Dilansir dari NusaBali – Tradisi menikah massal kembali digelar Desa Pakraman Pengotan, Kecamatan Bangli pada hari ini Kamis 22 Maret 2018 atau Wraspati Umanis Sinta, Prosesi menikah massal kali ini akan diikuti 21 pasangan calon suami istri (pengantin), 5 pasangan di antaranya melibatkan perempuan dari Desa Pengotan yang menikah keluar.Tradisi ritual menikah massal ini dilaksanakan Desa Pakraman Pengotan dua kali dalam setahun, yakni pada Sasih Kapat (bulan keempat sistem penanggalan Bali) dan Sasih Kadasa (bulan ke-10 sistem penanggalan Bali). Tradisi yang diwarisi secara turun temurun dan diyakini sudah ada sejak berdirinya Desa Pengotan ini digelar sebagai bagian upaya meringankan beban keluarga calon pengantin.
Menurut Bendesa Pakraman Pengotan, Jro Wayan Kopok, dalam prosesi nikah massal ini, pasangan pengantin hanya dikenakan uang tunai masing-masing Rp 450.000, selain juga beberapa kewajiban lainnya. Jika menikah secara mandiri sebagaimana layaknya di Bali, bisa menghabiskan biaya puluhan juta rupiah. “Kalau di sini (Desa Pengotan) belum pernah ada nikah sendiri-sendiri. Selalu dilangsungkan nikah secara massal,” jelas Jro Wqayan Kopok kepada NusaBali di Desa Pengotan, Rabu (21/3).
Menurut Jro Wayan Kopok, tradisi nikah massal rutin digelar dua kali dalam setahun. Hanya sajatradisi nikah massal sempat tidak digelar selama 2 tahun terakhir, karena masih ada pembangunan di Pura Penataran Agung, Desa Pakraman Pengotan. “Tradisi ini masih kami pertahankan. Selain untuk mengaja hubungan nyama braya, juga buat meringankan beban krama dalam melangsungkan perkawinan. Dari segi biaya tentu akan lebih murah,” katanya.
Tradisi nikah massal ini, kata Jro Wayan Kopok, sudah tertuang dalam awig (aturan adat). Karenanya, tradisi ini ditaati betul. Sekalipun dari keluarga kaya raya, tetap saja harus menikah secara massal. Pernikahan massal diikuti baik laki-laki yang notabene menetap di Desa Pengotan maupun perempuan yang menikah keluar.
“Bagi perempuan yang menikah keluar, mereka tetap mengikuti rangkaian perkawinan massal di Desa Pengotan. Setelah nikah massal, selanjutnya mereka mengikuti sang suami,” beber Jro Wayan Kopok.
DAPATKAN PENGHASILAN TAMBAHAN MINIM RESIKO KLIK DISINI
DAPATKAN PENGHASILAN TAMBAHAN MINIM RESIKO KLIK DISINI
Pasangan calon suami istri berjumlah 21 pasang yang akan menikah massal hari ini, berasal dari selurtuh 8 banjar di Desa Pengotan, yakni Banjar Padpadan, Banjar Penyebeh, Banjar Besenge, Banjar Yoh, Banjar Delod Umah, Banjar Tiying Desa, Banjar Dajan Umah, dan Banjar Sunting. Terbanyak dari Banjar Padpadan, yakni 9 pasangan pengantin.
Jro Wayan Kopok menjelaskan, rangkaian tradisi pernikahan massal ini diawali dengan melaksanakan Sangkepan Nganten di jaba Pura Penataran Agung, Desa Pakraman Pengotan. Setelah sangkepan tersebut, dilajutkan dengan penyampaian hasil pesangkepan kepada seluruh krama. “Hasilnya disampaikan kepada krama, seperti siapa-siapa saja pasangan yang akan mengikuti upacara perkawinan massal,” katanya.
Acara selanjutnya adalah mempersiapakan sarana upacara, termasuk nampah (menyembelih) sapi yang dibeli dari urunan para calon pengantin. “Berapa pun harga sapinya, dibagi seluruh pasangan calon pengantin. Sapi yang digunakan tidak harus besar, yang terpenting kondisinya sehat dan tidak cacat,” kata Jro Wayan Kopok.
Setelah daging sapi diolah, selanjutnya munggah (ditelatakan) di Bale Agung. Selain urunan beli sapi, para pasangan calon pengantin juga wajib membawa nasi empat rontong atau setara 10 kilogram. “Dibuatkan kawisan, sesuai jumlah krama dengan 206 kepala keluarga (KK) pengarep,” terangnya.
Begitu segala persiapan rampung, barulah pasangan calon pengantin dipanggil untuk mengikuti acara pokok, yakni menikah massal. Mereka harus berbaris menuju Pura Penataran Agung untuk mengikuti rangkaian prosesi mulai dari Nista Mandala Pura. Terakhir, pasangan calon pengantin duduk di Bale Nganten, Pura Penataran Agung.
Download Free Portable Adobe Photoshop CC 2020 Terbaru
Menurut Jro Wayan Kopok, semua duduk berjejer dalam dua baris, di mana pasangan canlon dalam posisi saling berhadapan. “Duduknya dipisah antara laki-laki dan perempuan. Mereka nginang (makan sirih) bersama sebagai pertanda sudah memasuki usai lebih tua, dengan tanggun jawab yang lebih besar. Kemudian, mempelai perempuan ngunggahan damar kurung, yang dimaksudkan untuk memohon tuntunan dari Ida Sang Hyang Widhi, agar pasangan baru ini mampu menjalani kehidupan berumah tangga. Diharapkan, rumah tangga berjalan harmonis.”
Terakhir, pasangan mempelai mepamit di Sanggar Agung, sebagai tanda berakhirnya rangkaian prosesi upacara nikah massal. Selanjutnya, pasangan mempelai kembali ke rumah masing-masing. Terkait acara resepsi pernikahan, itu sepenuhnya diserahkan kepada keluarga masing-masing.
Jro Wayan Kopok menjelaskan, ada pantangan bagi pasangan mempelai yang baru mengikuti prosesi nikah massal. Mereka selama tiga hari tidak boleh melewati rurung adat (jalan adat). Bila rumahnya berada di sebelah barat rurung adat, mereka tidak boleh ke sebelah timur, demikian pula sebaliknya. Seteleh tiga hari, mereka dibolehkan keluar dan dilanjutkan dengan prosesi membawa tipat bantal dari rumah purusa (laki-laki) ke rumah pradana (perempuan).
Bagaimana pantangan untuk perempuan yang menikah ke luar desa? Menurut Jro Wayan Kopok, mereka tidak terkena pantangan melintasi rurung adat selama 3 hari. Sebab, seusai upacara nikah massal di Pura Penataran Agung, mereka langsung mengikuti suaminya ke desa masing-masing.
Terima kasih: Nusa Bali
Visit Our Sponsor
- Service Laptop / Smartphone Panggilan Denpasar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar