Minggu, 20 Oktober 2019

Hukuman Mati Menurut Hindu

Pada hakikatnya, kematian adalah hak mutlak yang dimiliki oleh Tuhan untuk diberikan kepada makhluknya. Ketika seseorang kemudian meninggal, maka ia akan terputus dari dunia dan kembali ke sisi Sang Kuasa. Adapun kematian sendiri datang kepada manusia dengan berbagai cara, oleh sebab kecelakaan, terjatuh atau bahkan melalui sebuah hukuman yang dijatuhkan oleh sang penguasa disebabkan beratnya sebuah kejahatan yang dilakukan oleh si pemilik hukuman.
- JUAL ES KRIM PESTA MURAH DI BALI
- Jual Cake Ulang Tahun Bali

Dalam Agama hindu, tindakan kekerasan tidaklah dibenarkan. Sebuah jiwa adalah suci, dan tidak disarankan untuk menjatuhkan hukuman mati kepada seseorang. Ada sebuah ajaran didalam hindu dengan nama “Ahimsa”, yang mana menyatakan bahwa tindak kekerasan sangat ditentang dan bahwa kematian adalah sebatas fisik saja, sedangkan jiwa nantinya akan terlahir kembali kedalam tubuh yang berbeda.
Adapun dasar penentangan ini salah satunya diambil dari kita Santiparva pada bab 57 yang berisi sebuah percakapan antara seorang raja dengan seorang pangeran yang yang menentang adanya hukuman mati untuk dijatuhkan kepada pelaku kejahatan yang tidak lain adalah ayahnya sendiri.
Pangeran SayayanTerkadang kebajikan membuat kita mengetahui dosa dan dosa membuat kita mengetahui kebajikan. Dan tidak akan pernah mungkin membinasaakan manusia dapat dianggap suatu perbuatan yang bijak.
Raja Dyumatsena: Apabila mengecualikan mereka yang harus dibunuh adalah bijak, apabila perampok dikecualikan, Satyayan, maka perbedaan antara kebajikan dan perbuatan dosa akan samar.
- JUAL ES KRIM PESTA MURAH DI BALI
- Jual Cake Ulang Tahun Bali

Pangeran SayayanTidak dapat membinasakan pelaku kejahatan, seorang raja hendaknya menghukum dia sebagai seorang yang ditakdirkan berdasarkan kitab. Seorang raja hendaknya tidak berbuat sebaliknya, mengabaikan moral untuk merendahkan martabat pelaku kejahatan. Dengan membunuh seorang pelanggar, raja membunuh banyak orang yang tidak berdosa. Dengan membunuh seorang perampok tunggal, isrei ibu, bapa, dan anak yang bersangkutan semuanya ikut terbunuh. Ketika dirugikan oleh seorang pelaku kejahatan, raja oleh karenanya harus merenungkan persoalan penghukuman. Terkadang orang jahat terlihat meniru kebaikan dari orang baik. Hal tersebut mencerminkan anak yang baik berasal dari keturunan yang jahat. Maka dari itu sebaiknya orang jahat tidak dimusnahkan. Pemusnahan orang jahat tidak sesuai dengan hukum keabadian dalam agama hindu.(sumber : wisdanarananda.blogspot.com)
Isi percakapan raja Dyumatsena dan pangeran Satyayan inilah yang kemudian serong digunakan sebagai salah satu dasar penentangan dalam pelaksanaan hukuman mati. Dalam Manawa Dharmasastra Buku ke-IX (Atha Ekadaso dhyayah) bentuk-bentuk kesalahan atau kejahatan digolongkan menjadi dua bagian, yakni: upta-pataka (kesalahan/kejahatan kecil) dan maha-pataka (kesalahan/kejahatan besar), yang mana kesalahan atau kejahatan tersebut harus ditebus dengan “prayascita”.(Sumber : sutarjanaihd.blogspot.com)
Menurut pendapat Ida Pandita Nabe Sri Bhagawan Dwija Wars Nawa Sandhi, hukuman mati bagi orang hindu-Bali, apabila ia sudah tau bahwa perbuatannya jahat kemudian dijatuhi sanksi karena terbukti bersalah oleh pengadilan, masalah orhnya akan kembali ke Sanghyang Widhi atau tidak kita tidak tahu, Namun, perlu diingat bahwa hukuman yang diputuskan oleh ‘manusia’ karen dipandang bersalah, belum tentu dalam Sanghyang Widhi di juga dianggap “bersalah”. Misalnya korban kemelut politik, huru-hara, dll.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa hukuman mati yang diputukan apapun alasannya masihlah kurang bijak. Sebab manusia bukan Tuhan, tetapi kejahatan tetap harus berbalas. Karena pada hakikatnya, hukum karma akan selalu kembali kepada si pemilik perbuatan.
- JUAL ES KRIM PESTA MURAH DI BALI
- Jual Cake Ulang Tahun Bali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar