(Foto: Ketua PHDI Provinsi Bali Prof. Drs. I Gusti Ngurah Sudiana, M.Si)
Denpasar - Tinggal menghitung hari, umat Hindu akan merayakan hari raya Galungan, Rabu (24/7). Galungan kali ini bisa dikatakan istimewa lantaran Bali sempat digoyang gempa dan Gunung Agung masih terbilang aktif.
Oleh karena itu, umat Hindu hendaknya melaksanakan Galungan berdasarkan sastra dan tattwa tanpa perlu ada kesan jor-joran. Demikian disampaikan Ketua PHDI Bali, I Gusti Ngurah Sudiana disela-sela menghaturkan Bhakti Penganyar bersama Pemprov Bali di Pura Blambangan, Banyuwangi, dan Pura Mandara Giri Semeru Agung, Lumajang, Jawa Timur, Sabtu (20/7).
“Supaya persembahan dan tata cara persembahan serta cara memusatkan pikiran untuk bersembahyang itu tepat menurut sastra dan tattwa, dan juga sesuai dengan keputusan Parisada Hindu Indonesia,” ujarnya.
Sudiana menambahkan, di dalam perayaan galungan yang terpenting tidak hanya persembahan. Tapi melakukan evaluasi diri, dimulai dari evaluasi fikiran yang paling utama, kemudian perkataan dan perilaku.
Pada lontar Sundarigama telah diuraikan “Budha Kliwon Dungulan Ngaran Galungan patitis ikang janyana samadhi, galang apadang maryakena sarwa byapaning idep”. “Dalam pelaksanaan Galungan itu, semua umat Hindu diharapkan memusatkan pikiran kepada Tuhan sehingga menemukan cahaya yang terang, mendapatkan pencerahan,” jelasnya.
Dengan mendapatkan pencerahan, lanjut Sudiana, seluruh pikiran yang negatif bisa dijauhkan dari perilaku hidup sehari-hari. Galungan juga harus dilaksanakan berdasarkan tattwa, dalam arti upacaranya tidak besar.
Tapi memenuhi unsur satyam, siwam, sundaram yaitu kebenaran, kesucian, dan keindahan. Maksudnya, masyarakat menyucikan diri, memakai bahan yang suci, pikirannya ikhlas, dengan didasari oleh dharma.
Hal itu akan berpengaruh kepada kesucian pikiran. “Pengendalian diri dan persembahyangan secara benar itu memenuhi unsur genep tanding. Semua unsur upacara terpenuhi tapi tidak berdasarkan perasaan dan perilaku jor-joran,” imbuhnya.
Menurut Sudiana, Galungan akan menjadi jauh lebih bermakna jika dilaksanakan dengan ikhlas, sederhana, dan pikiran yang suci. Ketimbang dilakukan dengan wah, tapi tidak mengerti artinya dan tidak tahu tata cara persembahannya.
Ditambah lagi ada rasa tidak ikhlas. Misalnya saat membuat Penjor, bisa dengan sederhana asal ada unsur pala bungkah, pala gantung, dedaunan, jajan, dan sanggah Penjor. Walaupun sederhana, keindahan tidak diabaikan untuk memberikan vibrasi positif bagi pikiran. “Kita juga harapkan umat Hindu supaya bisa memenangkan Dharma melawan Adharma, mestinya tidak ada yang di pos kamling mabuk-mabukan, berjudi, meceki, atau menyalakan musik keras-keras. Hendaknya itu diubah, mestinya menyalakan nama smaranam,” paparnya.
Sudiana melanjutkan, umat Hindu saat Galungan maupun setelah Galungan lebih baik menyalakan doa-doa pemujaan kepada Tuhan sehingga suasana Galungan menjadi religius. Kemudian tidak terpengaruh dengan Bhuta Kala, tapi mengutamakan pula kegiatan “menyama braya.”
Source: http://www.balipost.com
Visit Our Sponsor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar