Minggu, 20 Oktober 2019

Perang Para Raja Bali:1686-1906


“Sistem negara-negara Bali bukanlah tipikal negara monarki biasa, tapi negara teater”-Clifford Geertz, antropolog Amerika, dikutip dari buku 'Negara Teater'

[Event Sejarah] Perang Para Raja Bali:1686-1906

Peta Bali di abad ke-19 dari Bali in 19th century


Visit Our Sponsor

Pembabakan
Sejarah Bali terbagi dalam beberapa pembabakan: pra-sejarah, masa kerajaan kuno(abad ke-9 sampai ke-14), era dinasti Kepakisan/Gelgel(abad ke-14 sampai abad ke-17). era perang raja-raja Bali(abad ke-17 sampai awal abad ke-20), Belanda(pertengahan abad ke-19 sampai 1942), Jepang (1942-1945), Masa revolusi(1945-1949) bersamaan dengan Republik Indonesia Timur(1947-1950), dan masa Republik Indonesia(1950-sekarang)

Dalam thread ini, saya akan memfokuskan pada masa era perang raja-raja Bali. Kenapa saya sebut era perang raja-raja Bali? Mungkin akan lebih baik jika saya menjelaskan penyebabnya

Pada pertengahan abad ke-14, Kerajaan Bali membangkang dari kerajaan Majapahit dan Gajah Mada mengirimkan pasukan dari utara dan selatan untuk menaklukan Bali. Semenjak Bali takluk oleh Bali, Bali di bawah dinasti Kepakisan dan menjadi kerajaan Gelgel di abad ke-16 di mana Gelgel menjadi tempat pelarian orang-orang Hindu dari Majapahit semenjak Demak memperluas kekuasaannya di Timur Jawa.
Kerajaan Gelgel berada di daerah Gelgel yang sekarang berada tak jauh dari Semanapura, Kabupaten Klungkung.

Kekuasaan Gelgel pada kejayaannya tak lepas dari para pelari Majapahit termasuk para brahmana-nya yang memberikan pengaruh besar pada kesenian Bali saat itu dan wilayah Gelgel meluas meliputi Blambangan dan Lombok pada awal abad ke-17 setelah mengalahkan kerajaan Selaprang lewat Karangasem. 

Gelgel runtuh akibat pemberontakan Patih Gelgel yang menyebabkan ibu kota dikuasai pemberontak di 1686. Para loyalis gelgel berhasil merebut Gelgel kembali, namun keadaan sudah berubah. Banyak raja-raja bawahan seperti Tabanan dan Karangasem memerdekakan diri. Pemerintahan dipindahkan ke Klungkung dan berdirilah dinasti Klungkung.

Dinasti Klungkung tidak mempunyai kontrol kuat seperti Gelgel yang di mana raja-raja bawahan tunduk total pada Dewa Agung, penguasa Klungkung. Hanya saja Klungkung masih punya pengaruh kuat kepada para raja Bali lainnya seperti masalah upacara keagamaan. 
Anak Agung Gede Agung dalam bukunya, Bali in 19th century menyebutkan bahwasanya Raja Klungkung bergelar 'Susuhunan Bali and Lombok' dan pengaruhnya hanyalah penguasa spritiual.

Para raja Bali saling berperang satu sama lain dan kadang bersekutu satu sama lain. Peperangan dibutuhkan untuk sebuah pengaruh selain upacara keagamaan. Kerajaan-kerajaan Bali tak seperti kerajaan biasanya di mana raja-raja Bali mementingkan pengaruh agar bisa dianggap sama yang lain dan juga masyarakat. Persekutuan antar puri(istana) sangat dibutuhkan seperti yang terjadi oleh raja Mengwi pada puri-puri sekitarnya untuk memperkuat kedudukan.

Era perang para raja dianggap berakhir dengan kejatuhan Badung di 1906 di mana para raja lain bersedia menjadi vasal Belanda yang sudah bercekokol di Singaraja, Buleleng sejak 1849 dan Lombok 1896.

Visit Our Sponsor

wilayah
Wilayah Bali setelah kejatuhan Gelgel meliputi Blambangan, Bali, dan juga Lombok. Dominasi orang Hindu Bali cukup penting dalam sebuah wilayah kerajaan Bali seperti migrasinya orang-orang Karangasem ke wilayah Lombok Barat untuk mendukung perluasaan kerajaan Karangasem di sana.

Secara geografis, wilayah Bali terbagi atas dua:Bali utara dan selatan. Bali Utara yang merupakan wilayah Buleleng merupakan wilayah utara di atas daerah pebukitan dan pegunungan yang ada. Daerah utara cenderung lebih sepi ketimbang daerah selatan yang ramai akan penduduk dan kerajaan karena faktor perdagangan dan juga pertanian yang ada. Walaupun sepi, Buleleng memiliki wilayah yang strategis baik perdagangan dan militer di mana raja bisa melarikan diri dari Singaraja menuju benteng Jagaraga yang tak jauh dari puri Singaraja. 

Kuta yang merupakan wilayah dekat Badung(Denpasar) sangat ramai ketimbang daerah-daerah lain karena Kuta adalah tempat berlabuh kapal-kapal yang akan berlayar ke timur (Nusa Tenggara) ataupun Australia. Pelabuhan tersebut cukup aman ketimbang pelabuhan lain dan menjadi aset berharga dari Kerajaan Badung.

Di atas Badung ada Mengwi di mana dikabarkan menurut orang-orang Belanda wilayahnya masih cukup banyak hutan. Wilayah Mengwi memiliki sungai Ayung yang penting bagi Badung karena sungai tersebut digunakan sebagai irigasi wilayah sawah Badung dan konflik pun sering muncul hanya karena masalah sungai yang terancam ditutup alirannya oleh Mengwi.

Daerah barat Bali masih sepi dari penduduk dan membuat upaya kolonialasi dilakukan oleh Mengwi di awal abad ke-18 sehingga berdirilah kerajaan Jembrana.

Daerah Besekih yang mempunyai kuil suci amat disakralkan oleh raja-raja Bali dan Besekih yang masuk wilayah Karangasem membuat kerajaan ini memiliki reputasi penting di kalangan para raja Bali terutama Klungkung. 

Daerah Blambangan atau Banyuwangi merupakan daerah tertimur pulau Jawa memiliki potensi letak yang sangat strategis. Hal itulah yang membuat daerah ini berganti penguasa mulai dari Buleleng sampai dengan Mengwi. 

Daerah Lombok atau Selaprang terbagi atas dua wilayah: Lombok barat dan timur. Lombok Barat pengaruh Bali sangat kuat. Pelabuhan Ampenan cukup ramai dikarenakan kapal-kapal yang berlabuh membutuhkan air tawar sebelum pelayaran selanjutnya dan Ampenan adalah tempat terbaik untuk mencarinya.

Pengaruh Sasak muslim sangat kental di daerah pedalaman dan timur Lombok sehingga membuat penguasa Bali di sana harus menjaga hubungan baik dengan penduduk setempat walapun akhirnya pecah konflik di akhir abad ke-19 yang berujung dengan kejatuhan Mataram Lombok.

Visit Our Sponsor

Kerajaan Mengwi:dari sebuah kerajaan besar hingga menjadi makanan kerajaan sekitarnya(bagian satu)


Tentu sebelum membahas semua kerajaan Bali perlu dibahas pertama kali mengenai Mengwi atau Mengawi. Kerajaan Mengwi mempunya pengaruh besar di abad ke-17 dengan wilayah meliputi Blambangan, Buleleng, Badung, dan Jembrana. Raja-raja Mengwi disegani oleh raja Klungkung dan cukup diperhitungkan oleh lawan-lawannya di sekitar.
Kebangkitan Mengwi 

Setelah Gelgel runtuh, patih yang memberontak –yang akhirnya dikalahkan faksi cikal bakal Klungkung, Gusti Agung melarikan diri ke daerah Mengwi dan mendirikan dinasti Mengwi. Kerajaan Mengwi mulai muncul dengan Agung Anom, keturunan Gusti Agung , mulai meluaskan kekuasaan dengan bersekutu dan mengabdi kepada Panji Sakti, raja Buleleng melalui perkimpoian dengan putri Panji Sakti. Bersama raja tersebut, ia ikut dalam perluasan Buleleng ke Blambangan. Kekuatan Buleleng saat itu cukup kuat dikarenakan Panji Sakti berhasil mempersatukan Den Bukti atau Bali Utara . Di tahun 1704, Panji Sakti wafat dan terjadi perebutan kekuasaan di Buleleng yang dimanfaatkan Agung Anom. Mengwi berhasil berada ditangannya dan membuatnya menjadi pemimpin terkuat di Blambangan dan Buleleng. 

Agung Anom wafat dan membuat anaknya, Gusti Agung Made Alangkajeng naik di tahun 1722. mulai mengamankan kekuasaan politik di Blambangan dan Buleleng. Alangkajeng berambisi untuk menaklukan daerah Majapahit yang saat itu bernama Wirasaba agar mendapatkan legitimasi lebih, tapi gagal karena adanya perang melawan Sukawati dan pemberontakan di Buleleng. Ambisinya akhirnya terlaksana juga di 1729. Ia bersama penguasa Tabanan dan Klungkung bergerak ke Wirasaba(Trowulan), tapi gagal karena perang melawan Buleleng(yang sepertinya memberontak) dan Sukawati serta penyakit yang menyerang pasukannya. Ekspedisi ini tidak gagal total karena mereka berhasil melakukan upacara besar di gunung Semeru, gunung suci bagi orang Hindu. 

Alangkajeng menjadi raja terkuat di Mengwi dan kejayaan Mengwi berlangsung dengan wilayahnya yang meliputi Buleleng, Jembrana (yang digarap oleh Mengwi karena Bali barat cenderung kosong), Badung, dan Blambangan. Penggarapan tanah Jembrana dilakukan dengan dikirimkan anaknya Raja Mengwi ke-3, Anak Agung Ngurah Jembrana di 1705.

Puri Mengwi juga menjadi merupakan puri yang terindah di Bali karena usaha para rajanya untuk memperindah taman Mengwi demi pengaruhnya. Relasi antar puri-puri sekitar Mengwi sangat dijaga oleh para Raja untuk memperkuat kedudukannya seperti Munggu. 

Namun semua kejayaan Mengwi mulai meredup dengan jatuhnya Blambangan ke VOC. Saat itu Blambangan sedang pecah perang saudara, satu pihak meminta bantuan VOC dan VOC terlibat pertempuran melawan Blambangan yang disongkong Mengwi. Perang mengerikan ini berhasil dimenangkan VOC yang berhasil menguasai ujung timur pulau Jawa tersebut di 1771. Di dalam perang ini muncul kutukan yang ditunjukan kepada Mengwi. Pengutuknya adalah Mas Sepuh, pihak Blambangan yang berselisih dan dituduh melakukan hubungan diam-diam kepada VOC. Mas Sepuh menghadap ke raja dan ia sempat ditahan karena disalahkan atas wabah di Mengwi. Akhirnya raja mengizinkannya pulang tapi di pantai, ia dibunuh. Lantas ia mengutuk puri Mengwi dan Sibang –yang mendampingnya ke pantai .

Di 1770 ketika Cokroda Munggu mangkat. Kekuasaan diserahkan kepada putranya yang berada dibayang-bayang Ayu Oka, ibunya. Di samping itu, Puri Badung mulai bangkit dan pecahlah perselisihan antara Badung-Mengwi. Disamping itu, hubungan baik dengan Tabanan mulai rusak dengan pencaplokan wilayah-wilayah Tabanan sebagai konsekuensi pembrantasan pemberontakan Tabanan ketika Tabanan minta bantuan Mengwi untuk mengatasi pemberontakan yang berkecamuk di kota Tabanan dan memaksa raja Tabanan melarikan diri. 

Di timur, Gianyar mulai bangkit dan Ayu Oka yang berpacaran dengan Dewa Manggis memberikan beberapa pusaka kerajaan kepadanya sebagai hadiah. Hal ini membuat Ayu Oka telah menjatuhkan citranya di mata para dalem Mengwi. Diperparah dengan Dewa Manggis mulai berekspansi ke wilayah Mengwi timur. Puri-puri yang ditaklukan Gianyar dibiarkan oleh Ayu Oka. Mengwi mulai mengalami masa-masa kritisnya. Wilayah-wilayah banyak ditaklukan kerajaan lain dan Mengwi tak mampu melakukan perlawanan balik, terlebih ketika semua saingan Mengwi bersekutu di bawah Badung dan mengancam Mengwi sewaktu-waktu.

Sumber:The Spell of Power: A History of Balinese Politics, 1650-1940 ...

Visit Our Sponsor


Kerajaan Badung:Kerajaan Terkaya di Bali Selatan abad ke-19(Dari lepas pengaruh Mengwi,1779 sampai 1844)

Kerajaan Badung merupakan kerajaan bawahan dari Gelgel yang sudah ada sejak lama. Letak Badung yang dekat dengan Pelabuhan Kuta membuat kerajaan ini kuat secara ekonomi . Badung menjadi bagian dari wilayah kekuasaan dari Mengawi selama beberapa abad dan para penguasanya berusaha untuk melepaskan diri. Pengaruh Badung cukup diperhatikan oleh raja-raja Bali dengan keberadaan Kuta sebagai pelabuhan ramai oleh para saudagar yang ingin membeli budak atau hasil bumi Bali. Kedudukan Badung diperhitung juga dari dulu semenjak Badung membantu para loyalis Gelgel menghabisi pemberontakan yang berkecamuk di Gelgel di 1686. 

Pengaruh Mengwi yang begitu kuat membuat para penguasa Badung tak bisa memerdekakan diri. Baru di zaman kemunduran Mengwi di tahun 1779-an, Badung berhasil lepas dari kekuatan Mengwi dengan rajanya Gusti Ngurah Jambe. I Gusti Ngurah Jambe berhasil menjadi pemimpin terkuat setelah berjasa memenangkan perang melawan Gianyar di 1779. Gusti Ngurah Jambe mendapatkan gelar I Gusti Ngurah Pamecutan dan dalam perkembangan selanjutnya, Badung berkembang menjadi kerajaan kuat oleh anak-anak Gusti Jambe. Badung di tahun 1805 menyerang Jembrana dan berhasil menguasainya di 1808 yang pada akhirnya diambil ahli oleh kerajaan Buleleng

Dalam Kerajaan Badung terdapat 2 kekuatan Puri yaitu Pamecutan dan Denpasar. Kekuatan dwitunggal tersebut menentukan penguasa-penguasa Badung . Apakah akan mendapatkan jabatan sebagai Raja atau Raja Muda yang levelnya dibawah Raja, atau sebagai Anglurah Agung yang bertindak sebagai penguasa ketiga sebagai raja. Beberapa dekade kemudian Puri Kesiman mulai bermain dalam perpolitikan elit raja-raja Badung dan menjadi kekuatan ketiga.

Melemahnya Mengwi dimanfaatkan dengan penyerangan ke Jembrana yang masih merupakan wilayah Mengwi di tahun 1805. Wilayah Jembrana ditempatkan seorang pemimpin Bugis di sana yang berjasa membantu Badung menaklukan Jembrana. Buleleng tidak suka dengan keberadaan orang-orang Bugis di Jembrana dan menyerang Jembrana setelah gagal melobi Mengwi untuk ikut dalam penyerangan tersebut. Buleleng berhasil mengambil ahli Jembrana di 1808 dan Badung tak bisa merebut kembali wilayah tersebut.
Daerah Sibang yang berada di kekuasaan Mengwi diserbu oleh Badung. Pasukan Mengwi tak dikirimkan untuk membantu ke daerah Sibang tak seperti sebelumnya ketika Badung menyerang daerah Padangluah dan kekalahan demi kekalahan membuat Mengwi menjadi satelit dari Badung sampai beberapa dekade berikutnya.

Persekutuan terjalin dengan Raja Tabanan, Gianyar, dan Mengwi(kala Mengwi menjadi vasal Badung) terhadap persekutuan Klungkung, Karangasem, Bangli, dan Buleleng meskipun persekutuan itu hanya bertahan selama dekade 1820-an dikarenakan Mengwi mulai bisa melepaskan diri dari Badung dan Karangasem sempat terlibat konflik dengan Klungkung. 

Di tahun 1818, utusan Belanda datang ke Badung dalam misi diplomasi dan Badung menerima Belanda dengan syarat membantu pasukan Badung ke Lombok untuk melawan Lombok. Delapan tahun kemudian, utusan Belanda datang lagi dan membuat perjanjian yang membolehkan Belanda membuat pos militer untuk merekrut orang lokal sebagai prajurit karena saat itu Belanda sedang mengalami Perang Jawa.

Sebelumnya ketika 1808, Daenles mengirimkan Van Wahl ke Badung untuk merekrut prajurit Bali guna menghadapi serangan Inggris. Raja Badung saat itu meminta permintaan seperti pembangunan benteng, tapi ditentang oleh Batavia karena mengeluarkan banyak anggaran dan raja-raja Bali karena khawatir dengan adanya Belanda di Batavia. Perlu diketahui sifat raja-raja Bali selain raja Badung terhadap bangsa Belanda cenderung curiga dan kurang ramah. Kemungkinan apa yang terjadi di perang Blambangan di akhir abad ke-18 kala Belanda mengintervensi konflik kerajaan Bali di sana membuat ketidaksenangan raja-raja Bali kepada Belada.

Di tahun 1830, Gusti Ngurah Pemecutan tahta naik tahta menjadi raja dan bergelar Gusti Ngurah Kesiman. Karena ia berambisi untuk menguasai seluruh Bali, Gusti Ngurah Kesiman, mengintensifkan hubungan dengan Belanda dan di saat yang sama, Badung mengalami kemajuan di perdagangan dan dari pajak tersebut, Gusti Ngurah Kesiman membangun jalan-jalan ke Tabanan, Mengwi, dan Gianayar. Namun disamping kemajuan tersebut, Gusti Ngurah Kesiman adalah orang yang tak suka dengan keaktifan masyarakat dan cenderung membiarkan mereka bodoh untuk mengamankan stabiltias politik. Selain itu ia kurang baik berhubungan dengan pendeta dan penguasa-penguasa Denpasar dan Kesiman. Karena itulah kekuasaan Gusti Ngurah Kesiman digoyang-goyang oleh penguasa Denpasar dan Kesiman namun tak berhasil oleh Mads Lange, saudagar Denmark yang lari ke Badung setelah kalah di persaingan dengan George Peacock dalam perang Lombok tahun 1830-an. Mads Lange membangun kantor dagang di Kuta dan posisinya cukup dihormati oleh raja-raja Bali terutama Badung. Di samping ekonomi dan infrastruktur, Gusti Ngurah Kesiman membangun pengadilan atau Kerta di Pemecutan, Denpasar, dan Kesiman dimana ia menjadi hakim semuanya. Kemakmuran Badung membuat banyak kecemburuan para Raja Bali di mana tak hanya Kuta saja yang ramai, tapi juga Sanur dan Benoa. 

Belanda kemudian merancang strategi menguasai Bali lewat NHM (Nederlandsche Handelmaatschappij) supaya segera membuka kantor dagang di Bali. Sebagai imbalannya, NHM akan diberikan bantuan finasial jika sampai mengalami kerugian atau kegagalan di Bali. Kantor
NHM akhirnya berdiri di Kuta tanggal 1 Agustus 1839. NHM di Bali mengalami kerugian di Bali, yang disebabkan oleh adanya persaingan ketat dengan George Morgan King, Mads J. Lange, dan pedagang Bugis.


Sumber:
Agung,Anak Agung Gede .Bali di abad ke-19
Nyoman, Wijaya. "Puri Kesiman: Saksi Sejarah Kejayaan Kerajaan Badung" JURNAL KAJIAN BALI Volume 03, Nomor 01, April 2013 
Agung, A.A. Gde Putra ,Wirawan,A.A. Bagus ,& Sutjiatiningsih, Sri . Puputan Badung 20 September 1906 perjuangan raja dan rakyat Badung melawan kolonialisme Belanda


Visit Our Sponsor



kerajaan Gianyar:Puri baru di Bali di abad ke-17 dan kebangkitannya

Kerajaan Gianyar berkiatan era dengan dinasti Dewa Manggis di zaman kerajaan Gelgel. Dewa Manggis I atau Dewa Manggis Kuning, menupakan putra dari Raja Dalem Segining I dari Gelgel yang lahir dari rahim wanita asal desa Manggis. Anak tersebut membuat penguasa Badung, Gusti Tegeh Kuri. Anak tersebut dirawat raja Badung, namun karena dia membuat salah satu istrinya suka dengannya dan melakukan hubungan terlarang menyebabkan ia menjadi buronan sang raja. Dewa Manggis kabur ke sebuah desa di mana Gusti Pahang Penatih selaku kepala desa memberikan perlindungan kepadanya ketika pasukan Badung mengepung tempat persembunyiannya.

Gusti Pahang Penatih memberikan anak perempuannya, Gusti Ayu Pahang, kepada Dewa Manggis I dan mereka melarikan diri ke daerah Hutan Bengkel, sekitar 2 kilometer ke utara kota Gianyar modern. Mereka mendirikan sebuah pondok darurat dan berkeluarga di sana di 1640.

Daerah tersebut menjadi ramai akan pedagang yang singgah di tempat tersebut. Lama-kelamaan, Dewa Manggis digelari mereka sebagai Dewa Manggis, sebelumnya belum. Ketika Gelgel dikuasai pemberontak dan Dewa Agung Jambe, raja Gelgel menyerang Gelgel bersama sekutu-sekutunya, Dewa Manggis yang masih kerabatnya ikut bertempur bersama 40 orangnya dengan senjata tombak yang berhias ‘berokan’(hiasan tombak dari daun jagung). Kehebatan pasukan Manggis membuat reputasi Dewa Manggis meningkat dan bertambahlah pengikutnya. 

Panji Sakti, Raja Buleleng mendengar kabar tersebut dan menyerang pasukan Manggis di dekat desa Beng. Panji Sakti dengan menunggangi gajahnya berhadapan dengan pasukan Manggis dan tombak Dewa Manggis mampu membunuh gajah tersebut di alis sehingga dijuluki ‘Baru Alis’ dan menjadi pusaka raja-raja Gianyar. 

Dewa Manggis Kuning hanya memimpin sebuah pondok hutan Bengkel dan putranya, Dewa Manggis Pahang dan cucunya, Dewa Manggis Bengkel. Dewa Manggis Bengkel mempunyai saudara-saudara yang menjadi leluhur dari penguasa Puri Abianbase dan Bitera saat ini. 

Dewa Manggis Bengkel menikahi putri Raja Taman Bali dan menaikan kehormatan Dinasti Manggis di mata raja-raja Bali. Anaknya Dewa Manggis, Dewa Manggis Jorog didesak Raja Taman Bali untuk mendirikan Puri. Pembangunan Puri tersebut dibantu oleh Raja Taman Bali dan akhirnya berdirilah Puri Geriya Anyar dan menjadi kerajaan Gianyar di 1771.

Di masa Dewa Manggis Jorog atau Dewa Manggis IV yang berkuasa hingga 1814, Gianyar mengalami perluasan ke arah barat dengan memanfaatkan krisis dinasti yang terjadi di kerajaan Mengwi di bawah Ratu Ayu Oka dengan mendekatinya dan memanfaatkannya untuk mendapatkan pusaka-pusaka Mengwi untuk meningkatkan pengaruhnya. Berkat bantuan Raja Taman Bali, Dewa Manggis IV memperluas kekuatannya juga ke utara selain ke barat dan dijuluki sebagai Raja Dewa Manggis Sakti. 

Gianyar menjadi kekuatan baru di Bali semenjak awal abad ke-19. Kerajaan Badung terkadang memperhitungkan Gianyar yang terkadang menyerang wilayah Badung. Begitu pula Klungkung yang wilayahnya cukup kecil.


Lambang kerajaan Gianyar...

Berdasarkan catatan masa lalu Ide Anak Agung Gede Agung, keturunan Dewa Manggis di masa kemerdekaan, Kerajaan Gianyar memakai lambang hati merah layaknya buah Manggis dengan latar belakang putih. Hal tersebut tercermin dari bendera-bendera yang dipasang mobil Raja Gianyar di masa Belanda.

Sumber
Kenangan Masa Lampau Zaman Kolonial Hindia Belanda dan Zaman Pendudukan Jepang di Bali: Anak Agung Gede Agung
Speel of Power:Sejarah Politik Bali 1650-1940:Henk Schulte Nordholt

Kerajaan Tabanan: Dinasti Elit Bali

Ketika Majapahit menyerang Bali, Arya Damar memberikan kontribusi signifikan dalam menundukan kerajaan Bali. Pemberontakan terus berjalan walaupun raja Bali sudah tewas dan Arya Damar ikut berperan dalam memadamkan pemberontakan yang terjadi di desa-desa Baliaga ini. Sebagai hadiahnya setelah pemberontakan berhasil dipadamkan maka Arya Damar diberikan gelar Arya Kenceng dan berkuasa di Tabanan, akan tetapi statusnya lebih rendah dari penguasa Gelgel. Dalam perkembangan selanjutnya Arya Kenceng membagi-bagikan tanah pada trah Arya yang lainnya seperti : Arya Sentong di Pacung, Arya Beleteng di Penatih, Arya Waringin di Kapal, Arya Belog di Kaba-Kaba, Arya Kepakisan di Abiansrmal dan Arya Binculuk di Tangkas.

Arya Damar atau Arya Kenceng berperan sebagai menteri utama di dalam struktur pemerintahan raja Bali. Hal ini diakibatkan kesetiaan Arya Kenceng kepada Dalem Sri Kepakisan selaku penguasa Bali. 

Puri Agung Tabanan sangat dihormati dikalangan kasta atas Bali baik di zaman Gelgel maupun Klungkung. Pengaruh tersebut tercermin dari usaha Cokroda Munggu, penguasa Mengwi terkemuka di abad ke-18 mengadakan persekutuan dengan perkimpoian yang di mana ia menikahi putri Puri Tabanan di 1780-an. Yang unik dari perkimpoian ini adalah status Tabanan masih lebih tinggi ketimbang Mengwi di mana putri dari Puri Mengwi statusnya lebih rendah ketimbang Tabanan sehingga perkimpoian ini bersifat ke atas bagi Tabanan dan ke bawah bagi Mengwi.

Persekutuan dengan Tabanan memang sudah berlangsung lebih lama, namun di 1793 di mana Raja Tabanan terusir dari Tabanan karena pemberontakan dan Raja Tabanan meminta tolong Mengwi. Ayu Oka mengirimkan pasukan elit Mengwi ke Tabanan dan membuat Raja Tabanan berhutang budi. Namun hutang budi tersebut dibayar terlalu besar karena Mengwi mencaplok banyak desa Tabanan. Mengwi sebenarnya bersiap mencaplok daerah Tabanan dengan membangun benteng dan mata-mata yang mengawasi sepanjang Sungai Sungi, perbatasan antara Tabanan dengan Mengwi.

Tabanan memutuskan menyerang Mengwi setelah Mengwi berurusan fisik dengan Gianyar dan Badung di awal abad ke-19. Marga dicaplok oleh Tabanan dan Puri Marga tunduk kepada Tabanan karena tidak mau menjadi satelit Puri Mengwi, Mengwi ditekan oleh Tabanan untuk menekan Mengwi dan berhasil menjadi satelit Badung di dekade 1820-an.

Beberapa Kali Tabanan terlibat perang melawan Badung yang selalu bisa ditahan oleh Badung yang dipersenjatai meriam Inhggris, tapi permusuhan ini berakhir dengan dibentuknya aliansi Bali selatan oleh Badung yang meliputi Mengwi-Gianyar-Tabanan untuk menandingi aliansi kuat Karangasem-Klungkung di dekade 1830-an.

Sumber: 
‘POLARISASI GEO POLITIK KERAJAAN DI BALI ABAD XVI-XX’ 
Media Komunikasi FIS Vol. 11 .No 1 April 2012 : 1 – 15 ; Desak Made Oka Purnawati

Speel of Power:Sejarah Politik Bali 1650-1940:Henk Schulte Nordholt


Belanda dan Bali #1:Usaha Belanda menjaring hubungan di Bali.

Pulau Bali sudah berhubungan dengan Belanda semenjak Cornelis de Houtman di Febuari 1597 dengan tiga kapalnya berlabuh di tempat yang berbeda-beda: satu kapal di Jemberana, satu di Kuta, dan satu lagi di Labuan Amuk. Setelah terbentuknya kongsi dagang Belanda yang bernamakan Vereenigde Oostindische Compagnie atau disingkat VOC, mereka mulai menjalin koneksi dengan Bali ketika mereka menawarkan bantuan pada Bali. Saat itu Bali yang dikuasai kerajaan Gelgel sedang berperang dengan Mataram Islam di tahun 1633 gara-gara Mataram menaklukan Blambangan yang merupakan daerah kekuasaan Bali. Semenjak perang usai, hubungan VOC dan Bali berlangsung damai karena Bali tak menghasilkan apa yang penting bagi VOC seperti pala dan cengkeh.

Setelah VOC bangkrut, Belanda mengambil ahli Hindia Belanda. Ketika perang Napoelon berkecamuk di awal-awal abad ke-19, pemerintah Hindia Belanda yang berada di bawah pengaruh Prancis memaksimalkan pulau Jawa sebagai medan pertahanan dari pasukan Inggris. Pemerintah Hindia Belanda mencoba menjalin hubungan dengan mengirimkan Kapten van der Wahl ke Bali untuk merekrut pasukan. Ia yang mendarat di Badung dapat diterima dengan baik oleh penguasa Badung dan misinya berhasil.

Belanda mengambil ahli Hindia Belanda kembali dan mulai fokus memperluas pengaruhnya di Nusantara karena takut keduluan dengan saingan terbesarnya, Inggris di Singapura dan Australia. Hal ini terlihat dari usaha membuat perjanjian Sumatra di 1824 agar jelas Sumatra punya siapa.

Bali menjadi salah satu fokus Belanda karena dekatnya Bali dengan pusat pemerintahan Belanda, Jawa. Selain itu, jarak Bali dengan Australia cukup membuat khawatir Belanda sehingga pemerintah Belanda mengirimkan komisaris gubenur Hindia Belanda, H.A.van den Broek ke Bali di 1 Desember 1817. 

Dalam ekspedisinya, van den Broek awalnya berkunjung ke kerajaan Buleleng. Pilihan ini jatuh karena beberapa tahun sebelumnya, Raja Buleleng pernah meminta bantuan makanan ketika gunung Tambora meletus dan membuat pertanian di Bali memburuk beberapa waktu. Namun rencana van den Broek gagal karena penguasa Buleleng sedang pergi menginvansi Jemberana dan ia berhasil mencaplok wilayah tersebut dari Badung. 

Akhirnya, untuk menghampiri penguasa Buleleng, van den Broek bersama pasukannya berangkat dari Banyuwangi di tanggal 18 Desember 1817 dan mendarat di Jemberana. Ia berhasil menemui dengan penguasa Buleleng, Gusti Gede Ngurah Karangasem di 24 Desember 1817, pertemuannya gagal karena misi van den Broek untuk mendirikan rumah dagang yang dijaga pasukan Belanda di Buleleng ditolak. Pada dasarnya Gusti Gede Ngurah Karangasem ingin menjalin hubungan baik dengan Belanda, tapi ia ingin Buleleng tetap pada posisi independen.

Setelah gagal di Karangasem, van den Broek pergi ke Tabanan dan mencoba menjalin hubungan dengan kerajaan tersebut, tapi ia gagal karena penguasa Tabanan sedang mengadakan ritual keagamaan. Selain itu, raja Tabanan mendapatkan informasi dari penduduknya kalau kedatangan van den Broek untuk menaklukan Tabanan. 

Akhirnya van den Broek pergi ke Badung. Sesampainya di sana dengan kapal di tanggal 22 Januari 1818, van den Broek berhasil menemui Gusti Ngurah Made Pamecutan, salah satu penguasa Badung, di hari selanjutnya. Van den Broek berhasil merealisasikan misinya, tapi Badung meminta bantuan Belanda untuk mengantar pasukan dengan kapal Belanda karena saat itu, Badung sedang berperang dengan Mataram Lombok akibat Raja Badung melecehkan putri Raja Mataram dan membuat Klungkung (sebagai Susuhunan) memusuhi Badung. Akibat perjanjian ini, van den Broek yang awalnya ingin pergi ke Klungkung dan Mataram tak jadi karena untuk menghormati perjanjiannya dengan Badung. Selain itu, dalam realisasinya, Belanda hanya memberikan bantuan ekonomi seperti beras kepada Badung.

Van den Broek awal berniat mengunjungi penguasa Gianyar, tapi penguasa Ginayar, Dewa Manggis V tak mau dikunjungi kecuali diberikan hadiah berkisar 2.000 rixdollar Hal ini membuat van den Broek kesal dan berniat membatalkan kunjungannya. Tapi tetap saja van den Broek berhasil menemui penguasa Ginayar tersebut berkat usaha Gusti Ngurah Made Pamecutan yang tak lain teman dekat Dewa Manggis V. Hasil dari pertemuannya dengan Dewa Manggis V tak membuahkan hasil lumayan karena Dewa Manggis V menghindari pembicaraan politik. Hal ini di karenakan untuk menghindari kontak politik dengan bangsa Eropa yang sepertinya akan mengancam kekuasaannya.

Van den Broek setelah dari Gianyar pergi ke Mengwi dan sampai di sana 16 Febuari 1818. Pertemuannya dengan Gusti Made Agung selaku menguasa Mengwi gagal disebabkan gangguan penduduk setempat yang melempari dengan lumpur, ditertawai, dan diejek. Selain itu, raja Mengwi tidak suka dengan kedatangan utusan Belanda karena akan mendatangkan bencana seperti perang. Memang raja Mengwi melayani datangannya dengan baik, tapi setelah ia pergi, ia tertawa bahak-bahak.

Hubungan dengan kerajaan Badung beberapa lama kemudian mulai memburuk gara-gara respon dari Batavia atas penjanjian van den Broek dengan Badung terlalu lama datangnya. Dan saat informasi datang, pemerintah Hindia Belanda menyatakan kalau mereka menolak perjanjian tersebut karena tak mau intervensi politik yang dapat menyulitkan mereka. 

Utusan-utusan raja Badung, Mengawi, dan Gianyar mendatangi Batavia dengan di antar Roos dari bulan Febuari, bawahan van der Broek selama ekpedisi ke Bali. Pertemuan tersebut dilaksanakan 2 Juni 1818 dan tak membuahkan hasil yang berarti karena tidak mau membicarakan isi kontrak yang dibuat raja Badung dengan Broek. Akhirnya mereka pulang dan sampai di Bali September 1818. 

Selama di Kuta, Broek mengalami kesulitan pangan karena gangguan penduduk lokal dan kelaparan. Ia meminta bantuan kepada raja Badung, tapi tak dipenuhi sehingga Batavia bertindak dengan mengirim dokter ke sana. Setelah sembuh semua rombongan Broek, Broek meninggalkan Bali di 28 Juni 1818. Setelah itu, tak ada utusan Belanda lagi ke sana.

Sebenarnya di 1822, residen Banyuwangi mengundang para raja Bali ke Banyuwangi untuk menyambut gubenur jenderal di sana. Undangan tersebut dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana hubungan raja-raja Bali dengan Belanda. Yang menenuhi undangan tersebut hanya Badung, Mengawi, dan Gianyar. Karena mengetahui hubungan Bali-Belanda ternyata baik-baik saja, Belanda mengirimkan kembali utusan dengan mengutus pangeran Said Hassan Habashi, menantu sultan Pontianak ke Bali di 1823. Utusan tersebut membujuk raja-raja Bali untuk membolehkan Belanda merekrut orang Bali sebagai prajurit, tapi yang memberikan respon positif hanya Badung. Badung memang merupakan tempat yang strategis untuk merekrut prajurit karena Badung merupakan tempat penghasil budak terbanyak di Bali. Sebelumnya, Belanda melarang mengambil budak dari Bali. Izin tersebut dikabulkan penguasa Badung tersebut dan di April 1827, Hindia Belanda mengirimkan Pierre Dubios, seorang pegawai negeri untuk memanejemen perekrutan prajurit Bali di Kuta. Belanda awalnya menginginkan pengiriman budak tiap tahunnya 1.000 orang, tapi realisasinya hanya separuhnya karena persaingan dengan pedagang Prancis.

Di tahun 1825 saat perang Jawa mulai berkobar, Belanda mengirimkan kapten J.S. Wetters yang merupakan pemimpin deputi pembangunan militer Surabaya ke Badung di 1826 untuk merealisasikan kontrak dari menantu pangeran Pontianak. Kontrak tersebut disetujui raja muda Gusti Ngurah Pemecutan dan perekrutan orang Bali terus berlangsung sampai perang Jawa berakhir.

Di tahun 1830, hubungan dagang Bali-Singapura membuat Hindia Belanda sedikit khawatir dengan perluasan pengaruh Inggris ke Bali. Hindia Belanda mencoba meneliti apakah ada perluasan pengaruh Inggris di Bali dengan mengirimkan kapal perang bernama ‘Ajax’ dan setelah diteliti, tak ada pengaruh politik Inggris di Bali. Tapi di tahun 1837, van Doorn selaku menteri negara mengirimkan surat ke count van der Bosch selaku menteri kolonial kalau di Bali banyak orang Inggris yang berkerja membangun jalan di sana. Ini sedikit mengkhawatirkan Belanda kalau Inggris sedang membangun pengaruh di sana terlebih orang-orang Inggris membangun jalan di Badung atas kebijakan Raja Kesiman untuk memperlancar perjalanan ke Tabanan, Mengwi, dan Gianyar. Hal tersebut mulai memancing Belanda untuk memperluaskan kekuasaannya di Bali padahal Raad van Indie, dewan Hindia, berusaha untuk menekan peluang semaksimal mungkin untuk memperluas wilayah dari Jawa dan Sumatra timur. Seperti yang diduga Belanda, Inggris memang sudah memusatkan perhatiannya kepada Bali di 1839.

Hindia Belanda mengirimkan Mayor J.S. Wetters ke Bali-Lombok di 18 Juni 1838. Saat itu Lombok sedang terlibat perang saudara antara Karangasem dan Mataram. Dan ketika J.S. Wetters mendarat di Padang Reak di 5 Juli 1838, fase pertama perang Lombok sudah usai. Wetters berhasil menemui penguasa Mataram, Gusti Ngurah Ketut Karangasem di Lombok tapi misinya untuk mendirikan pos dagang gagal. Ia pergi ke Badung dan mendarat di hari sama di 21 Juli 1838. Ia menemui Gusti Gede Ngurah Kesiman selaku penguasa berpengaruh di Badung dan misinya sukses. Setelah itu, Wetters pergi ke Buleleng tapi di sana, ia tak menemukan penguasa Buleleng karena penguasa Buleleng sedang menyerang Karangasem dan berhasil menganeksi wilayah tersebut lalu menempatkan saudaranya sebagai raja Karangasem. Wetters pergi ke pelabuhan Culik di Karangasem dan tak sengaja bertemu dengan Gusti Ngurah Made Karangasem, tapi dari pertemuan tersebut, tak menghasilkan hasil yang berarti. Kemudian Wetters kembali ke Lombok dan sesudah itu kembali ke Jawa dengan sampai di Surabaya 3 September 1838.

Belanda mengirimkan agen Grandpré Molière ke Bali di 28 November 1838 dan sampai di sana di 5 Desember 1838. Setelah tanggal 1 Januari 1839, ia pergi ke Lombok. Selama misinya di Bali, ia sukses menjalin hubungan dengan raja-raja Bali. Berbeda dengan di Bali, ia gagal membujuk Gusti Ngurah Ketut Karangasem. Ia kembali ke Surabaya di 6 Febuari 1839.

Di 10 Desember 1839, H.J. Huskus Koopman menjadi komisaris pemerintah yang bertanggung jawab atas Bali dan Lombok dan di 10 Desember 1839, ia mendarat di Kuta. Ia mulai merayu para raja Bali untuk mengakui pemerintah Belanda dan menghapuskan hukum tawan karam. Tawan karam merupakan hukum yang membolehkan warga pesisir menjarah barang-barang kapal yang tercecer di pantai dan hukum ini sudah ada sebelum Majapahit menyerang Bali. 

Koopman berhasil mendapatkan kontrak dengan penguasa Badung di 26 Juli 1841 dan kemudian Dewa Agung dari Klungkung. Pengaruh Dewa Agung begitu besar sehingga membuat raja-raja Bali lainnya gampang menekan kontrak kecuali Kerajaan Bangli yang tak mempunyai lautan.

Walaupun Koopman meminta para raja Bali untuk menghilangkan aturan tersebut, para raja tak punya andil untuk menghapuskannya karena tak punya kuasa sebesar itu. Kuasa raja hanya sebatas pada aspek-aspek politik, ekonomi, militer, dan keagamaan. Budaya masyarakat adalah hal yang mustahil untuk dihapuskan. Oleh karena itulah ketika terjadi perahu karam di wilayah Buleleng dan bakal memicu perang yang akan menentukan sejarah Bali kedepannya.

Sumber:
Bali di abad ke-19:Anak Agung Gede Agung



Perang Buleleng-Belanda I , Perang Jagaraga, hingga jatuhnya Buleleng dan Klungkung.
Setelah Koopman berhasil mendapatkan kontrak dengan penguasa Badung di 26 Juli 1841 dan kemudian Dewa Agung dari Klungkung. Walaupun Koopman meminta para raja Bali untuk menghilangkan aturan tersebut, para raja tak punya andil untuk menghapuskannya karena tak punya kuasa sebesar itu. Hal ini terjadi pada kapal “Overijsel” yang karam di Kuta di tanggal 29 Juli 1841 dan barang-barangnya diambil oleh penduduk setempat. 

Koopman komplain kepada penguasa Badung dan membuat Gusti Gde Ngurah Rai memerintahkan kepada rakyatnya untuk mengembalikan barang-barang kapal “Overijsel”. Para penduduk menolak karena aturan Tawan Karam sudah mengikat dari zaman leluhur mereka. Gusti Gde Ngurah Rai tak mau ribut dengan rakyatnya dan membiarkan mereka. Pemerintah Hindia Belanda kesal dengan penjarahan barang-barang kapal “Overijsel” dan mengirim kembali Koopman ke Bali yang sebelumnya balik ke Batavia untuk melaporkan selama ia di Bali.

Dengan ide baru yaitu para raja mengambil ahli barang-barang dan penumpang kapal karam yang berbendera Belanda ataupun negara sahabatnya, raja dari Badung, Klungkung, Karangasem, Buleleng, dan lainnya menyetujui perjanjian dengan Koopman. Hanya Bangli yang tak menyetujui perjanjian ini karena mereka tak punya laut dan Gianyar mengikuti langkah Bangli. Setelah selesai di Bali, Koopman pergi ke Lombok dan ia meminta bantuan kepada Mads Lange, pedagang Denmark yang sudah berpengalaman di Lombok dan mengikuti perang tersebut di pihak Karangasem Lombok yang memaksanya mundur ke Kuta. Mads Lange mengirim surat ke George Peacock King dan George Peacock King yang cenderung memusuhi Belanda akhirnya menyadari kalau tak ada gunanya memusuhi Koopman. 

Koopman tiba di Lombok di awal Juni 1843 dan negosiasinya dengan penguasa Selaprang berhasil di 7 Juli 1843. Namun ketika Koopman kembali ke Batavia, apa yang menjadi perjanjiannya dengan Selaprang kurang memuaskan pihak Hindia Belanda karena terlalu umum isinya sehingga Koopman kembali ke Lombok dengan membawa surat dari gubenur jenderal, Pieter Markus. Surat tersebut dibalas lagi oleh surat raja Selaprang dan Koopman akhirnya bisa kembali ke Batavia dengan tenang.

Walaupun pihak kerajaan-kerajaan Bali menyetujui perjanjian dengan Hindia Belanda, kenyataannya mereka tak bisa mengubah tradisi rakyat mereka. Akibatnya gubenur jenderal mengirimkan asisten residen Banyuwangi, Ravia de Ligny ke Bali. Di awal Oktober 1844, ia sampai di Bali tapi malangnya, ia tak dihiraukan oleh para raja Bali sehingga ia kembali ke Banyuwangi tanpa hasil apa-apa. Di awal Mei 1845, Hindia Belanda kembali mengirimkan utusan dengan mendaratnya J.F.T. Mayor di Buleleng dan ia meminta kepada penguasa Buleleng untuk menganti rugi apa yang dijarah oleh rakyat Buleleng. Namun negosiasinya gagal. Hal ini berimbas dengan rencana ekspedisi militer Hindia Belanda ke Bali.


Visit Our Sponsor

Dimulainya perang

Pada 6 febuari 1846, gubenur jenderal J.J.Rochussen memutuskan untuk mengirimkan ekspedisi ke Buleleng untuk menghukum mereka. Patih Buleleng, Gusti Ketut Jelantik mempersiapkan pertahanan Buleleng dengan mengimpor persenjataan dan amunisi dari Singapura via pedagang Bugis dan Tionghoa. Perdagangan Singaraja-Singapura mulai berjalan efektif beberapa tahun belakangan dan membuat Belanda ketar-ketir.
Gusti Ketut Jelantik membangun benteng di Jagaraga yang berada di daerah pedalaman pegunungan karena ia tahu Belanda akan mudah menyerang Singaraja dengan bantuan kapal perang mereka. Wilayah Buleleng yang meliputi wilayah Bali Utara memang sangat unik. 

Peggunungan yang membelah Bali menjadi dua:utara dan selatan membuat Buleleng bisa mendirikan benteng dan lari ke sana dalam waktu singkat, terlebih benteng-benteng tersebut telaknya di peggunungan dan berguna untuk menghalau musuh dari Bali selatan. Jagaraga juga merupakan jalur strategis di mana pedagang dari selatan bisa ke Buleleng.

Dewa Agung dari Klungkung menyikapi persiapan perang dengan mengirimkan surat kepada seluruh raja Bali untuk membantu Buleleng. Hanya Dewa Manggis VI dari Gianyar merespon seruan Klungkung dengan membangun pertahanan –menurut keterangan Mads Lange yang direkrut Belanda sebagai agen. 

Badung dan Tabanan bersikap netral karena tak mau merusak hubungannya dengan Belanda. Sedangkan Bangli dan Mataram Lombok mendukung Belanda dan bersiap mengirimkan bantuan. Bangli letaknya cukup dekat dengan Buleleng sehingga mereka punya keuntungan jikalau mengikuti perang ini sementara Mataram yang bermusuhan dengan raja Karangasem-Buleleng (yang masih punya ikatan kekeluargaan) bisa mendapatkan keuntungan dengan menghancurkan Karangasem dan Buleleng di Bali.

Di 20-21 Juni 1846, prajurit Belanda berjumlah sekitar 3.500 prajurit berangkat dari Besuki, Jawa Timur ke Bali di bawah komando kolonel G.Bakker dan pasukan Bakker mendapat tambahan 500 prajurit Madura asal kesultanan Bangkalan dan Sumenep. Pasukan Belanda memang terkadang tergantung dengan pasukan Madura yang cukup keras dan tangguh serta pasukan Mangkunegara dari daerah Yogyakarta. Pasukan ini mendarat di Buleleng di 26 Juni 1846 dan J.F.T.Mayor yang ada di pasukan ini mengulitimatum Gusti Ngurah Made Karangasem untuk menuruti seluruh permintaan Belanda. Jelas penguasa Buleleng tersebut menolak dan di 28 Juni 1846, pasukan G.Bakker menyerang Singaraja dengan membombardir dari laut. Perebutan Singaraja berhasil dilakukan di tanggal 29 Juni dan ketika memasuki kawasan istana, Gusti Ngurah Made Karangasem bersama pengikutnya sudah tidak ada karena sudah mundur ke Jagaraga. 

J.F.T.Mayor meminta kepada George Peacock King untuk menemui penguasa-penguasa Buleleng di Jagaraga dan usahanya berhasil. King berhasil membujuk para penguasa Buleleng-Karangasem kembali ke Singaraja dengan penguasa Karangasem di tanggal 5 Juli 1846 dan Buleleng 9 Juli 1846. Mereka diminta oleh Belanda untuk membayar kompensasi perang sebesar Fl.300.000,-, tapi permintaan ini terlalu berat buat raja-raja Bali tak sekaya dengan penguasa lain di Nusantara. Hal ini terjadi di karena penghasilan utama mereka tergantung pada penjualan budak dan penjualan budak di Bali mulai menurun seiring adanya pelarangan oleh Inggris di awal dekade 1810-an dan Belanda serta faktor munculnya pabrik yang menekan jumlah pekerja. .

Selesai membuat kontrak, pasukan Belanda mundur ke jawab dan kontrak yang diteken para penguasa Karangasem-Buleleng dianggap Gusti Ketut Jelantik hanya sebatas tulisan kertas dan di tahun 1847, Buleleng benar-benar menghiraukan kontrak tersebut. Hal ini membuat kembali pemerintah Hindia Belanda murka dan mengirim ekspedisi ke Buleleng di Juni 1848. 

Prajurit KNIL yang dibawah komando Jonkheer van der wijck mendarat di Sangsit pada 8 Juni 1848. Prajurit yang ia bawa 2265 serdadu. Di tanggal 9 Juni 1848 prajurit Jonkheer van der wijck menyerang benteng Jagaraga dan pertempuran sengit tersebut berhasil dimenangkan Buleleng. Kondisi topografi Jagaraga yang tidak dikenal dan krisis suplai air bersih oleh pasukan Belanda membuat Belanda terpaksa mundur padahal di benteng Jagaraga, pasukan Bali sebenarnya sudah banyak kabur dan menyisakan Patih Jelantik dan pasukan setianya yang sudah krisis akan candu. Candu sangat berpengaruh karena membuat pasukan lupa akan depresi dan menggila kala bertempur.

Jonkheer bersama prajuritnya mundur ke Sangsit. Kalahnya pasukan ini membuat Hindia Belanda memutuskan untuk menarik mundur prajurit Jonkheer van der wijck ke Batavia. Kekalahan tersebut tentu membuat Belanda malu dan menjadi kebangga sendiri bagi kerajaan Buleleng yang telah mengalahkan Belanda.

Ekspedisi ketiga ke Buleleng dikirimkan di bawah komando mayor jenderal A.V.Michiels dan pasukan ini yang jumlahnya 4.177 prajurit KNIl untuk menghukum Buleleng, Karangasem, dan Klungkung. Ekspedisi ini dimulai dengan mendaratnya A.V.Michiels dan pasukannya di Buleleng 2 April 1849. 

Ketika masuk ke Singaraja, mereka menemukan sudah kosong karena penguasa dan para pengikutnya sudah mundur ke Jagaraga. Beberapa kali Buleleng saling berhubungan dengan Michiels untuk berdiskusi dan dalam diskusi-diskusi tersebut, Michiels meminta Buleleng untuk menyerah. Akhirnya di 15 April 1849 pecah pertempuran dan Belanda berhasil menguasai benteng Jagaraga di 16 April 1849 dengan taktik menaburkan koin di tembok benteng dan membuat warga sekitar merusak benteng. Pasukan Bangli juga dikerahkan di perbatasan Buleleng-Bangli dan membuat posisi Buleleng terancam, Pasukan Gusti Ketut Jelantik mundur ke Karangasem dan memusatkan kekuasaan di Karangasem.

Michiels mulai mengalihkan perhatian ke Klungkung. Pasukan KNIl dikirim ke Klungkung melalui pelabuhan Sangsit di 9 Mei 1849 dan mendarat di Labuan Amuk 12 Mei 1849. Michiels mendapatkan bala bantuan dari Selaprang sebesar 4.000 prajurit Mataram sehingga Michiels mulai memfokuskan dulu Karangasem. Mereka menyerang Karangasem di akhir Mei 1849 dan berhasil menaklukan istana Karangasem. Mereka menemukan keluarga penguasa Karangasem sudah puputan sedangkan penguasa Buleleng melarikan diri ke area gunung Seraya, tapi mereka dapat dikejar prajurit Lombok dan mereka tewas dipertempuran. Michiels kembali memandang Klungkung dan melakukan penyerangan ke sana. Di saat yang sama, Gianyar dan Mengwi beralih posisi mendukung Klungkung. Sebenarnya kondisi Mengwi saat itu sangatlah tidak bagus dan kemungkinan besar Mengwi tak memberikan kontribusi banyak.

Terjadi pertempuran besar di Kusamba yang pada akhirnya dapat dimenangkan Belanda. Kusamba berhasil rebut dan Michiels bersama pasukannya beristirahat di sana sebelum menyerang ibu kota Klungkung, tapi di malam 25 Mei 1849, pasukan musuh menyerang dengan ganas di malam hari atas komando istri raja Klungkung. Medan yang sulit dan tak dikenal membuat pasukan Belanda kewalahan bahkan membuat Michiels terluka parah sehingga membuatnya meninggal karena lukanya. 

Komando pasukan Michiels diambil ahli kolonel J.van Swieten. Ia yang melihat pasukan gabungan Klungkung, Mengwi, dan Gianyar membuatnya menganti taktik diplomasi dengan mengundang raja-raja Bali ke Padang Cove. Konferensi ini gagal karena Dewa Agung VI menolak untuk hadir karena sudah antipati dengan Belanda.

Siasat kembali diganti van Swieten. Van Swieten dan pasukannya yang berdiam di Padang Cove kembali menduduki Kusamba di 10 Juni 1849 dan ia mendapati kabar dari Mads Lange bahwa Badung dan Tabanan menyerang Klungkung dan membuat Dewa Agung VI menyerah. Pada tanggal 12 Juni 1849, utusan kerajaan Klungkung, Badung, Tabanan, dan Gianyar yang bersiap menemui gubenur jenderal di Batavia berkumpul di rumah Mads Lange. Sekitar 40.000 pengikut raja mengikuti perundingan ini dan berhasil membuat perdamaian yang cukup melegakan raja-raja Bali namun perdamaian ini membuat Klungkung kehilangan pengaruhnya di mata raja-raja Bali dan menaikan prestige dari raja Badung.

[Event Sejarah] Perang Para Raja Bali:1686-1906

Mads Lange, inisiator perdamaian di Bali.

Dengan selesainya perang, Hindia Belanda memberikan Karangasem kepada Selaprang dan Buleleng kepada Bangali. Selain itu, Hindia Belanda membiarkan Bali tanpa menempatkan prajurit dan mereka tetap menerapkan aturan pemberhentian tawan karam.

sumber
Bali in 19th century:Anak Agung Gede Agung
Dirk Teeuwun


Tidak ada komentar:

Posting Komentar