagian besar sawah di Pulau Lombok dan menjadi sumber kehidupan bagi orang Sasak. Tak heran, Gunung Rinjani kerap disebut sebagai gunung kehidupan.
Image by: Courtesy by Google
Konon, kesucian Gunung Rinjani telah diyakini umat Hindu sejak abad XVI. Pada kurun waktu itulah Yadnya Mulang Pekelem dan Bumi Sudha pertama kali digelar. Saat itu, Kerajaan Karang Asem dilanda kemarau panjang yang mengakibatkan kekeringan dan wabah penyakit. Menghadapi bencana ini,
Raja Anglurah Karangasem melakukan sembahyang dan semadi di Gunung Sari. Dalam tapanya, Raja mendapat bisikan untuk melakukan Yadnya Bumi Sudha dan Mulang Pekelem pada Purnama Sasih Kelima di Danau Segara Anak, Gunung Rinjani. Ajaib, seusai ritual digelar, hujan turun membasahi bumi dan membawa berkah kesehatan bagi masyarakat setempat.
Sejak itulah, upacara tersebut hingga kini tetap diteruskan para penganut agama Hindu di Lombok. Kepatuhan dan kesetiaan mutlak atas adanya kehidupan yang lebih agung di luar kehidupan manusia membuat mereka mempertahankan tradisi ini. Mereka rela berkorban baik lahir dan batin agar mendapatkan sebuah tempat terdekat di tengah bumi. Sejatinya, semua itu dilakukan agar bisa merasakan getar kesucian Sang Hyang Widi Wasa
Perjalanan menuju Danau Segara Anak pun dilakukan. Dengan bekal seadanya, mereka memulai prosesi pengorbanan untuk mendapatkan berkah dari Yang Maha Kuasa. Bukit terjal nan mendaki, cucuran keringat serta udara dingin yang mulai menusuk tulang di ketinggian gunung, tak menyurutkan niat mereka. Laki-laki, perempuan, orang tua, dan anak-anak, seolah mendapatkan kekuatan gaib untuk melalui perjalanan yang sulit, layaknya pendaki gunung tangguh.
Tiga hari menjelang Purnama Sasih Kelima, rombongan akhirnya melewati separuh waktu perjalanan untuk sampai di Segara Anak. Di sebuah tempat yang menjadi pertemuan tiga sumber mata air yang disebut Poprok, mereka berhenti untuk memasang tenda dan sembahyang. Poprok juga disebut Tirta Pecampuan, mempunyai makna tersendiri bagi umat Hindu. Pertemuan tiga sumber mata air yaitu air dingin dari Segara Anak, air panas dari magma gunung, dan air belerang dari sumber yang lain, membuat tempat ini mempunyai energi spiritual yang kuat. Di tempat ini, mereka menghabiskan waktu dengan menginap dalam dinginnya kabut gunung.
Menjelang pagi, perjalanan spritual diteruskan. Dengan keikhlasan seorang hamba, mereka kembali mendaki bukit-bukit di lereng Rinjani. Keringat mulai menetes dan kidung mulai didendangkan untuk menghilangkan rasa penat.
Di beberapa tempat yang dianggap keramat, perjalanan sempat terhenti. Sejumlah anak muda baik laki-laki dan perempuan yang kuat sempat berebut masuk ke sebuah gua untuk sembahyang. Kesempatan ini juga dimanfaatkan oleh mereka yang sudah kelelahan untuk beristirahat.
Delapan jam sudah mereka berjalan sejak berangkat dari Poprok. Letih dan penat melewati jalan yang terjal dan mendaki mulai dirasakan beberapa peserta upacara. Kendati begitu, semangat mereka untuk sampai ke tujuan tak pernah surut. Pelan tapi pasti. Hingga akhirnya, perjalanan sampai di tempat tujuan. Danau Segara Anak.
Di tempat yang cukup lapang di pinggir danau, dibangun sebuah pure sementara. Penjor sebagai tanda adanya upacara suci didirikan. Beberapa cerucuk yang menjadi tempat sesaji dipasang di sembilan arah mata angin. Sesaji dan bebanten yang akan ditaruh di cerucuk-cerucuk juga disiapkan.
Image by: Courtesy by Google
Beberapa peristiwa kecil terjadi saat berlangsungnya berbagai persiapan upacara. Danau yang tadinya tenang, tiba-tiba beriak ditiup angin cukup kencang. Kabut tebal pun menutupi permukaan danau. Di tengah suasana itu, suatu pesan gaib datang melalui seorang lelaki yang kerasukan. Pesan dari Dewa Bayu yang ternyata telah terlupakan untuk disebut dalam upacara.
Kerasukan saat malam tiba, pertanda dimulai upacara pembuka. Upacara Melaspas dan Nuhur begitu disebut. Melaspas dilakukan untuk menyucikan tempat upacara dari kekuatan jahat yang mengganggu. Sedangkan Nuhur dilantunkan sebagai undangan kepada para Dewata penunggu Gunung Rinjani untuk mengiringi persembahan.
Beberapa pesan gaib kembali muncul dengan berbagai cara. Di tengah upacara, seorang perempuan tiba-tiba kerasukan dan menyampaikan beberapa pesan dari dunia supranatural.
Namun dengan kekuatan keyakinan mereka, Melaspas dan Nuhur diteruskan hingga persiapan upacara mencapai kesempurnaan.
Ketika Purnama Sasih kelima telah tiba, Yadnya Bumi Sudha dan Mulang Pekelempun digelar. Gadis-gadis penari membuka upacara dengan menyajikan tarian suci untuk para Dewata dan para Kala agar tak mengganggu umat yang sedang upacara. Upacara kali ini dikhususkan untuk Yadnya Bumi Sudha. Bumi Sudha dilakukan lima tahun sekali sebagai upacara besar untuk menyeimbangkan jagad alit dunia manusia dengan jagad ageng. Penyeimbangan itu dilakukan dengan mengorbankan beberapa ekor hewan.
Melalui pengorbanan binatang-binatang itu, Bumi akan dibersihkan dari unsur-unsur jahat yang merusak. Unsur-unsur jahat yang terkadang masuk ke dalam tubuh manusia lewat sifat-sifat yang merusak alam. Doa-doa dipanjatkan kepada Sang Hyang Widi Wasa agar bumi dibersihkan dari pengaruh-pengaruh jahat. Manusia dibersihkan hatinya. Begitu pula alam, tempat hidup yang sempurna bagi semua makluk dibersihkan agar kehidupan harmoni bisa tetap terjaga.
Puluhan binatang disembelih sebagai korban agar dunia tenteram dan damai. Kerbau, sapi, kambing dan sembilan jenis binatang peliharaan lain dikorbankan untuk dipersembahkan kepada para Dewa di sembilan penjuru mata angin.
Sebagai puncak acara, sejumlah binatang liar dilepas ke alam bebas agar mereka beranak pinak dan menciptakan keseimbangan alam di Gunung Rinjani. Upacara Bumi Sudha pun ditutup menjelang malam. Kandang bintang dibakar sebagai simbol dikembalikannya segala unsur kehidupan ke haribaan alam. Prosesi pun berakhir untuk dilanjutkan esok hari, saat Yadnya Mulang Pekelem akan melengkapi ritual pengorbanan para pemeluk agama Hindu.
Lima hari telah dilalui. Perjalanan panjang yang melelahkan telah ditempuh. Tapi, kesetiaan dan pengorbanan kepada sang Hyang Widi Wasa masih dianggap belum lengkap. Maka pada hari keenam, disiapkanlah upacara Yadnya Mulang Pekelem. Melalui wayang, simbol-simbol dan makna Mulang Pekelem dijabarkan kepada seluruh umat.
Mulang Pekelem adalah bentuk lain pengorbanan umat Hindu kepada Tuhan. Pengorbanan ini dilakukan dengan menenggelamkan benda-benda berharga, seperti emas, perak, tembaga, dan uang logam ke dalam Segara Anak. Logam mulia yang dibentuk dalam berbagai simbol harapan. Bentuk Udang sebagai simbol kesuburan. Kura-kura sebagai simbol dunia. Ikan sebagi simbol kehidupan. Peripihan atau lempengan hewan, dan unggas sebagai simbol alam semesta.
Dengan pengorbanan ini, maka Dewata diharapkan akan menganugerahkan hujan dan kesuburan di Tanah Sasak. Dalam suasana penuh haru, emas, perak, tembaga, dan uang logam yang telah dibungkus dalam beberapa lembar kain siap dilarung oleh para pemuda. Dalam dinginnya kabut Rinjani, beberapa pemuda berlomba saling mendahului masuk ke Segara Anak. Seolah berlomba untuk menunjukkan kesetiaan dan pengorbanan terbaik mereka kepada Dewata Penguasa Segara Anak. Satu demi satu benda-benda berharga itu tenggelam dalam rahim danau suci Segara Anak.
Akhirnya semua simbol kebendaan dipersembahkan kepada para Dewata Penguasa Gunung Rinjani tuntas. Yadnya demi yadnya telah digelar. Bumi telah diruwat. Harmoni kehidupan telah dimohonkan kepada Sang Maha Batara Penguasa Jagad Raya. Saat purnama sasih kelima mulai muncul di atas langit, mereka melepaskan kepenatan dengan mementaskan tari topeng. Tari topeng untuk menutup perjalanan suci agar bumi dan seisinya dibebaskan dari Sang Betara Angkara.

Visit Our Sponsor

Filosofi Hari Raya Saraswati

Upacara yang dilaksanakan oleh umat Hindu, khususnya di Bali memiliki nilai-nilai filosofis, dan para generasi Hindu tidak henti-hentinya diarahkan untuk memahami filosofi yang tersembunyi dibalik semua upacara tersebut. Sebab sesungguhnya ajaran-ajaran agama Hindu lebih banyak disampaikan dalam bentuk upacara, yang mana perlu terus dikupas untuk mendapatkan makna yang terkandung didalamnya.
Secara etimologi, kata Saraswati sendiri berasal dari bahasa sansekerta yaitu dari kata Saras yang berarti sesuatu yang mengalir, seperti air ataupun ucapan. Sedangkan kata Wati berarti memiliki. Jadi kata Saraswati berarti sesuatu yang terus mengalir, atau sebagai suatu ucapan yang terus mengalir. Bagaikan ilmu pengetahuan yang tiada habis-habisnya untuk di pelajari.
Sebuah kata atau ucapan baru akan mempunyai makna lebih bilamana didasari oleh ilmu pengetahuan. Sebab hanya ilmu pengetahuan (dalam arti luas) yang mampu menjadi dasar bagi seseorang untuk memperoleh kebijaksanaan yang merupakan landasan untuk mencapai suatu kebahagiaan lahir bhatin (Ananda).
Pada saat pelaksanaan upacara hari raya Saraswati, umat Hindu di Bali khususnya merayakan dengan menghaturkan upakara kepada tumpukan lontar-lontar dan kitab sastra-sastra agama, serta buku-buku ilmu pengetahuan lain, sebagai wujud syukur atas ilmu pengetahuan yang telah terbit menerangi kehidupan manusia. Umat Hindu memandang Aksara sebagai lambang sthana Sang Hyang Aji Saraswati. Aksara yang termuat dalam bentuk lontar ataupun buku-buku adalah serangkaian huruf-huruf yang membentuk ilmu pengetahuan baik Apara Widya maupun Para Widya.
Apara widya adalah segala pengetahuan yang mengetengahkan tentang ciptaan-ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, termasuk di dalamnya pengetahuan tentang keberadaan Bhuwana agung dan Bhuwana alit.
Para Widya adalah ilmu pengetahuan yang mengajarkan tetang hakekat Ketuhanan itu sendiri.
Di Bali dan di Indonesia pada umumnya tidak terdapat pelinggih khusus untuk memuja Sang Hyang aji Saraswati. Gambar maupun patung Dewi Saraswati yang kita kenal saat ini berasal dari India. Ada yang menggambarkan Dewi Saraswati sedang duduk, ada pula yang menggambarkan Dewi Saraswati sedang berdiri di atas seekor angsa dan bunga teratai. Pun ada yang melukiskan Beliau berdiri di atas setangkai bunga teratai (Padma), dengan ditemani seekor angsa dan merak yang berdiam di kedua sisinya atau mengapit Beliau. Perbedaan versi tersebut bukanlah suatu masalah yang harus di permasalahkan atau di perdebatkan. Namun yang terpenting adalah bagaimana kita memaknai simbol-simbol yang ada untuk memperoleh sari-sari filosofis yang termuat di dalamnya.
Dewi Saraswati yang digambarkan sebagai seorang Dewi yang cantik rupawan, dimaksudkan untuk menyatakan dan melambangkan bahwa ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang demikian menarik dan mengagumkan, sehingga banyak yang tergila-gila untuk mengenalnya. Maka dari itu, seseorang yang dipenuhi oleh ilmu pengetahuan akan memancarkan aura daya tarik yang luar biasa, yang mampu menarik orang-orang di sekitarnya untuk mendekat. Dalam Kekawin Niti sastra dikatakan bahwa : Orang yang tanpa ilmu pengetahuan, amatlah tidak menarik, meskipun masih muda usia , berwajah tampan, dari keturunan yang baik ataupun bangsawan, karena orang seperti itu ibarat bunga teratai yang berwarna merah menyala namun tidak memiliki bau yang harum, yang mampu menarik kumbang-kumbang untuk mendekat, tiadalah gunanya.
Cakepan atau Lontar yang di bawa oleh Dewi Saraswati merupakan perlambang dari ilmu pengetahuan.
Genitri/Japa Mala,  melambangkan bahwa ilmu pengetahuan sesungguhnyalah sesuatu yang tiada akhirnya, tidak akan ada habis-habisnya untuk dipelajari, bagaikan putaran sebuah genitri/japamala yang tiada terputus.
Wina/Rebab adalah sejenis alat musik yang suaranya amat merdu dan melankolis, sebagai perlambang bahwa ilmu pengetahuan mengandung suatu keindahan dan nilai estetika yang sangat tinggi.
Bunga Padma/Teratai berdaun delapan adalah lambang dari pada Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit, sebagai sthana Tuhan Yang Maha Esa dengan Asteswarya-Nya,dan juga merupakan lambang kesucian yang menjadi hakekat daripada ilmu pengetahuan.
Angsa adalah sejenis unggas yang dikatakan memiliki sifat-sifat kebaikan, kebersamaan dan kebijaksanaan. Mereka memiliki kemampuan untuk memilih makanannya, meskipun makanan itu bercampur dengan lumpur atau air kotor. Yang dimasukkan kedalam perutnya hanyalah makanan-makanan yang baik saja, sedangkan yang kotor dan merugikan disisihkannya. Demikianlah seseorang yang telah memahami hakekat kesujatian dari ilmu pengetahuan, akan dapat memilah-milah secara bijak hal-hal yang baik dan benar serta menyisihkan hal-hal yang buruk.
Burung Merak adalah perlambang suatu kewibawaan, sehingga seseorang telah memahami hakekat ilmu pengetahuan dengan baik dan benar akan memancarkan aura kewibawaan, disegani dan dihormati oleh masyarakat.

Visit Our Sponsor

Senin, 29 Juni 2020

Banten Saraswati dan Proses Upacaranya



Banten Saraswati terdiri dari: daksina, beras wangi dilengkapi dengan air kumkuman yang diaturkan pada pustaka-pustaka suci. Dalam banten Saraswati tersebut, disertakan jaja cacalan (kue dari beras) yang berbentuk cecek (cicak dalam bahasa Indonesia) sebagai simbol Saraswati. Ada beberapa pemikiran tentang dipakainya cecek atau cicak. Kalangan arkeolog dan antropolog memaknainya sebagai binatang yang punya daya magis, mampu menangkap getaran alam, juga dianggap sebagai perwujudan dari leluhur. Kalangan peneliti bahasa menganggapnya sebagai cecek atau dalam bahasa indonesianya titik, yang merupakan akhir dari sebuah kalimat. Menurut kalangan ini, titik inilah yang menjadi awal, dan tempat bertemunya titik-titik (tanpa putus) adalah pada bilangan nol (lingkaran). Jadi di sini ditafsirkan bahwa binatang cicak/cecek hanya berfungsi sebagai simbol untuk mengungkapkan sesuatu yang sempurna yang tak berujung dan tak berakhir.


Image: Koleksi Pribadi, Banten Saraswati

Proses upacara Saraswati ini di Bali dikenal dengan istilah Ngelinggihang Dewi Saraswati atau Sang Hyang Aji Saraswati. Kata ngelinggihang ini, bisa dipadankan dengan mempasupati atau juga memberi jiwa pada pengetahuan atau sastra. Sementara kata Saraswati berasal dari akar kata Sr yang berati mengalir. Jadi dalam hal ini, perayaan Saraswati bisa dikatakan sebagai memberi jiwa (mempertajam kembali) sesuatu yang mengalir, yang diidentikkan dengan pengetahuan atau sastra. Proses pemberian jiwa (penajaman kembali) pengetahuan dan sastra ini di Bali lazim dilakukan dengan mengupacarai pustaka-pustaka (lontar dan buku-buku).

- JUAL BANTEN MURAH hub.08980563916 atau KLIK DISINI

Setelah banten saraswati dipersiapkan, selanjutnya dilakukan nunas (memohon) Tirtha Saraswati dengan sarana: air, bija, menyan astanggi dan bunga. Caranya sebagai berikut:
Ambil setangkai bunga, pujakan mantra: Om, puspa danta ya namah.
Sesudahnya dimasukkan kedalam sangku. Ambil menyan astanggi, dengan mantram “Om, agnir, jyotir, Om, dupam samar payami”.
Kemudian masukkan ke dalam pedupaan (pasepan).
Ambil beras kuning dengan mantram : “Om, kung kumara wijaya Om phat”.
Masukkan kedalam sesangku.
Setangkai bunga dipegang, memusti dengan anggaranasika, dengan mantram:


Om, Saraswati namostu bhyam Warade kama rupini Siddha rastu karaksami Siddhi bhawantu sadam.

Artinya: Om, Dewi Saraswati yang mulia dan maha indah,cantik dan maha mulia. Semoga kami dilindungi dengan sesempurna-sempurnanya. Semoga kami selalu dilimpahi kekuatan.

Om, Pranamya sarwa dewanca para matma nama wanca. rupa siddhi myaham.

Artinya: Om, kami selalu bersedia menerima restuMu ya para Dewa dan Hyang Widhi, yang mempunyai tangan kuat. Saraswati yang berbadan suci mulia.

Om Padma patra wimalaksi padma kesala warni nityam nama Saraswat.

Artinya: Om, teratai yang tak ternoda, Padma yang indah bercahaya. Dewi yang selalu indah bercahaya, kami selalu menjungjungMu Saraswati.


Sesudahnya bunga itu dimasukkan kedalam sangku. Sekian mantram permohonan tirta Saraswati. Kalau dengan mantram itu belum mungkin, maka dengan bahasa sendiripun tirta itu dapat dimohon, terutama dengan tujuan mohon kekuatan dan kebijaksanaan, kemampuan intelek, intuisi dan lain-lainnya.


Setangkai bunga diambil untuk memercikkan tirtha ke pustaka-pustaka dan banten-banten sebanyak 5 kali masing-masing dengan mantram:
Om, Saraswati sweta warna ya namah.
Om, Saraswati nila warna ya namah.
Om, Saraswati pita warna ya namah.
Om, Saraswati rakta warna ya namah.
Om, Saraswati wisma warna ya namah.


Kemudain dilakukan penghaturan (ngayaban) banten-banten kehadapan Sang Hyang Aji Saraswati


Selanjutnya melakukan persembahyangan 3 kali ditujukan ke hadapan :
Sang Hyang Widhi (dalam maniftestasinya sebagai Çiwa Raditya).


Om, adityo sya parajyote rakte tejo namastute sweta pangkaja madyaste Baskara ya namo namah.

Om, rang ring sah Parama Çiwa Dityo ya nama swaha

Artinya: Om, Tuhan Hyang Surya maha bersinar-sinar merah yang utama. Putih laksana tunjung di tengah air, Çiwa Raditya yang mulia.Om, Tuhan yang pada awal, tengah dan akhir selalu dipuja.
Sang Hyang Widhi (dalam manifestasinya sebagai Tri Purusa)


Om, Pancaksaram maha tirtham, Papakoti saha sranam Agadam bhawa sagare. Om, nama Çiwaya.

Artinya: Om, Pancaksara Iaksana tirtha yang suci. Jernih pelebur mala, beribu mala manusia olehnya. Hanyut olehnya ke laut lepas.
Dewi Saraswati


Om, Saraswati namostu bhyam, Warade kama rupini, Siddha rastu karaksami, Siddhi bhawantume sadam.

Artinya: Om Saraswati yang mulia indah, cantik dan maha mulia, semoga kami dilindungi sesempurna-sempurnanya, semoga selalu kami dilimpahi kekuatan.



Sesudah sembahyang dilakukan metirtha dengan cara-cara dan mantram-mantram sebagai berikut :

Meketis 3 kali dengan mantram:


Om, Budha maha pawitra ya namah.
Om, Dharma maha tirtha ya namah.
Om, Sanghyang maha toya ya namah.

Minum 3 kali dengan mantram:


Om, Brahma pawaka.
Om, Wisnu mrtta.
Om, Içwara Jnana.

Meraup 3 kali dengan mantram :


Om, Çiwa sampurna ya namah.
Om, Çiwa paripurna ya namah.
Om, Parama Çiwa suksma ya namah.

Demikianlah rangkaian upacara hari raya saraswati, Sehari setelah hari raya Saraswati (Minggu) dirayakan Banyupinaruh, ditandai dengan melakukan pembersihan ke sumber-sumber air seperti laut atau mandi air kumkuman. Besoknya, dirangkaikan dengan Somaribek (Senin), yang dimaknai dengan terpenuhinya segala kebutuhan pangan.

**dari berbagai sumber
Visit Our Sponsor

Minggu, 28 Juni 2020

Makna dan Banten Hari Raya Kuningan

Sepuluh hari setelah Hari Raya Galungan, Umat Hindu Merayakan Hari Raya Kuningan. Hari Raya Kuningan merupakan hari suci Umat Hindu yang jatuh setiap 210 hari atau 6 bulan tepatnya pada Saniscara (Baca: Sabtu) Kliwon Wuku Kuningan dalam sistem kalender Bali. Pada Hari Raya Kuningan para luluhur dan para dewa turun ke dunia memberikan berkah kesejahteraan bagi seluruh makhluk hidup, diyakini pelaksanaan upacara hari raya kuningan hendaknya sebelum tengah hari karena pada tengah hari waktunya para Dewa kembali ke surga. Pada Dasarnya Upacara Hari Raya Kuningan dilakukan sebelum jam 12 siang dikarenakan energi alam semesta (panca mahabhuta : pertiwi, apah, bayu, teja, akasa) bangkit dari pagi hingga mencapai klimaksnya di bajeg surya (tengah hari). Setelah lewat bajeg surya disebut masa pralina (pengembalian ke asalnya) atau juga dapat dikatakan pada masa itu energi alam semesta akan menurun dan pada saat sanghyang surya mesineb (malam hari) adalah saatnya beristirahat (tamasika kala).
Tamiang dan Endongan Image by: https://www.facebook.com/jun.mabagus
Banten Hari Raya Kuningan disetiap desa tentu disesuaikan dengan adat setempat (desa, kala dan patra) namun pada umumnya pada Hari Raya Kuningan Umat Hindu membuat nasi kuning pelengkap banten(sesajen) yang akan dipersembahkan. Persembahan ini merupakan simbol rasa syukur telah menerima anugerah dari Hyang Widhi. Selain itu banten Hari Raya Kuningan berisi Tamiang, terbuat dari janur berbentuk bulat seperti perisai dirajut dengan indah yang merupakan simbol perlindungan dan perputaran roda(alam) kehidupan.
Selain Tamiang, Endongan juga umumnya terdapat pada banten Hari Raya Kuningan maknanya perbekalan, berbentuk seperti tas pinggang atau kompek. Endongan sebagai simbol bekal bagi leluhur dan juga bagi kita yang masih hidup, bekal paling utama dalam mengarungi kehidupan adalah ilmu pengetahuan dan bhakti (jnana). Sementara senjata yang paling ampuh adalah ketenangan pikiran. Sarana lainnya, yakni ter dan sampian gantung. Ter adalah simbol panah (senjata) karena bentuknya memang menyerupai panah. Sementara sampian gantung sebagai simbol penolak bala.
Bertepatan dengan Hari Raya Kuningan ada tradisi unik yang dilakukan seperti Tradisi Mekotekan di Desa Munggu, Mengwi Badung dan Tradisi Masuryak di Desa Bongan, Tabanan. Pada intinya Hari Raya Kuningan kita hendaknya uning dan eling(mengerti/memahami dan sadar), bahwa dalam kehidupan kita selalu berusaha untuk berada pada jalan Dharma.
Visit Our Sponsor

Tattwa, Susila dan Upacara Hari Raya Saraswati

Saraswati terdiri dari kata: Saras yang berarti sesuatu yang mengalir, dan “kecap” atau ucapan. Wati berarti memiliki, mempunyai. Jadi, Saraswati berarti yang mempunyai sifat, mengalir dan sebagai sumber ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan.
Istilah Yang Berhubungan dengan Saraswati:
  1. Dalam ajaran Tri Murti menurut Agama Hindu, Sang Hyang Saraswati adalah Saktinya Sang Hyang Brahman.
  2. Sang Hyang Saraswati adalah Hyang Myangning Pangaweruh.
  3. Aksara merupakan satu-satunya Lingga Stana Sang Hyang Saraswati.
  4. Odalan Saraswati jatuh pada Hari Saniscara(Sabtu) Umanis, Wara Watugunung merupakan hari pemujaan turunnya ilmu pengetahuan oleh umat Hindu.
Ethika dalam perayaan Hari Raya Saraswati:
  1. Pemujaan Saraswati dilakukan sebelum tengah hari.
  2. Sebelum perayaan Saraswati, tidak diperkenankan membaca atau menulis.
  3. Bagi yang menjalankan “Brata Saraswati” tidak diperkenankan membaca dan menulis selama 24 jam.
  4. Dalam mempelajari segala “pangeweruh” selalu dilandasi dengan hati “Astiti” kepada Hyang Saraswati, termasuk dalam hal merawat perpustakaan.
Upakara: Semua pustaka-pustaka keagamaan dan buku-buku pengetahuan lainnya termasuk alat-alat pelajaran yang merupakan “Lingga Stana Hyang Saraswati” dilakukan ditempat yang layak. Adapun Upacara/upakara Saraswati sekurang-kurangnya: Banten Saraswati, Sodaan Putih-Kuning dan canang selengkapnya. Tirta yang dipergunakan hanya tirta Saraswati, diperoleh dengan jalan memohon ke hadapan Hyang Surya sekaligus merupakan tirta Saraswati, di tempat lingga Saraswati masing-masing.
Pelaksanaan upacara Saraswati didahului dengan menghaturkan penyucian, ngayabang aturan, muspa kemudian matirtha. Banyupinaruh(pina wruh) jatuh sehari setelah hari raya Saraswati yaitu Redite Paing Sinta. Umat Hindu melakukan asuci laksana(mandi, keramas, dan berair kumkuman). Selanjutnya dihaturkan labaan nasi pradnyan, jamu sad rasa dan air kumkuman. Setelah diaturkan pasucian/kumkuman labaan dan jamu, dilanjutkan dengan nunas kumkuman, muspa, matirtha nunas jamu dan labaan Saraswati/nasi pradnyan barulah upacara diakhiri.
Pedoman kepustakaan dalam hubunganya dengan Saraswati antara lain:
  1. Tutur Aji Saraswati
  2. Sundarigama
  3. Medangkemulan
  4. Purwaning Wariga

Mengenal Tradisi Kembar Buncing



Image by: vemale.com

Memiliki anak kembar tentu menyenangkan apalagi bagi yang belum dikarunia anak. Banyak yang berpendapat memiliki anak kembar tidak masalah sekalian repotnya (tentu dalam artinya sekalian sibuknya ngurusin dua anak sekaligus) apalagi memiliki anak kembar laki-laki dan perempuan sekalian satu paket. Dahulu kala Di Bali kelahiran kembar laki-laki dan perempuan dikenal dengan istilah kembar buncing atau manak salah. Ada cerita miris mengenai Kembar Buncing, konon dimasa lalu jika seorang ibu yang melahirkan laki-perempuan bisa bermakna ganda. Jika dari keluarga raja hal itu bisa berarti berkah atau keberuntungan. Sebaliknya, bagi masyarakat kebanyakan hal itu bisa dikatakan bencana atau aib dan tak lazim. Sebenarnya tradisi dijaman kerajaan itu telah dihapus dalam sebuah keputusan DPRD Bali pada tahun 1951. Namun, kehidupan modern sekarang masih ada yang menerapkan seperti yang terjadi di Nusa Lembongan, Nusa Penida, Klungkung dan beberapa wilayah lainnya. konon ketika warga disana ada yang melahirkan bayi kembar (manak salah), desa adat setempat batal melakukan upacara melasti penyepian lantaran dinilai masih leteh(kotor/cemar).

- JUAL BANTEN MURAH hub.08980563916 atau KLIK DISINI

Situasi masa lalu dibeberapa wilayah tersebut tentu sangat bertentangan dengan nurani kita sebagai manusia. Kelahiran adalah anugerah dari Sang Hyang Widhi, bagaimana mungkin kelahiran dimaknai sebagai aib.

Semua kelahiran merupakan berkah. Tidak ada istilah lahir salah (manak salah) yang kemudian dianggap ngeletehin (menodai) desa sehingga perlu diupacarai. Terlebih ada pembenar bahwa jika raja melahirkan kembar buncing dianggap berkah, sementara rakyat dianggap bersalah sehingga perlu diberikan sanksi. Akan merupakan kemunduran jika pada era sekarang masih ada pengenaan sanksi adat kepada pasangan suami-istri yang melahirkan anak kembar buncing, sebab pemerintah Bali sejak tahun 1951 telah mengeluarkan keputusan tentang pelarangan pengenaan sanksi semacam itu. Oleh karenanya, tradisi kerajaan yang berlaku dulu itu sudah saatnya ditinggalkan. Terlebih dalam konsep religius dipandang bahwa tiap kelahiran adalah menebus dosa yang tertinggal pada kelahiran masa lampau.

Dosen STAHN Denpasar Drs. Gede Rudia Adiputra menegaskan, dalam agama Hindu tidak ada istilah manakan salah. “Dalam sastra agama tidak ada disebutkan kembar buncing itu merupakan manak salah sehingga perlu diupacarai karena dianggap leteh,” katanya. Jangankan pada diri manusia, tegasnya, jiwatman yang ada pada butha saja mesti di-ruwat agar derajatnya bisa meningkat.

Dikatakan, munculnya tradisi manakan salah semata-mata karena prestise orang-orang tertentu pada zaman dulu. Terutama ketika Belanda menerapkan politik pemecah belah, raja tidak boleh disamakan dengan rakyat dan rakya tidak boleh menyamai (memada) raja. Tradisi itu kemudian dikaitkan dengan keagamaan sehingga terkesan sangat sakral. Oleh karena dikaitkan pada agama jelas hal itu merasuk tulang sumsum spiritual umat. Akibatnya, begitu kembar buncing dicap ngeletehin desa, maka hal itu tidak bisa diganggu gugat dan mesti diterima. Terlebih hal itu didukung oleh raja dan purahita (penguasa politik). Jika ada masyarakat yang tidak mendukung, sudah bisa dibayangkan sanksi yang akan diterima. “Mau tidak mau masyarakat menerima, dan ikut larut pada tradisi seperti itu. Masyarakat yang melahirkan anak kembar semacam itu lalu menjadi trauma, dan mengangap dirinya orang-orang berdosa atau orang-orang yang ngeletehin,” ujarnya.



Jadi ditinjau dari segi agama, kata dia, jelas tidak benar dan tradisi itu melanggar hak asasi manusia. Belum terhapusnya tradisi semacam itu dia menilai karena masih ada dualisme pemahaman di masyarakat. Terutama bagi mereka yang percaya terhadap hal itu, jelas tidak berani meninggalkan tradisi tersebut. “Ini yang masih terjadi di masyarakat sehingga tidak ada keberanian untuk meninggalkan tradisi semacam itu, kecuali secara perlahan-lahan.” Oleh karena itu, lanjutnya, peraturan yang pernah dikeluarkan Pemerintah Daerah Bali tahun 1951 itu perlu dimasyarakatkan terus, baik melalui aparat desa, desa adat, maupun pemerintah yakni melalui Departemen Agama.

Bahkan dia menegaskan, kembar buncing dianggap manak salah sudah merupakan penghakiman, karena dalam konsep relegius memandang tiap kelahiran adalah menebus dosa yang tertinggal pada kelahiran terdahulu. Di samping pemahaman masyarakat perlu diubah, semua pihak harus berani mengatakan bahwa kembar buncing itu tidak salah karena jelas-jelas dalam sastra agama tidak ada disebutkan hal itu.

Drs. Ketut Wiana sepakat dengan Rudia Adiputra bahwa manak salah itu merupakan tradisi kerajaan. ”Itu jelas tradisi kerajaan dan bukan tradisi agama. Jeleknya lagi, masih banyak pemimpin umat kita memegang tradisi itu.” Padahal, kata Wiana yang Ketua III PHDI Pusat, tradisi itu sudah dihapus sejak 1951 sekaligus sanksi adat lainnya yang sudah tidak cocok lagi. ”Namun, sayang sampai sekarang hal itu masih saja terjadi.”

Harus diakui, kata Wiana, rasa agama umat Hindu sudah sangat tinggi tetapi pengetahuan agama masih kurang sehingga sulit membedakan mana tradisi agama dan mana tradisi kerajaan. Pengenaan sanksi hukum adat terhadap mereka yang melahirkan kembar buncing sangat bertentangan dengan ajaran agama dan melanggar hak asasi manusia. ”Sangat tidak masuk akal, raja yang melahirkan anak kembar buncing dianggap berkah atau karunia, sedangkan jika itu terjadi di masyarakat dianggap salah,” ujarnya.

Tradisi semacam itu sudah saatnya ditinggalkan karena tidak sesuai dengan ajaran agama. Sementara itu semua pihak baik pemerintah, Parisada maupun Departemen Agama menjadi mediator agar terwujudnya beragama yang benar. ”Tradisi yang baik mesti dilestarikan, sedangkan yang jelek sudah saatnya ditinggalkan. Kebiasaan yang bersumber pada ajaran agama wajib dilestarikan, yang tidak baik jangan dipakai lagi,” tandas Wiana.

Terima kasih: Bali Post


Kamis, 18 Juni 2020

Nyentana Menurut Manawa Dharmasatra



Nyentana Sah Menurut Manawa Dharmacastra.

Pada dasarnya system kekerabatan dalam masyarakat Bali menganut sistem Patrilineal. Dimana, keturunan yang dilahirkan mengikuti keluarga pihak ayahnya. Tujuan perkawinana secara kasat mata hanya untuk melanjutkan keturunan suatu keluarga (dinasti). Masalah akan timbul manakala suatu keluarga tidak memiliki anak laki-laki sebagai penerus keturunan. Sehingga, untuk menghindari keputungan keluarga (putusnya keturunan) keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki ini akan menetapkan salah seorang anak perempuannya sebagai sentana rajeg (statusnya ditingkatkan menjadi laki-laki yang akan mewarisi milik orang tuanya).




Image by: Hipwee



Sebagian masyarakat Bali berargumen bahwa perkawinan Nyentana tidak boleh dilakukan. Karena mereka khawatir keturunannya yang menjadi keluarga pihak perempuan tersebut akan ‘’kesakitan’’ dan kesulitan dalam menentukan kawitannya (asal-muasal keturunan). Masalah berikutnya yang banyak ditakutkan yakni terkait dengan pembagian warisan dan nasib anaknya ketika terjadi perceraian dengan istrinya.

Dalam masyarakat adat Bali, kalau seorang laki-laki mengikuti pihak keluarga istrinya biasanya oleh keluarganya maupun lingkungannya akan dicemooh dan disebut ‘’Kepaid Bangkung’’. Sebenarnya, uangkapan kasar inilah yang sangat ditakutkan oleh pihak keluarga lelaki yang anaknya nyentana. Secara yuridis pelaksanaan nyentana dengan kepaid bangkung berbeda. Karena proses nyentana jelas dilakukan dengan sebuah upacara sehingga status pengantin pria juga jelas menjadi bagian dari keluarga istrinya. Sementara kepaid bangkung sampai sekarang masih rancu karena biasanya status laki-aki tetap pada keluarganya hanya saja tinggalnya dirumah istri. Itulah biasanya disebut kepaid bangkung.
- JUAL BANTEN MURAH hub.08980563916 atau KLIK DISINI

Namun demikian, argument ini tidak 100 % benar. Larangan perkawinan nyentana hanya didasarkan atas kebiasaan dari adat yang berlaku semata. Karena sebagian daerah tidak ada kebiasaan nyentana jadi wajarlah masyarakat adat disana menentang perkawinan ini. Sebenarnya golongan masyarakat yang melakukan penentangan dengan kebiasaan perkawinan nyentana ini sangat tidak memahami dari hakekat perkawinan dan penentangan yang mereka lakukan tidak memiliki dasar hokum yang kuat. Mereka hanya mendasarkan larangan melakukan perkawinan nyentana berdasarkan adat kebiasaan. Perlu diingat, adat kebiasaan muncul karena kesepakatan dalam suatu masyarakat adat yang dilakukan dan akhirnya diikuti secara turun temurun. Sehingga lama-kelamaan kebiasaan tersebut berubah menjadi hukum adat.

Dalam agama Hindu, tidak ada sloka atapun pasal yang melarang perkawinan nyentana. Namun demikian kembali seperti keterangan diatas masyarakat pada umumnya memandang negatif perkawinan ini. Karena pihak keluarga laki-laki akan dianggap tidak memiliki harga diri.

Kitab Manawa Dharmasastra sebagai sumber hokum positif yang berlaku bagi umat Hindu secara tegas menyebutkan mengenai status anak wanita yang ditegakkan sebagai penerus keturunan dengan sebutan Putrika (perempuan yang diubah statusnya menjadi laki-laki. Cloka 127 kitab tersebut secara gamblang menyebutkan ‘’Ia yang tidak mempunyai anak laki-laki dapat menjadikan anaknya yang perempuan menjadi demikian (status lelaki) menurut acara penunjukan anak wanita dengan mengatakan kepada suaminya anak laki-laki yang lahir daripadanya akan melakukan upacara penguburan’’.

Dari uraian Cloka tersebut, jelaslah bahwa perkawinan nyentana dibolehkan. Lelaki yang mau Nyentana inilah yang disebut Sentana. Dengan demikian, argument yang mengatakan pelarangan terhadap perkawinan nyentana harus dipandang tidak beralasan karena tidak memiliki dasar hokum yang jelas. Pelarangan ini hanya didasarkan atas kebiasaan yang ada. Adat kebiasaan muncul karena perilaku yang diakui dan dilakukam secara turun-temurun. Sehingga kebiasaan ini bukanlah dasar yang logis dijadikan alasan untuk menentang perkawinan nyentana.

Demikian halnya dengan pembagian warisan dalam perkawinan Nyentana. Dalam Cloka 132 Manawa Dahrmacastra disebutkan, ‘’Anak dari wanita yang diangkat statusnya menjadi laki-laki sesuangguhnya akan menerima juga harta warisan dari ayahnya sendiri yang tidak berputra laki-laki(kakek). Ia akan menyelenggarakan Tarpana bagi kedua orang tuanya, maupun datuk ibunya’’. Selanjutnya Cloka 145 menyebutkan’’Anak yang lahir dari wanita yang statusnya ditingkatkan akan menjadi ahli waris seperti anak sendiri yang sah darinya. Karena hasil yang ditimbulkan adalah untuk dari pemilik tanah itu menurut UU’’.

Diolah dari berbagai sumber.


Rabu, 17 Juni 2020

Tradisi Mesbes Bangke Di Desa Buruan, Tampak Siring


Sebutan Bali sebagai Pulau Seribu Pura sudah tak asing lagi bagi wisatawan lokal maupun asing, mengapa demikian, Karena Bali menjadi tujuan wisata dunia, sedangkan mayoritas penduduknya beragama Hindu dan tempat beribadatnya adalah pura, termasuk juga penyebaran agama Hindu sampai saat ini berpusat di Bali. Walaupun pengaruh agama Hindu cukup kuat di Bali, tetapi berbagai budaya dan tradisi warisan leluhur di pulau ini tetap bertahan sampai sekarang ini, seperti salah satunya tradisi Mesbes Bangke atau mencabik mayat, kedengaran sangat ekstrim dan tentunya sangat unik pada jaman sekarang ini.

Download Free Portable Adobe Photoshop CC 2020 Terbaru

Tidak dipungkiri Bali memang memiliki banyak budaya dan tradisi unik, salah satunya yang populer seperti tradisi pemakaman mayat di Tenganan, Perang Pandan (Mekare-kare), omed-omedan dan Mekotek adalah beberapa tradisi unik yang cukup populer di Bali dan menjadi sebuah atraksi wisata yang menarik untuk dinikmati oleh wisatawan, tetapi tradisi Mesbes Bangke atau mencabik mayat, yang jarang dikenal oleh warga Bali secara umum apalagi wisatawan, masih tetap bertahan sampai sekarang ini, tradisi Mesbes Bangke ini digelar di banjar Buruan, Tampaksiring, kabupaten Gianyar.

Jika anda pertama kali mendengar atau melihat bagaimana tradisi ini digelar, tentu akan membuat anda tercengang, karena memang jasad tubuh orang yang meninggal (bangke) dicabik-cabik oleh warga dan itu hanya ada di banjar buruan, Tampak Siring, Gianyar. Tentunya ini adalah adalah sebuah budaya dan tradisi unik yang ekstrim yang dilakukan oleh warga setempat dan tradisi itu masih bertahan sampai saat ini, sangat dimaklumi untuk warga yang belum kenal dan masih awam akan tradisi tersebut, tentu akan kelihatan aneh dan mengerikan.

Tradisi Mesbes Bangke di Tampak Siring ini, tidak dilakukan pada semua jasad manusia yang sudah meninggal. Di desa ini dilakukan upacara Ngaben dengan cara ngaben masal yang melibatkan dan dilakukan oleh banyak warga dan juga ada ngaben personal yang bersifat pribadi. Dan tradisi Mesbes Bangke tersebut hanya digelar untuk ngaben personal saja. Jadi tidak semua orang meninggal melalui proses mencabik mayat tersebut.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Lalu pertanyaanya, kenapa tradisi yang juga merupakan proses ritual orang meninggal tersebut sampai dilangsungkan, walaupun itu sebuah peninggalan leluhur, tetapi itu sebuah tradisi ekstrim yang mungkin tidak semua warga bisa melakukannya. Seperti diketahui untuk melakukan upacara tentu harus mencari hari baik atau duwase (tanggal) yang cocok untuk melakukan ritual dan terkadang mayat (jasad) orang meninggal harus beberapa hari berada di dalam rumah, dan konon, dahulu penduduk asli banjar Buruan ini kebingungan untuk menghilangkan bau busuk yang dikeluarkan oleh mayat, karena zaman dulu tidak ada formalin, mereka harus mencari cara agar mayat tidak berbau bau busuk yang dikeluarkan mayat tersebut.

Karena warga Banjar Buruan tidak kuat menahan bau busuk yang dikeluarkan oleh mayat tersebut, maka warga memiliki ide untuk mesbes (mencabik) mayat tersebut, dan pada saat mencabik-cabik (mesbes) mayat mereka harus merasakan kegembiraan, agar lupa akan bau yang ditimbulkan oleh mayat tersebut. Setelah mayat di cabik-cabik dengan tangan dan giginya sekalipun, entah dagingnya dimakan atau sekedar dicabik, cabikan mayat tersebut di oper-oper seperti sedang melakukan permainan. Menurut warga mereka merasa senang melakukan tradisi tersebut, daging mayat dicabik dan dioper mereka meluapkan kegembiraan sehingga bau tersebut terlupakan.

Saat tradisi Mesbes Bangke ini berlangsung, para pencabik mayat tersebut ada yang setengah sadar atau kesurupan ada pula yang masih sadar, namun mereka tetap bersemangat untuk mencabik mayat hingga naik ke atas mayat, apalagi diiringi oleh gamelan baleganjur dan guyuran air membuat mereka menjadi tambah semangat, setelah warga lelah mencabik mayat ataupun saling oper daging mayat, barulah jenazah atau mayat tersebut di bawa ke tempat upacara Ngaben. Untuk di Bali sendiri dikenal adanya Kasta, untuk tradisi tersebut tidak ada perlakuan khusus untuk kasta yang lebih tinggi, semua kasta ataupun status ekonomi warga, semua diberlakukan sama jika mereka ingin menggelar upacara Ngaben secara personal.

Saat ini sekarang jaman sudah semakain maju dan berkembang, banyak cara dilakukan untuk membuat mayat tersebut tidak berbau termasuk juga penggunaan obat formalin, tetapi tradisi sudah diwariskan, warga atau masyarakat Buruan, Tampak Siring, Gianyar ini masih tetap melakukan tradisi tersebut. Untuk mayat yang akan dikremasi, saat keluar dari rumah duka akan diserbu oleh penduduk yang akan mesbes atau mencabik-cabik mayat tersebut. Konon untuk mencabik mayat tersebut harus dilakukan oleh penduduk yang memang asli dari banjar Buruan, jika dilakukan oleh penduduk pendatang akan berakibat fatal bagi mereka yang melakukannya. Apalagi jika diketahui orang yang bukan penduduk asli banjar Buruan ini ikut mencabik mayat dengan segeranya akan di hajar massa.

Pengecualian terhadap orang yang disucikan seperti pemangku, sulinggih dan pedanda. Untuk mengalihkan perhatian warga terhadap penduduk yang ingin mencabik mereka biasanya keluarga duka akan berusaha menggunakan taktik agar terhindar dari warga, yaitu mengadakan ritual mekingsan (menititpkan) ring gni untuk menghormati jasad mereka. Jika tidak melakukan ritual tersebut ada kemungkinan bagi masyarakat yang setengah sadar untuk mencabik-cabik mayat mereka.

Selain itu ada juga pantangan yang tidak boleh dilakukan selama ritul Mesbes Bangke digelar, yaitu mayat sama sekali tidak boleh menyentuh tanah ataupun jatuh, maka dari itu orang yang mengangkat mayat harus memiliki tenaga kuat, jika hal itu terjadi maka desa adat banjar Buruan mendapatkan sanksi, yang mana harus mengadakan pecaruan. Namun hingga sekarang tidak ada mayat yang demikian. Dari 13 banjar adat yang berada dibawah naungan Desa tampak Siring, hanya banjar Baruan yang masih melakukan ritual ini.

Banyak kontroversi yang datang dari masyarakat luar, mereka memandang bahwa ini tidak menghormati keluarga almarhum dan juga ini merupakan ajangan balas dendam terhadap almarhum. Namun sesungguhnya tradisi yang diwariskan turun temurun ini merupakan wujud kebersamaan dari warga banjar Baruan. Kelian adat dan Dinas Banjar Baruan pun sudah menyetujui jika tradisi ini tetap terlaksanakan. Karena keluarga almarhum sudah merelakan dan ikut turut serta dalam ritual ini. Maka sampai sekarang tradisi tersebut masih bertahan sampai saat ini.

artikel ini diposting ulang dari: balitoursclub.net

https://paduarsana.com/

Selasa, 16 Juni 2020

Sejarah Pura Telaga Mas

Image by: Travelog.com
Gunung Lempuyang adalah salah satu kawasan suci di Bali. Bahkan dalam pengider buana tanah Bali, Lempuyang merupakan salah satu kayangan utama atau sad kayangan. Gunung Lempuyang memiliki sejarah panjang dan sangat penting dalam kaitannya dengan peradaban tanah Bali serta manusia Bali yang mendiaminya. Dari kaki sampai ke puncak gunung banyak terdapat pura-pura sebagai tempat menghubungkan diri kehadapan sang maha pencipta. Hal ini menandakan bahwa Gunung Lempuyang sejak jaman dahulu merupakan tempat melakukan pertapaan.
Untuk melakukan persembahyangan di Gunung Lempuyang, maka ada banyak jalur menuju pura Lempuyang. Yang banyak ditempuh saat ini adalah jalur Purwa Ayu yangmana melalui jalur ini akan didahului dengan perembahyangan di Pura Penataran Luhur Lempuyang yang sangat megah, terbuat dari batu paras putih. Setelah melakukan persembahyangan di sini, pemedek yang ingin ke Lempuyang Luhur bisa melanjutkan perjalanan dengan beberapa tahap persembahyangan. Yakni yang pertama akan menuju ke Pura Telaga Mas. Setelah sembahyang di Pura Telaga Mas, kemudian pemedek biasanya menuju ke Pura Lempuyang Madya. Namun sebelum mencapai Pura Lempuyang Madya, pemedek akan melewati beberapa buah pura yakni Pura Pesaraman Dukuh yang terletak dekat dengan Telaga Mas. Lalu beberapa saat kemudian melewati pura dari kelompok keluarga atau soroh Sang Bagus (Ngakan).
Dari sini perjalanan melanjut ke Pura Telaga Sawang. Di sini para pemedek akan melakukan peersembahayangan sebelum melakukan persembahyangan di Pura Lempuyang Madya. Dari Lempuyang Madya kemudian melanjutkan persembahyangan ke Pura Bukit Bisbis. Dari bukit Bisbis menuju ke Pura Pasar Agung dan selanjutnya menuju ke Pura Lempuyang Luhur. Dalam perjalanan menyusuri Gunung Lempuyang, umat paling tidak akan melakukan persembahnyang di tujuh tempat yakni Pura Penataran, Pura Telaga Mas, Pura Telaga Sawang, Pura Lempuyang Madya, Pura Bukit Bisbis, Pura Pasar Agung, dan Pura Lempuyang Luhur.
Pura ini adalah pura paling awal ditemui ketika akan menuju Puncak Lempuyang. Pura ini adalah sebagai pura Beji atau Pura Petirtan dari Ida Betara di Lempuyang Luhur. Menurut penuturan Jero Mangku Buncing (salah seorang pemangku yang ngayah di pura ini), Pura ini adalah awalnya merupakan sebuah pancuran dari rembesan air Gunung Lempuyang yang membentuk sebuah pancuran air atau telaga. Di tempat ini terdapat pelinggih yakni padma capah sebagai linggih dari Ida Betara Gangga. Di sampingnya dilengkapi dengan sebuah bale piyasan atau bale tajuk sebagai tempat berstana Ida Betara ketika Ida Betara mehias dan mesuci.
Tentang air pancuran atau rembesan dari puncak Gunung Lempuyang memang tak pernah kering sepanjang tahun. Air rembesan tersebut membentuk sebuah telaga yang dilengkapi dengan tunjung / teratai dan ikan. Selain sebagai petirtan dari Ida Betara Lempuyang Luhur, pura ini juga sebagai tempat penglukatan atau penyucian bagi pemedek yang akan menuju ke Lempuyang Luhur. Dan mengenai odalan di pura ini bersamaan dengan petirtan Ida Betara di Lempuyang Luhur yakni pada hari Umanis Galungan.
Pada saat bersembahyang di Pura Telaga Mas, maka pemedek akan disambut oleh suara merdu bagaikan kicauan burung begitu ramai. Dari kejauhan terdengar seperti gemericik air pancuran yang jatuh di atas batu. Namun sejatinya bukan kicauan, burung tetapi suara dari sekawanan katak penghuni telaga mas yang jumlahnya ratusan. Mereka saling bersahutan menyerupai suara burung berkicau. Katak tersebut memang hanya ada di telaga mas Gunung Lempuyang. Ukurannya kecil, berwarna keemasan, sehingga penulis menyebutnya sebagai katak emas. Katak-katak emas ini hanya tinggal di pura telaga mas, mengisi hari-harinya dengan bersukaria dengan kawanannya sambil menyayi-nyanyi di atas daun tunjung.
Bagi pemedek yang tangkil ke Lempuyang, mesti menyempatkan diri untuk melihat keindahan katak emas Lempuyang, sambil mendengar merdunya suara para katak unen-unen Ida Betara Lempuyang.
Dari berbagai sumber.
Visit Our Sponsor