Jumat, 29 Mei 2020

Cerita Lubdaka Pada Siva Purana

Cerita ini dikisahkan pada saat malam saraswati,atau malamnya gelap siva pada saat itu lubdaka berburu dihutan, dia kemalaman dihutan dan lalu naik kepohon beringin




Cerita Lubdaka Pada Siva Purana



Dikisahkan bahwa Lubdaka adalah seorang pemburu binatang hutan yang memakan atau menjual daging hasil buruannya. Pekerjaannya itu dilakukannya setiap hari. Namun, suatu hari, nasibnya sedang apes. Di hari yang apes itu, Lubdaka tidak memperoleh seekor pun binatang untuk dimakan atau dijual. Hal yang lebih malang baginya, karena saking ingin mendapatkan binatang buruan, ia lupa waktu hingga hari sudah gelap. 
Kegelapan di hutan, membuat Lubdaka tidak bisa mencari jalan untuk pulang. Walhasil, ia pun memilih memutuskan untuk menginap saja di hutan. Untuk itu, ia mencari pohon yang besar untuk tempatnya tidur karena takut terhadap ancaman binatang buas. 
Kakinya membawa Lubdaka pada pohon Bila yang di bawahnya terdapat air telaga yang jernih, dengan sebuah pelinggih dan Lingga. Pelan-pelan tapi pasti, Lubdaka memanjat pohon Bila. Setelah mendapat posisi yang nyaman, Lubdaka bersandar, tapi berusaha tidak tertidur,  walaupun ia mengantuk. Pasalnya, jika ia sampai tertidur pulas, tentu ia bakal terjatuh. Maka dari itu, Lubdaka memetik daun-daun pohon Bila dan menjatuhkannya ke bawah, sehingga mengenai Lingga yang ada di bawahnya. Lubdaka sendiri tidak menyadari bahwa malam itu adalah malam Siwalatri, di mana Dewa Siwa tengah melakukan yoga. 
Sambil membuang daun-daun pohon Bila ke bawah, tanpa terasa Lubdaka mulai menyesali segala perbuatan jahat yang pernah dilakukannya sepanjang hidup, baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Di atas pohon Bila itu, diam-diam hatinya bertekad untuk berhenti bekerja sebagai pemburu.
Lamunan panjang Lubdaka akan dosa-dosanya seolah mempercepat waktu. Rasanya baru sebentar saja Lubdaka melamun, tapi tahu-tahu pagi pun tiba. Itu menggambarkan bahwa dosa-dosa yang pernah dilakukannya sudah terlalu banyak dan tidak bisa diingatnya satu per satu lagi dalam waktu satu malam. Karena sudah pagi, ia berkemas-kemas pulang ke rumahnya.
Sejak hari itu, Lubdaka beralih pekerjaan sebagai petani. Tapi, petani tidak memberinya banyak kegesitan gerak, sehingga tubuhnya mulai kaku dan sakit, yang bertambah parah dari hari ke hari. Hingga, akhirnya hal ini membuat Lubdaka meninggal dunia. 
Dikisahkan selanjutnya, roh Lubdaka, setelah lepas dari jasadnya, melayang-layang di angkasa. Roh Lubdaka bingung tidak tahu jalan harus ke mana. Pasukan Cikrabala kemudian datang hendak membawanya ke kawah Candragomuka yang berada di Neraka.
Di saat itulah, Dewa Siwa datang mencegah pasukan Cikrabala membawa roh Lubdaka ke kawah Candragomuka. Di situ, terjadi diskusi antara Dewa Siwa dengan pasukan Cikrabala. Menurut pasukan Cikrabala, roh Lubdaka harus dibawa ke neraka. Ini disebabkan, semasa ia hidup, ia kerap membunuh binatang. Pendapat itu mendapat tanggapan lain dari Dewa Siwa. Menurut Dewa Siwa, walaupun Lubdaka kerap membunuh binatang, tapi pada suatu malam di malam Savalatri, Lubdaka begadang semalam suntuk dan menyesali dosa-dosanya di masa lalu. Sehingga, roh Lubdaka berhak mendapatkan pengampunan. Singkat cerita, roh Lubdaka akhirnya dibawa ke Siwa Loka. 

10 AWATARA YANG TURUN KEDUNIA MENJELMA DENGAN UJUD MASING-MASING

1. Matsya Awatara, sang ikan, muncul saat Satya Yuga
Matsya.jpg
Dalam ajaran agama Hindu, Matsya (Dewanagari :मत्‍स्‍य; IAST: matsya) adalah awatara Wisnu yang berwujud ikan raksasa. Dalam bahasa Sanskerta, kata matsya sendiri berarti ikan. Menurut mitologi Hindu, Matsya muncul pada masa Satyayuga, pada masa pemerintahan Raja Satyabrata (lebih dikenal sebagai Maharaja Waiwaswata Manu), putra Wiwaswan, dewa matahari. Matsya turun ke dunia untuk memberitahu Maharaja Manu mengenai bencana air bah yang akan melanda bumi. Ia memerintahkan Maharaja Manu untuk segera membuat bahtera besar.
Kisah dengan tema serupa juga dapat disimak dalam kisah Nabi Nuh, yang konon membuat bahtera besar untuk melindungi umatnya dari bencana air bah yang melanda bumi. Kisah dengan tema yang sama juga ditemukan di beberapa negara, seperti kisah dari penduduk asli Amerika dan dari Yunani.


2. Kurma Awatara, sang kura-kura, muncul saat Satya Yuga
Kurma awatara.jpg
Dalam agama Hindu, Kurma (Sanskerta: कुर्म; Kurma) adalah awatara (penjelmaan) kedua dewa Wisnu yang berwujud kura-kura raksasa. Awatara ini muncul pada masa Satyayuga. Menurut kitab Adiparwa, kura-kura tersebut bernama Akupa.
Menurut berbagai kitab Purana, Wisnu mengambil wujud seekor kura-kura (kurma) dan mengapung di lautan susu (Kserasagara atau Kserarnawa). Di dasar laut tersebut konon terdapat harta karun dan tirta amerta yang dapat membuat peminumnya hidup abadi. Para Dewa dan Asura berlomba-lomba mendapatkannya. Untuk mangaduk laut tersebut, mereka membutuhkan alat dan sebuah gunung yang bernama Mandara digunakan untuk mengaduknya. Para Dewa dan para Asura mengikat gunung tersebut dengan naga Wasuki dan memutar gunung tersebut. Kurma menopang dasar gunung tersebut dengan tempurungnya. Dewa Indra memegang puncak gunung tersebut agar tidak terangkat ke atas. Setelah sekian lama tirta amerta berhasil didapat dan Dewa Wisnu mengambil alih.
Kurma juga nama dari seorang resi, putra Gretsamada.


3. Waraha Awatara, sang babi hutan, muncul saat Satya Yuga
Varaha.jpg
Waraha (Sanskerta: वाराह; Varāha) adalah awatara (penjelmaan) ketiga dari Dewa Wisnu yang berwujud babi hutan. Awatara ini muncul pada masa Satyayuga (zaman kebenaran). Kisah mengenai Waraha Awatara selengkapnya terdapat di dalam kitab Warahapurana dan Purana-Purana lainnya.
Menurut mitologi Hindu, pada zaman Satyayuga (zaman kebenaran), ada seorang raksasa bernama Hiranyaksa, adik raksasa Hiranyakasipu. Keduanya merupakan kaum Detya (raksasa). Hiranyaksa hendak menenggelamkan Pertiwi (planet bumi) ke dalam "lautan kosmik," suatu tempat antah berantah di ruang angkasa.
Melihat dunia akan mengalami kiamat, Wisnu menjelma menjadi babi hutan yang memiliki dua taring panjang mencuat dengan tujuan menopang bumi yang dijatuhkan oleh Hiranyaksa. Usaha penyelamatan yang dilakukan Waraha tidak berlangsung lancar karena dihadang oleh Hiranyaksa. Maka terjadilah pertempuran sengit antara raksasa Hiranyaksa melawan Dewa Wisnu. Konon pertarungan ini terjadi ribuan tahun yang lalu dan memakan waktu ribuan tahun pula. Pada akhirnya, Dewa Wisnu yang menang.
Setelah Beliau memenangkan pertarungan, Beliau mengangkat bumi yang bulat seperti bola dengan dua taringnya yang panjang mencuat, dari lautan kosmik, dan meletakkan kembali bumi pada orbitnya. Setelah itu, Dewa Wisnu menikahi Dewi Pertiwi dalam wujud awatara tersebut.


4. Narasimha Awatara, manusia berkepala singa, muncul saat Satya Yuga
Nrsimhadev.jpg
Narasinga (Devanagari: नरसिंह ; disebut juga NarasinghNārasiṃha) adalah awatara (inkarnasi/penjelmaan) Wisnu yang turun ke dunia, berwujud manusia dengan kepala singa, berkuku tajam seperti pedang, dan memiliki banyak tangan yang memegang senjata. Narasinga merupakan simbol dewa pelindung yang melindungi setiap pemuja Wisnu jika terancam bahaya.
Menurut kitab Purana, pada menjelang akhir zaman Satyayuga (zaman kebenaran), seorang raja asura (raksasa) yang bernama Hiranyakasipu membenci segala sesuatu yang berhubungan dengan Wisnu, dan dia tidak senang apabila di kerajaannya ada orang yang memuja Wisnu. Sebab bertahun-tahun yang lalu, adiknya yang bernama Hiranyaksa dibunuh oleh Waraha, awatara Wisnu.
Agar menjadi sakti, ia melakukan tapa yang sangat berat, dan hanya memusatkan pikirannya pada Dewa Brahma. Setelah Brahma berkenan untuk muncul dan menanyakan permohonannya, Hiranyakasipu meminta agar ia diberi kehidupan abadi, tak akan bisa mati dan tak akan bisa dibunuh. Namun Dewa Brahma menolak, dan menyuruhnya untuk meminta permohonan lain. Akhirnya Hiranyakashipu meminta, bahwa ia tidak akan bisa dibunuh oleh manusia, hewan ataupun dewa, tidak bisa dibunuh pada saat pagi, siang ataupun malam, tidak bisa dibunuh di darat, air, api, ataupun udara, tidak bisa dibunuh di dalam ataupun di luar rumah, dan tidak bisa dibunuh oleh segala macam senjata. Mendengar permohonan tersebut, Dewa Brahma mengabulkannya.


5. Wamana Awatara, sang orang cebol, muncul saat Treta Yuga
Vamanadeva.jpg
Dalam agama Hindu, Wamana (Devanagari: वामन ; Vāmana) adalah awatara Wisnu yang kelima, turun pada masa Tretayuga, sebagai putra Aditi dan Kasyapa, seorang Brahmana. Ia (Wisnu) turun ke dunia guna menegakkan kebenaran dan memberi pelajaran kepada raja Bali (Mahabali, seorang Asura, cucu dari Prahlada. Raja Bali telah merebut surga dari kekuasaan Dewa Indra, karena itu Wisnu turun tangan dan menjelma ke dunia, memberi hukuman pada Raja Bali. Wamana awatara dilukiskan sebagai Brahmana dengan raga anak kecil yang membawa payung. Wamana Awatara merupakan penjelmaan pertama Dewa Wisnu yang mengambil bentuk manusia lengkap, meskipun berwujud Brahmana mungil. Wamana kadang-kadang dikenal juga dengan sebutan "Upendra."


6. Parasurama Awatara, sang Rama bersenjata kapak, muncul saat Treta Yuga
Parasurama (Dewanagari: परशुरामभार्गव; IAST: Parashurāma Bhārgava) atau yang di Indonesia kadang disebut Ramaparasu, adalah nama seorang tokoh Ciranjiwin (abadi) dalam ajaran agama Hindu. Secara harfiah, namaParashurama bermakna "Rama yang bersenjata kapak". Nama lainnya adalah Bhargawa yang bermakna "keturunan Maharesi Bregu". Ia sendiri dikenal sebagai awatara Wisnu yang keenam dan hidup pada zaman Tretayuga. Pada zaman ini banyak kaum kesatria yang berperang satu sama lain sehingga menyebabkan kekacauan di dunia. Maka, Wisnu sebagai dewa pemelihara alam semesta lahir ke dunia sebagai seorang brahmana berwujud angker, yaitu Rama putra Jamadagni, untuk menumpas para kesatria tersebut.


7. Rama Awatara, sang ksatria, muncul saat Treta Yuga
Rama purusothama.jpg
Dalam agama Hindu, Rama (Sanskerta: राम; Rāma) atau Ramacandra (Sanskerta: रामचन्द्र; Rāmacandra) adalah seorang raja legendaris yang terkenal dari India yang konon hidup pada zaman Tretayuga, keturunan Dinasti Surya atau Suryawangsa. Ia berasal dari Kerajaan Kosala yang beribukota Ayodhya. Menurut pandangan Hindu, ia merupakan awatara Dewa Wisnu yang ketujuh yang turun ke bumi pada zaman Tretayuga. Sosok dan kisah kepahlawanannya yang terkenal dituturkan dalam sebuah sastra Hindu Kuno yang disebut Ramayana, tersebar dari Asia Selatan sampai Asia Tenggara. Terlahir sebagai putera sulung dari pasangan Raja Dasarata dengan Kosalya, ia dipandang sebagai Maryada Purushottama, yang artinya "Manusia Sempurna". Setelah dewasa, Rama memenangkan sayembara dan beristerikan Dewi Sita, inkarnasi dari Dewi Laksmi. Rama memiliki anak kembar, yaitu Kusa dan Lawa.


8. Kresna Awatara, putra Wasudewa, muncul saat Dwapara Yuga
Krsna flute big.jpg
Kresna (Dewanagari: कृष्ण; IAST: kṛṣṇa; dibaca [ˈkr̩ʂɳə]) adalah salah satu dewa yang dipuja oleh umat Hindu, berwujud pria berkulit gelap atau biru tua, memakai dhoti kuning dan mahkota yang dihiasi bulu merak. Dalam seni lukis dan arca, umumnya ia digambarkan sedang bermain seruling sambil berdiri dengan kaki yang ditekuk ke samping. Legenda Hindu dalam kitab Purana dan Mahabharata menyatakan bahwa ia adalah putra kedelapan Basudewa dan Dewaki, bangsawan dari kerajaan Surasena, kerajaan mitologis di India Utara. Secara umum, ia dipuja sebagai awatara (inkarnasi) Dewa Wisnu kedelapan di antara sepuluh awatara Wisnu. Dalam beberapa tradisi perguruan Hindu, misalnya Gaudiy Waisnawa, ia dianggap sebagai manifestasi dari kebenaran mutlak, atau perwujudan Tuhan itu sendiri, dan dalam tafsiran kitab-kitab yang mengatasnamakan Wisnu atau Kresna, misalnyaBhagawatapurana, ia dimuliakan sebagai Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Bhagawatapurana, ia digambarkan sebagai sosok penggembala muda yang mahir bermain seruling, sedangkan dalam wiracaritaMahabharata ia dikenal sebagai sosok pemimpin yang bijaksana, sakti, dan berwibawa. Selain itu ia dikenal pula sebagai tokoh yang memberikan ajaran filosofis, dan umat Hindu meyakini Bhagawadgita sebagai kitab yang memuat kotbah Kresna kepada Arjuna tentang ilmu rohani.


9. Buddha Awatara, pangeran Siddharta Gautama, muncul saat Kali Yuga
Buddha meditating.jpg
Dalam agama Hindu, Gautama Buddha muncul dalam kitab Purana (Susastra Hindu) sebagai awatara (inkarnasi) kesembilan di antara sepuluh awatara (Dasawatara) Dewa Wisnu. Dalam Bhagawatapurana, Beliau disebut sebagai awatara kedua puluh empat di antara dua puluh lima awatara Wisnu. Kata buddha berarti "Dia yang mendapat pencerahan" dan dapat mengacu kepada Buddha lainnya selain Gautama Buddha, pendiri Buddhisme yang dikenal pada masa sekarang.
Berbeda dengan ajaran Hindu, ajaran Gautama Buddha tidak menekankan keberadaan "Tuhan sang Pencipta" sehingga agama Buddha termasuk bagian dari salah satu aliran nāstika (heterodoks; secara harfiah berarti "Itu tidak ada") menurut aliran-aliran agama Dharma lainnya, seperti Dwaita. Namun beberapa aliran lainnya, seperti Adwaita,sangat mirip dengan ajaran Buddhisme, baik bentuk maupun filsafatnya


10. Kalki Awatara, sang pemusnah, muncul saat Kali Yuga
KalkiAvatara.jpg
Dalam ajaran agama Hindu, Kalki (Dewanagari: कल्कि; IAST: Kalki; juga ditulis sebagai Kalkin dan Kalaki) adalah awatara Wisnu kesepuluh sekaligus yang terakhir, yang akan datang pada akhir zaman Kaliyuga (zaman kegelapan dan kehancuran) saat ini. Nama kalki seringkali dipakai sebagai metafora untuk kekekalan dan waktu. Berbagai tradisi memiliki berbagai kepercayaan dan pemikiran mengenai kapan, bagaimana, di mana, dan mengapa Kalki muncul. Penggambaran yang umum mengenai Kalki yaitu Beliau adalah awatara yang mengendarai kuda putih (beberapa sumber mengatakan nama kudanya Devadatta [anugerah Dewa] dan dilukiskan sebagai kuda bersayap). Kalki memiliki pedang berkilat yang digunakan untuk memusnahkan kejahatan dan menghancurkan iblis Kali kemudian menegakkan kembali dharma dan memulai zaman yang baru.

Minggu, 24 Mei 2020

KASTA, KESALAHPAHAMAN BERABAD-ABAD

Gambar mungkin berisi: 1 orang

Di sini saya berbicara tentang agama Hindu. Yang jelas di dalam agama Hindu tidak mengenal istilah "Kasta" itu penyimpangan (salah tafsir), yang ada sebenarnya dalam agama Hindu adalah "Catur Warna". Kasta, kesalahpahaman berabad-abad. Ingat sistem Kasta manusia yang buat (kaum penjajah) yang mempraktekkan politik pemecah belah (Devide Et Impera). Kasta itu warisan kaum penjajah. Di India Kasta mulai ada semenjak kedatangan Portugis di India (Kerajaan Goa, India jatuh ke tangan Portugis tahun 1511) dan istilah Kasta mulai diperkenalkan di India. Dan sejak itu para misionaris masuk menyebarkan Kristen di India dengan pola mempelintirkan sistem "Warna" di India menjadi sistem Kasta.

Agama Hindu tidak mengenal sistem Kasta, yang ada adalah Catur Warna. Kasta tidak sama dengan Catur Warna. Kasta itu berstruktur tinggi rendah (meninggikan dan merendahkan). Kasta bukan bagian dari ajaran Hindu. Kasta tidak ada dalam Weda. Kasta dibuat dengan nama yang diambil dari ajaran Hindu, Catur Warna. Lama-lama umat Hindu pun bingung, yang mana Kasta dan yang mana ajaran Catur Warna. Kesalahan-kesalahan itu terus berkembang karena memang sengaja dibuat rancu oleh mereka yang terlanjur "berkasta tinggi". Pada masyarakat Hindu terjadi polemik (pro dan kontra) dalam pemahaman Warna dan Kasta yang berkepanjangan. Karena pemahaman yang salah, seolah Hindu mengajarkan saling merendahkan sesama manusia. Padahal dalam Hindu tidak dikenal istilah Kasta. Istilah yang termuat dalam kitab suci Weda adalah Warna. Tapi dipertahankan yang merasa dapat keistimewaan, sementara masyarakat awam memelihara juga dengan polos.

- JUAL BANTEN MURAH hub.08980563916 atau KLIK DISINI
"Kiranya perlu ditegaskan di sini bahwa kata "KASTA" tidaklah berasal dari bahasa Sanskerta (India) tetapi dari bahasa orang-orang Portugis "Casta" yang diambil dari bahasa latin "Castus" berarti suci. Yang ada sebenarnya dalam bahasa masyarakat Hindu menentukan golongan dalam masyarakat ialah kata "WARNA" yang berarti memilih dimana setiap orang berhak memilih lapangan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masyarakat. Dan lapangan pekerjaan inilah oleh masyarakat ditentukan Apakah ia termasuk golongan Brahmana atau Ksatria atau Waisya ataukah Sudra".
Kini saatnya umat Hindu sadar bahwa sebenarnya umat Hindu tidak mengenal sistem Kasta, yang ada sebenarnya adalah Catur Warna. Sudah sepatutnya kita sebagai umat Hindu membuang jauh-jauh kata Kasta dari semua lilelatur buku yang ada, baik yang di dalam buku-buku pelajaran agama Hindu maupun buku-buku umum lainnya. Kita harus menyadari penyebutan Kasta itulah yang membuat sekat, pengkotaan yang dapat memecah belah umat, itu dulu yang dilakukan kaum penjajah. Sekarang masa sudah zaman milenial, kita juga harus kembalikan ke yang sebenarnya. Umat Hindu harus membuka pengetahuan Weda agar tidak mudah dibodoh-bodohi. Saatnya generasi muda Hindu harus berani berbicara. Benar katakan benar. Salah katakan salah. Jangan takut mengungkapkan kebenaran (Dharma).
Dalam Hindu tidak dikenal istilah Kasta. Istilah yang termuat dalam kitab suci Weda adalah Warna. Apabila kita mengacu pada kitab Bhagawad Gita, maka yang dimaksud dengan Warna adalah Catur Warna, yakni pembagian masyarakat menurut Swadharma (profesi) masing-masing orang.
Ajaran Catur Warna dalam Hindu adalah menempatkan fungsi sosial seseorang dalam kehidupan di masyarakat. Orang boleh memilih fungsi apa saja sesuai dengan kemampuannya. Fungsi sosial itu bisa berubah-ubah. Pada awalnya semua akan lahir sebagai Sudra. Setelah memperoleh ilmu yang sesuai dengan minatnya, dia bisa meningkatkan diri sebagai pedagang, bekerja di pemerintahan, atau menjadi rohaniawan. Fungsi sosial ini tidak bisa diwariskan dan hanya melekat pada diri orang itu saja. Kalau orang tuanya Brahmana, anaknya bisa Sudra atau Kesatria atau Waisya. Begitu pula kalau orang tuanya Sudra, anaknya Bisa saja Brahmana atau Kesatria atau Waisya. Itulah ajaran Catur Warna dalam Hindu.
Jadi pembagian Catur Warna ini tidaklah dimaksud untuk menentukan tinggi rendah derajatnya tetapi menurut kepentingan, fungsi dan kesanggupan golongan itu masing-masing. Pembagian ini sebenarnya tidak dimaksud mengagung-agungkan Brahmana atau merendahkan derajat Sudra hal ini hanya merupakan simbol belaka.
Semua manusia sama di mata Tuhan.
Keturunan juga bisa menjadi kebanggaan seseorang. Namun kebanggaan yang berlebihan akan menimbulkan keangkuhan. Kesombongan akan keturunan sehingga akan merasa lebih tinggi dari orang lain. Orang yang mengagung-agungkan keturunan atau kebangsawanan sangatlah tidak baik, apalagi menganggap orang lain lebih rendah. Agama Hindu mengajarkan agar setiap orang saling menghormati dan saling menghargai sesama makhluk ciptaan Tuhan, Tuhan menilai seseorang bukan karena keturunan yang dinilai adalah Dharma bhakti dan yajnanya. Demikian pula yang terpenting adalah memiliki etika moral yang tinggi.
Satyam Eva Jayate.
Dharma Raksati Raksitah.
OM Shanti.

Visit Our Sponsor

Rabu, 20 Mei 2020

Apa kesimpulan ajaran Buddha dan Hindu? apakah sama?

Hindu mengatakan Brahman (Tuhan) adalah Kebenaran Tertinggi. Buddhisme menolak konsep Īśvara (Tuhan pengendali), kekosongan adalah Kebenaran Tertinggi.
.
Hindu mengatakan daya hidup (nyawa) adalah Brahman sebagai ātmā (percikan rohani), Hindu menegaskan "aku" bukan ego (ahaṅkāra), "aku" adalah roh (ātmā). Buddhisme menolak eksistensi roh, kesadaran tentang "aku" hanyalah ego.
.
Śūṇyatā-vāda adalah konsep ajaran Buddhisme yang sering diistilahkan untuk menjelaskan konsep “tanpa diri”. Sedangkan Hindu berpegang pada Vedānta & Upaniṣad, yang menyatakan dengan jelas bahwa Brahman adalah Sang Diri (ahaṁ brahmāsmi ).

.
Konsep Śūṇyatā & Brahman sejatinya identik. Brahman (Sang Kesadaran Agung) bersifat Ketiadaan Absolut (Nirguṇa). Sang Ketiadaan itu mengalami dinamika, dinamika ini disebut dengan Śakti. Dinamika pertama (ichā-śakti) adalah kehendak-Nya untuk mengada. Brahman adalah Mahā-śūṇyatārūp Paramapuruṣa. Ini hanya tendensi sederhana antara Hindu monistik (advaita-vāda) dengan Buddhisme.
.
Namun dalam Hindu dualis (dvaita-vāda, dkk) melalui filosofi bhakti-marga menekankan roh (ātmā) & Brahman sebagai 2 subyek yang berbeda, kedudukan roh selamanya tunduk dibawah Brahman (menjadi pelayan kekal-Nya). Roh mencapai pembebasan semata-mata pada belas kasih-Nya, ajaran Buddha tidak memiliki akses ke bhakti-marga.
.
Kesimpulan
.
• Buddha memandang materialisme adalah satu-satunya perwujudan Kebenaran Mutlak, filosofi Buddha hanya berurusan dengan materi & pembubaran materi; dengan demikian tujuan agama Buddha adalah untuk bergabung ke dalam kehampaan (nirvāṇa).
.
• Hindu (monisme) memandang diluar sesuatu yang bersifat material itu adalah Brahman, yaitu keberadaan sang roh; tujuan filsafat monisme adalah untuk bergabung dalam Brahman (mokṣa).
.
• Hindu (dualis) memandang pengabdian diri sepenuhnya kepapada-Nya adalah kedudukan dasar roh, tujuan filsafat dualis adalah alam Vaikuṇṭha, yaitu berinteraksi & bertatap muka dengan-Nya secara langsung.
.
Ajaran Buddha & Hindu monistik asosiasinya adalah penyucian diri; sedangkan Hindu dualis asosiasinya adalah pelayanan suci.
.
#balipunyacerita

Minggu, 17 Mei 2020

Paling Aman Itu Curhat Dengan Ida Hyang Widhi

Paling Aman Itu Curhat Dengan Ida Hyang Widhi, Daripada Curhat Sama Manusia

Sumber photo https://bit.ly/2SCYDcF

Maka apapun masalahmu curhat dengan Hyang Widhi, karena yang paling aman itu apabila kamu curhat dengan Ida, daripada kamu datang dan curhat kepada manusia lebih baik kamu curhat sama Ida saja.

Keuntungannya apa? jelas akan lebih untung curhat sama Hyang Widhi, jika kamu mengatakan kepada Ida tentang masalahmu maka otomatis Ida akan membantumu mencarikan solusi, meski tidak serta merta datang.

Lalu dengan manusia, kadang mereka hanya mendengarkan saja dan tidak bisa berbuat apa-apa, atau malah kadang curhatanmu jadi bahan mongan lagi ke orang lain.

Hati-hati Dengan Teman Curhat, Karena Bisa Jadi Bukannya Aman Nanti Malah Jadi Omongan di Belakang

Intinya hati-hatilah kamu memilih teman curhat, karena bisa jadi bukannya aman nanti malah jadi omongan di belakang tentang curhatanmu.

Sungguh tidak sedikit para wanita saling curhat kesana kesini tapi akhirnya memicu pertengkaran dan saling adu domba.

Untuk itu, bila ada yang ingin kamu ceritakan tentang hidupmu maka curhatlah kepada Hyang Widhi saja, datanglah kepada-Nya, karena Ida tidak akan pernah membalasmu dengan buruk.


- JUAL BANTEN MURAH hub.08980563916 atau KLIK DISINI

Curhat Sama Hyang Widhi Saja, Karena Ida Tidak Akan Pernah Membuatmu Kecewa

Sebab itulah hati-hati kalau ingin curhat kepada manusia, dan alangkah lebih baiknya jika kamu curhat saja dengan Hyang Widhi, karena Ida tidak akan pernah membuatmu kecewa.

Apalagi jika memang yang kamu curhatkan adalah masalah yang berat dan sangat menyiksa, maka pasti Ida akan memberimu jalan keluar yang pasti.


Ketika Kamu Curhat Dengan Hyang Widhi, Tentu Bebanmu Akan Berkurang

Terlebih jika yang hendak kamu adukan atau yang akan menjadi bahan curhatan adalah tentang terdzalimimu, tentang rasa sakitmu karena perlakuan orang lain, maka lebih aman curhat dengan Ida saja.

Mengapa? karena otomatis akan menenangkanmu, Hyang Widhi akan menambahkan kebaikan kepadamu, dan yang jelas kebencian tidak akan menyerang hatimu.


Berbeda Ketika Kamu Curhat Kepada Manusia, Kadang Akhirnya Dia Membuka Aib

Karena berbeda ketika kamu curhat sama manusia, ketika kamu menyeru bahwa kamu sedang disakiti, karena mereka kadang sok manis mendengarkan, kadang mengomporimu dengan perkataan yang sok membela, tapi di belakang dia malah sebaliknya.

Manusia kadang awalnya memang setia dan pandai memegang rahasia, tapi sayang aakhirnya dia kadang kalah dengan godaan setan, sehingga dia pun berbuat curang kepadamu.

Maka Apapun Masalahmu Curhatlah Kepada Ida Hyang Widhi Sepenuhnya, Karena Hanya Ida yang Maha Memegang Janji dan Maha Menolong

Oleh sebab itu, apapun masalahmu, apapun rasa sakitmu, dan seperti apapun orang lain memperlakukanmu buruk maka curhatnya dengan Ida saja.

Sungguh Hyang Widhi itu maha sempurna dalam mendengarkan aduan hamba-hamba-Nya, maka curhatlah sepenuhnya kepada-Nya, karena memang hanya Hyang Widhi yang maha memegang janji dan maha menolong.


Visit Our Sponsor

Kamis, 14 Mei 2020

Upaya Membangkitkan Kembali Ajaran Kuno Nusantara


(Foto: Wakil Dharma Adhyaksa Ida Rsi Acharya Agni Yogananda (kiri), Ketua Umum Pengurus Harian PHDI Pusay Mayjen TNI (Purn) Wisnu Bawa Tenaya (ketiga dari kanan), Ketua Umum Pinandita Sanggraha Nusantara (PSN) JM I Wayan Rajin, S.Ag (keempat dari kanan) Ketua Bidang Keagamaan dan Spiritualitas Ir. I Dewa Putu Sukardi, MBA (kelima dari kanan), Sekretaris PSN JM Drs. Nyoman Sudiarsa (keenam dari kanan), dan peserta Nangluk Bhaya Mahayu Ayuning Bhuwana)
Denpasar - Sebuah ritual Homa Yadnya Bali Kuno menjadi salah satu peserta dalam upacara Nangluk Bhaya (Marbu Bhumi) Mahayu Ayuning Bhuwana untuk ngrastitiang Jagat Kertih, Jana Kertih, dan Niti Praja Santi di Lapangan Niti Mandala, Bajra Sandi, Renon, (Sabtu 12/1). Ritual Homa Yadnya Bali Kuno ini dibangkitkan oleh Sangga Budhaireng yang penggaliannya di sisi Timur Gunung Agung, Karangasem. Sangga Budhaireng merupakan perkumpulan para yogi. Namun keberadaan dan ajaran Sangga Budhaireng yang dipimpin Guru Kresna Dwaja ini belum banyak diketahui oleh masyarakat luas. Padahal ajarannya sangat sarat dengan peradaban dan budaya Leluhur Kuno Nusantara dan ajarannya sangat penting dalam proses upacara yadnya di Bali.
Pengarah Homa Yadnya Bah Mula, Guru Kresna Dwaja saat ditemui dilokasi upacara, mengatakan bahwa Homa Yadnya Bah Kuno merupakan awal dari segala-galanya, baik penciptaan alam semesta. Sehingga simbol-simbol yang dimunculkan dalam ritual Homa Yadnya Bali Kuno merupakan simbol alam semesta, baik dari bawah, yaitu Asta Dala yang merupakan delapan penjuru mata angin maupun atas, yaitu Catur sebagai penguat manusia dan kehidupan. Sedangkan paling atas menggunakan Mahkota dari Pohon Pudak sebagai lambang yang mampu masuk ke wilayah Siwa, Budha Ksetra ketika menerima letupan energi dari bawah.
“Ritual Homa ini bersumber dari ajaran Waishnawa yang menjadi induk dari Kareshian Budha, Bujangga, dan Siwa. Air yang dipetik dari inti api Homa Bali Kuno itu, yang akan dipakai penyucian pada caru yang merupakan pembangkitan diva rupa, oleh para manggala, para Brahma Rsi dan para peserta yang berlandaskan Yoga Sapta Samadhi. Sehingga Homa atau pembangkitan energi .ini digunakan untuk formulasi dari Bhuta menuju Dewa,” ujar Guru Kresna Dwaja.
Dijelaskan, dari seluruh energi Homa yang bangkit dalam cdru melahirkan 3 hal. Yaitu, Whyaka yang merupakan segala bentuk spiritualitas dan wujud segala agama, Nirakara yang memunculkan seluruh energi apapun yang ada di alam semesta ini, dan Sakara, yaitu lahir seluruh puja mantra dan aksara-aksara suci. “Oleh karena itu, boleh dikatakan seluruh panca yadnya kita berasal dari proses ini (Homa Yadnya, red),” tandasnya.
Oleh karena itu, dikatakan bahwa tirta (air suci) yang lahir dari proses ritual Homa Yadnya Bah Kuno ini diberikan kepada para Sulinggih yang memuput upacara Yadnya. Sebab, tirta “Pawitra” ini bangkit dari ritual Homa, di mana tirta ini lahir dari api yang tidak tercemar oleh polusi. “Air dari apilah yang tidak terkena polusi, maka dari itu Homa Yadnya ini melahirkan tirta yang tidak terkena polusi, sehingga air (tirta-red) inilah yang digunakan untuk penyucian seluruh yadnya,” ujarnya.
Lebih lanjut dikatakan, dasar seluruh aspek yang digunakan oleh para praktisi dan para umat adalah Tantra. Sebab, Tantra merupakan energi jenius atau energi murni dari alam semesta. Keberadaannya sangat jauh dalam maha kesadaran bathin umat peserta. Di Bah ada tiga jenis Tantra. Untuk diperkotaan disebut dengan Tantra Kala Cakra, di Gunung disebut Tantra Yamantaka, dan di perairan disebut Tantra Heruka. Sementara aplikasi Tantra ada tiga, yaitu Sakti, Suci dan Diatmika (Wisesa).
Selain itu, dikatakan bahwa Para Praktisinya yang tergabung dalan Sangga Budhaireng tidak terjebak oleh aturan kepanditaan saat ini, karena mereka adalah pandita. jnana (Vajradhaka). Sehingga ajarannya kembali kepada ajaran kuno. “Kereshian Bali Kuno ada 3, yaitu Kabujanggaan yang memimpin upacara bhuta yadnya, Kabudhaan yang mengajarkan ahlak dan budi pekerti, serta Kasiwaan yang mengerti betul tentang planet dan rahasia hidup di dalamnya. Melalui ajaran dasar Homa ini kami ingin membangkitkan kembali ajaran kuno Nusantara,” tandasnya.
Ketua Umum Pengurus Harian PHDI Pusat, Mayjen TNI (Purn) Wisnu Bawa Tenaya tidak mempermasalahkan adanya berbagai aliran atau ajaran di Bali, asalkan dalam palaksanaannya sesuai dengan ajaran agama dan dilakukan dengan tulus ikhlas. Menurutnya, meskipun keberadaan Sangga Budhaireng tidak terikat oleh pakem PHDI, namun keberadaan menjadikan keberagaman ajaran yang ada di Bali. Apalagi keberadaan Sangga Budhaireng sangat mulia yaitu membangkitkan kembali ajaran-ajaran Bali Mula yang merupakan ajaran leluhur di era modernisasi seperti saat ini.
Source: Koran Bali Post, 13 Januari 2019

Visit Our Sponsor

"Bali Kecil" Tersembunyi di Bumi Totabuan


(Foto - Pura Puseh di Desa Werdhi Agung, Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Desa ini adalah desa pertama bagi transmigran Bali yang pindah ke Sulawesi Utara saat erupsi Gunung Agung pada 1963)
Kaki memijak di Kabupaten Bolaang Mondondow, Sulawesi Utara. Namun, gapura Desa Werdhi Agung bak pintu teleportasi yang membawa ke perdesaan Pulau Dewata. Inilah Bali kecil yang tersembunyi di Bumi Tatabuan.
Gerbang desa ini terletak 300 meter dari Pasar Ibolian di Jalan Trans-Sulawesi. Dari Manado, kira-kira jaraknya 220 kilometer.
Hampir semua pekarangan rumah di desa ini ada Pura keluarga yang disebut sanggah atau pamerajan. Swastika Hindu terpampang pada pagar-pagar rumah, bersanding dengan ukiran dan ornamen khas Bali di gapura candi bentar rumah. Sekira 200 meter dari gerbang desa berdiri tugu dengan Patung Brahma, sang dewa pencipta, sebagai pucuknya.
Kamis (23/5/2019) siang itu, suasana desa lengang. Hanya terlihat beberapa murid SD dan SMP yang baru saja pulang sekolah, bercakap, dan bercanda dalam bahasa Bali.
"Desa ini dibangun pada 1963 sebagai permukiman pertama transmigran Bali di Bolaang Mongondow," kata Sangadi atau Kepala Desa Werdhi Agung I Ketut Wardana (50).
Bermula dari erupsi Gunung Agung, 17 Maret 1963, dengan kolom erupsi setinggi 4 kilometer. Bencana itu menewaskan 608 orang, belasan ribu lainnya mengungsi.
Pascabencana, datang tawaran dari Bupati Bolaang Mongondow saat itu, Manuel Ikhdar, mengisi lahan yang dikonversi menjadi permukiman di Lembah Dumoga. Berpindahlah 531 keluarga beranggotakan 1.352 orang ke Sana. Mereka, antara lain, berasal dari Kabupaten Karangasem, Buleleng, Badung, dan Bangli.
Berbekal cangkul, sekop, gergaji, dan beberapa alat pertanian sederhana lainnya, hutan lebat di sekitar desa diubah menjadi lahan pertanian dan kebun. Padi, pala, cengkeh, cokelat, kelapa, dan salak tumbuh subur. Mereka juga beternak sapi dan babi.
Inilah mengapa Desa Werdhi Agung sepi siang itu. Semua orang sibuk di sawah, kebun, atau kandang ternak.
Sukses dituai, tecermin dari lahan rumah yang luas dan bangunan beton yang cantik nan kokoh. "Sejak dulu kami bertani sesuai ajaran orangtua kami. Hingga desa ini dihuni 5.000 orang sekarang, kami terus bertani," kata Ketut.
Seiring perkembangan jumlah penduduk dan kebutuhan pelayanan publik yang lebih baik, pada 2006 dilakukan pemekaran Desa Werdhi Agung hingga terbentuk Desa Werdhi Agung Selatan. Pemekaran kembali dilakukan pada 2011 hingga terbentuk dua desa baru, yakni Desa Werdhi Agung Timur dan Werdhi Agung Utara.
Sejak transmigrasi pada 1963, semua tradisi dan ritual keagamaan Hindu yang ada di Bali juga dilakukan di Desa Werdhi Agung. Yang paling besar adalah pawai ogoh-ogoh sehari sebelum Nyepi. Warga dari desa lain bisa turut menonton patung raksasa yang diarak di jalan Desa Werdhi Agung ke lapangan di seberang Pura Puseh, salah satu Pura besar di Sana.
"Kami juga merayakan Galungan dan Kuningan setiap enam bulan sekali. Ada juga hari Saraswati sebagai hari ilmu pengetahuan dan Siwalatri atau hari penebusan dosa. Di dua hari raya itu, kami puasa hampir 24 jam sembari bersembahyang," kata Wayan (36), salah satu warga desa.
Warga di sana juga aktif dalam banjar atau kelompok masyarakat untuk menggelar berbagai acara, seperti pernikahan dan upacara saat kematian. Ada 16 banjar di desa itu.
"Setiap anggota kelompok mengumpulkan seikat kayu bakar, bambu, sekarung beras, dan seekor ayam, sesuai kemampuan. Hasil gotong royong jadi bahan mengadakan perayaan bersama," kata Sang Made Winarsa (34), pemuda setempat yang aktif dalam kelompok Banjar Amertha Winangun.
Di kawasan yang layaknya Bali Kecil di Bolaang Mongondow itu, warga yang sebagian besar memeluk agama Hindu hidup rukun berdampingan dengan warga lain yang beragama Kristen dan Katolik. Di sana selain tiga Pura besar, yaitu Pura Puseh, Pura Dalem, dan Pura Tirta, terdapat lima ereja. "Kami saling mengunjungi saat hari besar keagaman," kata Made.
Peluang WisataWerdhi Agung merupakan eksotisme Bali di Bolaang Mongondow. Semuanya tecermin dari arsitektur hingga perayaan budaya dan keagamaan. Meski penghidupan warganya tergantung pada pertanian dan peternakan, Bali Kecil di Bumi Totabuan itu bukan mustahil menjelma menjadi destinasi wisata, seperti halnya Bali yang jadi primadona wisatawan dalam dan luar negeri.
Bali Kecil ini punya potensi wisata. Keberadaan perayaan budaya dan keagamaan serta berkembangnya sanggar tari pedet dan topeng bisa menjadi daya tarik wisata. Apalagi, belum berapa lama warga Desa Werdhi Agung Selatan menemukan potensi wisata alam berupa sumber mata air yang kemudian dijadikan air suci. Sumber air itu kini berada di kompleks Pura Tirta. Para pengunjung Pura diperciki air sebelum menaiki undakan tangga Pura.
Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow juga punya rencana pengembangan wisata di Werdhi Agung "Bersatu". Desa yang masuk dalam prioritas pengembangan pariwisata kabupaten tahun 2020 itu mendapat hibah gamelan Bali. Pawai ogoh-ogoh di sana masuk kalender pariwisata kabupaten 2020. Untuk mendukung pengembangan wisata itu, Dinas Pariwisata Bolaang Mongondow melatih sejumlah warga desa menjadi pemandu wisata.
Lembaga Enhancing the Protected Area System in Sulawesi (EPASS) bekerja sama dengan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) juga mendampingi dan membina pengembangan ekowisata di sana. "Keberadaan sumber mata air tersebut berpotensi menjadi magnet ekowisata", kata Koordinator Lapangan EPASS Elisabeth Purastuti.
Kebun salak warga juga bisa menjadi daya tarik wisata. Wisatawan bisa mempelajari cara penyerbukan pohon salak sembari memetik buahnya. "Tugas kami sekarang membimbing warga. Perlu bantuan dinas terkait untuk mengembangkan potensi desa karena warga belum tahu cara memanfaatkannya," kata Elisabeth.
Adapun homestay dikembangkan di Werdhi Agung Selatan, dekat mata air Pura Tirta. Untuk menopang itu, ditargetkan 180 orang selesai dilatih pada akhir tahun untuk menjadi pemandu wisata di Bolaang Mongondow.
"Desa ini akan menjadi desa wisata. Kami sedang menjajaki kerja sama dengan MM Travel (operator wisata milik Lion Group) untuk membuat paket wisata dari Minahasa Selatan ke Suaka Maleo Tambun, Werdhi Agung, Negeri di Atas Awan, Pulau Tiga, lalu kembali ke Manado," kata Kepala Dinas Pariwisata Bolaang Mongondow Ulfa Paputungan.
Di luar upaya itu, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk mewujudkan Bali Kecil ini menjadi destinasi wisata, termasuk jalan desa yang rusak parah.
Oleh: Kristian Oka Prasetyadi
Source: Koran Kompas, Jumat 14 Juni 2019

Visit Our Sponsor