Selasa, 05 Mei 2020

TRADISI UNIK MASYARAKAT DESA TENGANAN

arts-31-8846

Di sebuah desa tua yang dikelilingi oleh bukit di Kabupaten Karangasem, Bali tepatnya di Desa Tenganan, terdapat tradisi unik yaitu Perang Pandan. Perang pandan juga disebut dengan istilah makere-kere. Upacara perang pandan menjadi daya tarik bagi wisatawan, baik wisatawan dalam negeri maupun wisatawan asing. Perang pandan merupakan salah satu tradisi yang dilakukan untuk menghormati Dewa Indra atau Dewa perang. Perang pandan merupakan bagian dari ritual Sasih Sembah. Sasih sembah ialah ritual terbesar yang ada di Desa Tenganan.
Masyarakat Desa Tenganan memiliki kepercayaan yang berbeda dari umumnya masyarakat Bali. Masyarakat di Desa Tenganan menganut agama Hindu Indra. Pemeluk agama Hindu Indra tidak membedakan umatnya dalam kasta. Mereka juga menempatkan Dewa Indra sebagai Dewa tertinggi. Masyarakat Tenganan percaya bahwa desa yang mereka tempati merupakan hadiah dari Dewa Indra.
Jaman dahulu daerah Tenganan dipimpin oleh seorang raja yang kejam bernama Maya Denawa. Maya Denawa menganggap dirinya sebagai seorang Dewa. Selain menganggap dirinya Dewa, Maya Denawa juga melarang masyarakat Tenganan untuk melakukan ritual keagamaan. Pengakuan Maya Denata sebagai dewa membuat murka para Dewa, kemudian Dewa Indra diutus untuk melawan Maya Denawa. Peperangan antara Maya Denawa dan Dewa Indra dimenangkan oleh Dewa Indra yang kini diperingati masyarakat Desa Tenganan dengan upacara perang pandan, karena Dewa Indra adalah dewa perang.
Tradisi perang pandan, dilakukan dengan menggunakan pandan berduri sebagai alat atau senjata untuk berperang. Pandan berduri yang digunakan adalah pandan yang sudah diikat sehingga berbentuk seperti gada. Peserta perang pandan juga sebuah tameng. Tameng tersebut digunakan untuk melindungi diri dari serangan lawan. Tameng yang digunakan pada perang pandan terbuat dari rotan yang dianyam.
Perang pandan diiringi musik gamelan seloding. Seloding adalah alat musik di daerah Tenganan yang hanya boleh dimainkan oleh orang yang disucikan. Alat musik ini juga tidak sembarangan dimainkan, melainkan hanya pada acara tertentu saja. Alat tersebut memiliki pantangan yang tidak boleh dilanggar yaitu tidak boleh menyentuh tanah.
Perang pandan dilakukan oleh pemuda desa Tenganan dan luar desa Tenganan. Pemuda dari dalam desa berperan sebagai peserta perang pandan sedangkan pemuda dari luar desa sebagai peserta pendukung. Anak-anak yang sudah mulai beranjak dewasa juga sudah turut ambil bagian dalam upacara ini. Upacara ini juga dapat menjadi simbol seorang anak sudah beranjak dewasa.
DSC_0384
Upacara perang pandan didahului dengan mengelilingi desa sebagai wujud permintaan keselamatan kepada Dewa. Setelah mengelilingi desa, kemudian dilanjutkan ritual minum tuak bersama. Tuak kemudian di kumpulkan bersama dan dibuang di sebelah panggung. Pemangku adat akan memberikan aba-aba tanda perang dimulai. Perang dilakukan berpasangan yaitu sejumlah dua orang. Peserta perang pandan akan menari-nari dan sesekali menyabetkan pandan berduri pada peserta lainnya sealam datu menit lalu bergantian dengan pasangan lain. Meskipun tubuhnya berdarah, pada peserta tetap terlihat senang karena hal itu adalah salah satu ungkapan syukur mereka dan cara menghormati Dewa Indra. Setelah perang selesai peserta yang terluka diolesi ramuan tradisional yang terbuat dari kunyit. Acara selanjutnya setelah perang usai adalah melakukan sembahyang di pura. Meskipun peserta terluka tetapi tidak ada dendam di antara peserta. Hal tersebut disimbolkan dengan makan bersama yang menunjukkan kebersamaan. Acara tersebut dinamakan megibung.
Perang pandan dilakukan setiap bulan kelima atau sasih kalima dalam penanggalan desa adat Tenganan atau sekitar awal bulan Juni. Ritual perang pandan berlangsung kurang lebih selama dua hari berturut-turut. Upacara ritual ini dilakukan setiap satu tahun sekali. Perang pandan dilaksanakan mulai dari jam 2 sore hingga selesai selama tiga jam.
Visit Our Sponsor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar