Sabtu, 15 Agustus 2020

Mengenal Tradisi Mamapas Hindu Kaharingan

Di kota Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah (Kalteng).Sehari sebelum Hari Raya Nyepi, Umat Hindu Kaharingan melakukan Upacara Ritual Mamapas.
Semuanya Berpakaian warna warni dengan ikat kepala khas, kaum pria tampak sibuk mempersiapkan pelaksanaan ritual.
Sejumlah sesaji seperti kepala kerbau yang dibalut kain putih, ayam, bunga, dan tak lupa sebilah mandau atau pedang khas Suku Dayak tertata rapi.
Sebuah lubang berukuran sedang sekitar 50 cm x 50 cm sudah dipersiapkan yang nantinya akan digunakan sebagai tempat menanam kepala kerbau. Para balian (semacam pendeta) Hindu Kaharingan pun melantunkan ayat-ayat suci. Tak ketinggalan ratusan pemeluk Hindu Dharma juga berbaur.

Cara simple cari profit dari trading forex 
Secara harfiah kegiatan tersebut dapat diartikan sebagai upacara untuk membersihkan diri dan lingkungan dari hal-hal buruk dan jahat. Kegiatan ini memang selalu diperingati setiap tahun dalam rangka menyambut Hari Raya Nyepi.
Artinya di Tahun Baru (Saka) di sambut dengan antusias dan berubah menjadi baru, sementara yang tak baik kita tinggalkan
Setiap menjelang hari raya Nyepi upacara Memapas Lewu ini diadakan.
Selain itu tujuannya adalah memberikan persembahan kepada roh leluhur seperti ogoh-ogoh, gambaran hal-hal yang tidak baik dihilangkan.
Terima kasih: Indra Maheswara

Jumat, 14 Agustus 2020

Sejarah Pura Pajenengan Panji Sakti

Pura Pajenengan dulunya merupakan puri (tempat istrihat) Panji Sakti yang dilengkapi dengan pamerajan,dan setelah Panji Sakti wafat dengan cara moksa, maka puri beliau dirubah menjadi sebuah pura yang dinamakan Pura Pajenengan. Nama Pajenengan ini berarti “tempat penyimpanan benda-benda pusaka”, karena didalam pura tersebut yang dulu merupakan bekas puri Panji Sakti,jadi banyak terdapat benda-benda pusaka termasuk keris, tombak, dan benda pecah belah dari China. Sebelum dirubah menjadi pura yang menerapakan konsep Tri Mandala yaitu jabe sisi, jabe tengah, dan jeroan, puri ini hanya menerapkan konsep Dwi Mandala yaitu jabe sisi yang merupakan area yang tidak suci, dan jeroan merupakan area yang paling suci (pamerajan Panji Sakti). Pembuatan Pura Pajenengan ini disungsung oleh keluarga puri yang merasa menjadi pengikut Panji Sakti maupun keluarga beliau.
Pura Pajenengan ini dibuat karena berbagai alasan yaitu:
  1. Alasan historis atau monumen untuk mengenang sejarah berupa pamereman (tempat istirahat) Panji Sakti, karena pameraman tersebut merupakan bukti keberadaan beliau, demikian dengan menyelamatkan jejak sejarah Panji Sakti.
  2. Adanya suatu kepercayaan Hindu Bali terkait dengan pemujaan roh leluhur yang menganggap bahwa masyarakat Desa Panji memuja leluhurnya yaitu Panji Sakti, Ki Pungakan Gendis, dan keluarga besar Ni Luh Pasek (dalam Babad Buleleng).
  3. Mengenang kebesaran tokoh legendaris Panji Sakti yang dipercaya bahwa seorang raja yang sangat sakti dan bijaksana dari golongan anak selir (Dalem Segening dan ibunya Ni Luh Pasek, Gobleg (Babad Buleleng)).
  4. Sebagai pemersatu keluarga besar Panji Sakti yang tersebar kemana-mana, mengingat setelah peristiwa perang dan Dinasti Panji Sakti diganti oleh Karangasem.
  5. Alasan emosional agar dapat kesempatan memuja Panji Sakti, selain untuk memohon keselamatan juga untuk mendapatkan restu sebagai seorang pemimpin layaknya seorang Panji Sakti.

Pura Pajenengan ini dirubah pada tahun 1967 yang dilakukan sedikit renovasi mengingat dulu pernah terjadi bencana alam, sehingga merusak pelinggih-pelinggih di area pura tersebut. Menurut hasil wawancara baik itu terhadap pemangku maupun masyarakat di Desa Panji bahwa Pura Pajenegan ini merupakan Pura Kahyangan yang dijadikan tempat persembahyangan oleh masyarakat baik itu di Buleleng sampai diluar kabupaten maupun provinsi, akan tetapi secara formal belum dikatakan sebagai Pura Kahyangan Jagat.
Selain itu setiap hari suci baik itu hari purnama, tilem maupun hari raya suci lainnya banyak masyarakat yang sembahyang terutama Bupati Buleleng yang rutin sembahyang atau ngaturang bhakti di Pura Pajenengan tersebut. kemudian banyak juga masyarakat yang sembhyang di Pura Pajenengan ini terutama di pamereman Panji Sakti untuk memohon doa restu dan kesehatan.
Upacara yang dilaksanakan di Pura Pajenengan (odalan) yaitu pada Tumpek Landep, bahan upacaranya sama dengan halnya upacara biasa dan dibantu oleh masyarakat yang bergotong royong membuat bahan upacara yang akan digunakan.
Segi Peninggalan (Bangunan dan Benda)
Pura Pajenengan memiliki nilai historis yang tinggi, selain dilihat dari segi historis bisa juga dilihat dari segi peninggalan yang ditemukan di pura tersebut. adapun peninggalan-peninggalan yang ditemukan sperti tempat istirahat (pemereman) Panji Sakti yang berada di madya mandala , dan terdapat juga benda-benda peninggalan, mengingat dulu Panji Sakti dapat menolong saudagar Cina di Pantai Penimbangan, yaitu berupa peninggalan piring-piring, mangkok yang berasal dari China serta keris dan tombak.
Visit Our Sponsor
- Service Laptop / Smartphone Panggilan Denpasar 

Kamis, 13 Agustus 2020

Filosopi dan Makna Hari Raya Pagerwesi

Sehari setelah Hari Suci Sabuh Mas umat Hindu Bali merayakan Hari Raya Pagerwesi yang jatuh setiap 210 hari sekali atau setiap 6 bulan dalam kalender Hindu, tepatnya hari Budha (rabu) Kliwon Wuku Shinta. Pagerwesi berasal dari kata dasar Pagar dan Besi yang artinya pagar yang terbuat dari besi. Pagerwesi memberi makna bahwa segala sesuatu yang dipagar akan tetap kokoh dan kuat. Sehingga manusia harus melakukanya karena diri adalah suatu barang yang sangat berharga, sehingga harus dilindungi dengan melakukan upacaya perayaan hari raya Pagerwesi. Sanghyang Pramesti Guru yang menjadi tujuan utama dilakonkannya upacara Pagerwesi ini ialah manifestasi Tuhan yang dipercaya merupakan gurunya manusia dan alam semesta. Pada saat itu umat hendaklah ayoga semadhi, yakni menenangkan hati serta menunjukkan sembah bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi. Juga pada hari ini diadakan widhi widhana seperlunya, dihaturkan dihadapan Sanggar Kemimitan disertai sekedar korban untuk Sang Panca Maha Butha.
Pagerwesi juga termasuk rerainan gumi, artinya hari raya untuk semua masyarakat, baik pendeta maupun umat walaka. Pelaksanaan Hari raya pagerwesi dilaksanakan di tengah malam buta. Sebab saat ini diyakini Ida Sang Hyang Widhi, Hyang Pramesti Guru beserta Panca Dewata (Sanghyang Içwara berkedudukan di Timur, Sanghyang Brahma berkedudukan di Selatan, Sanghyang Mahadewa berkedudukan di Barat, Sanghyang Wisnu berkedudukan di Utara, dan Sanghyang Çiwa berkedudukan di tengah) sedang melakukan yoga.
Makna Hari Raya Pagerwesi Dalam lontar Sundarigama Pagerwesi yang jatuh pada Budha Kliwon Shinta merupakan hari Payogan Sang Hyang Pramesti Guru diiringi oleh Dewata Nawa Sangga. Hal ini mengandung makna bahwa Hyang Premesti Guru adalah Tuhan dalam manifestasinya sebagai guru sejati. Makna yang lebih dalam terkandung pada kemahakuasaan Sanghyang Widhi sebagai pencipta, pemelihara, dan pemusnah, atau dikenal dengan Uttpti, Stiti, dan Pralina atau dalam aksara suci disebut: Ang, Ung, Mang. Pagerwesi diyakini merupakan salah satu hari yang paling baik untuk mendekatkan diri kepada Dewata sebab Dialah guru sejati sebenarnya. Karena sesunggunya pengetahuan dari Beliau itulah yang disebut Pagerwesi sebenarnya. Seseorang yang memiliki pengetahuan tentang Tuhan akan memperoleh kebahagian di dunia dan akhirat. Untuk itulah kita melaksanakan pagerwesi sebagai pemujaan terhadap Tuhan sebagai guru yang sejati. Memuja berarti menyerahkan diri, menghormati, memohon, memuji dan memusatkan diri. Ini berarti kita harus menyerahkan kebodohan kita pada Tuhan agar beliau sebagai guru sejati dapat mengisi kita dengan kesucian dan pengetahuan sejati.

DAPATKAN PENGHASILAN TAMBAHAN MINIM RESIKO KLIK DISINI
Seperti kita ketahui Pagerwesi merupakan bagian dari rangkaian perayaan hari Saraswati yang jatuh pada hari terakhir dari wuku terakhir diperingati dan dirayakan sebagai anugerah Sanghyang Widhi kepada umat manusia dalam bentuk ilmu pengetahuan dan teknologi, diartikan sebagai pembekalan yang tak ternilai harganya bagi umat manusia untuk kehidupan baru pada era berikutnya yang dimulai pada wuku Sinta.
Catatan: Hidup tanpa guru sama dengan hidup tanpa penuntun, dengan adanya guru kita bisa mengetahui mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan, tanpa guru kita bisa kehilangan arah dari tujuan semula sehingga tindakan bisa jadi salah arah.
**dari berbagai sumber
Visit Our Sponsor
- Service Laptop / Smartphone Panggilan Denpasar 

Rabu, 12 Agustus 2020

Memahami Makna Doa Menjelang Tidur

Menjelang tidur putri kecil kami selalu mengucapkan mantram ini. Dengan bahasa dan kalimatnya yang lucu membuat kami tersenyum sambil mengikuti(mengamini) mantram tersebut sembari tidur dengan bahagia.
Mantram ini juga sering digunakan untuk memohon bimbingan dan inspirasi kepada Hyang Widhi.
Apa sebenarnya makna mantram yang diambil dari Brhad Aranyaka Upanisad 1-3.28 ini? Artikel dibawah ini disunting dari Gazez Bali. Semoga bermanfaat untuk semuanya.

Image by: PHDI

Asato ma sad-gamaya
tamaso ma jyotir-gamaya
mrtyor ma amrtam gamaya,
Om santih santih santih
(Brhad Aranyaka Upanisad 1-3.28)
Asato ma, ya Tuhan… mohon jangan dibiarkan hamba berada dalam ketidakbenaran. Sad gamaya, mohon bawalah hamba kepada kebenaran.
Tamaso ma, mohon janganlah hamba dibiarkan berada dalam kegelapan.
Jyotir gamaya, tuntunlah hamba ke jalan terang. Mrtyor ma, janganlah biarkan hamba berada di dalam (perputaran tanpa akhir) kematian. Amrtam gamaya, bawalah hamba pada kekekalan.
Mantra ini menjadi penting karena memiliki pesan yang sangat indah, tinggi, dan mendalam, yang ia adalah bukan sekadar doa, tetapi sekaligus perenungan spiritual, sekaligus meditasi, yaitu bermeditasi pada tujuan hidup seperti yang disebutkan di dalam kitab Upanisad ini. Juga, sekaligus perenungan spiritual karena ia merupakan perenungan “mulat sarira”, yaitu “perjalanan spiritual” memasuki gudang harta karun sang diri sejati.
Tentu saja masih banyak yang memakai mantra ini hanya sebagai formalitas pelengkap doa setelah sembahyang sehari-hari yang dilakukannya. Formalitas hafalan mantra Veda seperti itu bukanlah perenungan, ia bukan pula meditasi, melainkan hanya dan hanya formalitas “ramah tamah” dengan Tuhan.
Mereka yang mencari “sejatining urip”, mereka yang mencari “sangkan paraning dumadhi”, mereka yang mencari sang diri sejati, maka mereka akan menjauhkan dirinya dari “penyalahgunaan mantra-mantra Veda dan Upanisad” dalam bentuk hanya untuk formalitas “beramah tamah dengan Tuhan”. Tentu saja para Maharesi menuliskan mantra-mantra Veda tersebut bukanlah demi melihat umatnya berformalitas dengan Tuhan secara lebih baik, melainkan agar umatnya dapat bermeditasi dengan Tuhannya dengan cara lebih baik dan lebih mantap.
Asato ma; ya Tuhan, janganlah hamba dibiarkan berada di dalam jalan yang tidak benar (a=tidak, sat=kebenaran). Janganlah hamba tidak dilindungi dari bahaya kenikmatan berada di dalam hidup yang bergelimangan ketidakbenaran. Itulah doa, itulah perenungan spiritual, dan itulah meditasi.

DAPATKAN PENGHASILAN TAMBAHAN MINIM RESIKO KLIK DISINI
Penulisan asato ma dan bukan asato na sangat bermakna. Ma berarti janganlah sedangkan na berarti tidak, atau bukan. Ia menjadi doa permohonan yang “memerintah”. Di sini sang bhakta (orang yang berbhakti), abdi Tuhan yang tulus, “memerintah” Tuhan melalui doa permohonan agar dirinya tidak dibiarkan berada di dalam jalan dan hidup yang diarahkan oleh ketidakbenaran. Walaupun seringkah ketidakbenaran tersebut merayu dalam keindahan serta kenikmatan yang memukau, membuat orang gelap mata, namun seorang abdi Tuhan melihatnya sebagai jalan yang penuh dengan keterpurukan dan kesengsaraan. Abdi Tuhan dengan memelas “memerintah” Tuhannya agar menjaga dirinya dari asatah: a (tidak)+ sat (kebenaran), asatah berarti (agar diselamatkan) dari ketidakbenaran serta dituntun kepada Sat atau Kebenaran Sejati.
Perlu dicatat oleh kita semua, bahwa kata kebenaran dalam bahasa Indonesia, atau truth dalam bahasa Inggris, atau bahasa dunia apa pun di atas muka bumi ini untuk menerjemahkan kata Sat, semua tidaklah mewakili arti dan makna yang tersimpan di dalam kata Sat. Kebenaran di dunia ini semua di dalam “frame” atau bingkai rapi desa (tempat, daerah), kala (waktu), dan patra (orang, individu, atau masyarakatnya). Apa yang benar di Jawa belum tentu benar di Bali. Apa yang benar pada zaman dahulu, banyak yang menjadi tidak benar di zaman sekarang, dan apa yang dianggap benar oleh Si A, atau masyarakat A, belum tentu diterima benar oleh Si B atau masyarakat B.
Perlu pula dicatat di sini bahwa masih banyak yang menerjemahkan kata patra dengan “keadaan”. Patra bukan keadaan melainkan orangnya, patra artinya wadah. Seberapa dan sebagaimana wadah, sebegitu dan seperti itu pula orang akan mendapatkan pemahaman.
Selanjutnya, sang bhakta memohon kepada Tuhan agar mengarahkan hidupnya pada jalan kebenaran, (sad-gamaya). Tuhan, bawalah, arahkanlah, tuntunlah hamba agar jalan hidup yang hamba tempuh adalah jalan pasti di dalam kebenaran. Izinkanlah hamba meniti jalan kebenaran di dalam hidup ini sebab selain jalan kebenaran, jalan bypass, atau jalan tol seindah apapun pastilah jalan yang mengarahkan hamba kepada kehancuran dan kesengsaraan.
Oleh karena itu, Tuhan, sat gamaya, bawalah hamba pada jalan kebenaran Sat, bukan kebenaran dunia, bukan kebenaran waktu, dan bukan pula pada kebenaran individu atau kelompok. Biarlah hamba meniti jalan indah kebenaran Sat. Karena hanya jalan kebenaran Sat saja yang akan mengantarkan hamba pada destinasi sejati, yaitu asal muasal hidup, Sangkan Paraning Dumadhi.
Tamaso ma, ya Tuhan, janganlah biarkan hamba hidup di dalam kegelapan dan kebodohan, Jyotir gamaya, bawalah hamba pada jalan terang. Kata tamasah menunjukkan bukan hanya kegelapan, melainkan yang lebih ditekanlah lagi adalah kebodohan akibat ketidakberadaan pengetahuan vidya dan pengetahuan suci jnana. Kata jyotir juga tidak menunjukkan hanya sinar biasa. Melainkan sinar vidya dan pengetahuan suci jnana. Ilmu pengetahuan vidya memberikan pembentukan karakter sempurna, agar orang menjadi manusia sempurna di masyarakatnya, dan pengetahuan suci jnana memberikan pencerahan spiritual kepada setiap orang.
Jyotir-gamaya berarti seorang bhakta memohon kepada Tuhannya agar membebaskan dirinya dari kegelapan akibat ketidak beradaan lampu penerang rohani dan juga kegelapan akibat dari musuh-musuh di dalam diri berupa indria-indria yang tidak terkendalikan, akibat pikiran yang tidak terkontrol, tidak dibersihkan dan disucikan, dan kegelapan akibat Dasa Mala (sepuluh jenis kotoran, keburukan) serta Sapta Timira (7 jenis kegelapan batin) lalu memohon dijauhkan dari kegelapan akibat tidak adanya pengetahuan vidya dan jnana. Hidup manusia tidak akan terangkat dari level binatang tanpa vidya dan jnana. Oleh karena itulah seorang bhakta memohon berkah tamaso ma jyotir gamaya.
Selanjutnya mrtyor ma amrtam gamaya, sang bhakta memohon agar dirinya dijauhkan dan dibebaskan dari perputaran tanpa henti kelahiran dan kematian. Sang bhakta juga memohon agar diizinkan memasuki alam kekekalan, alam langgeng yang tidak ada susulan penderitaan dan kecemasan (sukha tanpa wali dukha). Itulah tujuan hidup sejati, dan itulah tujuan sesungguhnya dari hidup manusia kita. Itulah kurang lebih perenungan arti dan makna dari doa tersebut. Sarve sukhinah bhavantu, semoga semua makhluk berbahagia.
Visit Our Sponsor
- Service Laptop / Smartphone Panggilan Denpasar 

Selasa, 11 Agustus 2020

Tradisi Nikah Massal Desa Pakraman Pengotan Bangli


Image By: Anggara Mahendra
Dilansir dari NusaBali – Tradisi menikah massal kembali digelar Desa Pakraman Pengotan, Kecamatan Bangli pada hari ini Kamis 22 Maret 2018 atau Wraspati Umanis Sinta, Prosesi menikah massal kali ini akan diikuti 21 pasangan calon suami istri (pengantin), 5 pasangan di antaranya melibatkan perempuan dari Desa Pengotan yang menikah keluar.Tradisi ritual menikah massal ini dilaksanakan Desa Pakraman Pengotan dua kali dalam setahun, yakni pada Sasih Kapat (bulan keempat sistem penanggalan Bali) dan Sasih Kadasa (bulan ke-10 sistem penanggalan Bali). Tradisi yang diwarisi secara turun temurun dan diyakini sudah ada sejak berdirinya Desa Pengotan ini digelar sebagai bagian upaya meringankan beban keluarga calon pengantin.
Menurut Bendesa Pakraman Pengotan, Jro Wayan Kopok, dalam prosesi nikah massal ini, pasangan pengantin hanya dikenakan uang tunai masing-masing Rp 450.000, selain juga beberapa kewajiban lainnya. Jika menikah secara mandiri sebagaimana layaknya di Bali, bisa menghabiskan biaya puluhan juta rupiah. “Kalau di sini (Desa Pengotan) belum pernah ada nikah sendiri-sendiri. Selalu dilangsungkan nikah secara massal,” jelas Jro Wqayan Kopok kepada NusaBali di Desa Pengotan, Rabu (21/3).
Menurut Jro Wayan Kopok, tradisi nikah massal rutin digelar dua kali dalam setahun. Hanya sajatradisi nikah massal sempat tidak digelar selama 2 tahun terakhir, karena masih ada pembangunan di Pura Penataran Agung, Desa Pakraman Pengotan. “Tradisi ini masih kami pertahankan. Selain untuk mengaja hubungan nyama braya, juga buat meringankan beban krama dalam melangsungkan perkawinan. Dari segi biaya tentu akan lebih murah,” katanya.
Tradisi nikah massal ini, kata Jro Wayan Kopok, sudah tertuang dalam awig (aturan adat). Karenanya, tradisi ini ditaati betul. Sekalipun dari keluarga kaya raya, tetap saja harus menikah secara massal. Pernikahan massal diikuti baik laki-laki yang notabene menetap di Desa Pengotan maupun perempuan yang menikah keluar.
“Bagi perempuan yang menikah keluar, mereka tetap mengikuti rangkaian perkawinan massal di Desa Pengotan. Setelah nikah massal, selanjutnya mereka mengikuti sang suami,” beber Jro Wayan Kopok.

DAPATKAN PENGHASILAN TAMBAHAN MINIM RESIKO KLIK DISINI
Pasangan calon suami istri berjumlah 21 pasang yang akan menikah massal hari ini, berasal dari selurtuh 8 banjar di Desa Pengotan, yakni Banjar Padpadan, Banjar Penyebeh, Banjar Besenge, Banjar Yoh, Banjar Delod Umah, Banjar Tiying Desa, Banjar Dajan Umah, dan Banjar Sunting. Terbanyak dari Banjar Padpadan, yakni 9 pasangan pengantin.
Jro Wayan Kopok menjelaskan, rangkaian tradisi pernikahan massal ini diawali dengan melaksanakan Sangkepan Nganten di jaba Pura Penataran Agung, Desa Pakraman Pengotan. Setelah sangkepan tersebut, dilajutkan dengan penyampaian hasil pesangkepan kepada seluruh krama. “Hasilnya disampaikan kepada krama, seperti siapa-siapa saja pasangan yang akan mengikuti upacara perkawinan massal,” katanya.
Acara selanjutnya adalah mempersiapakan sarana upacara, termasuk nampah (menyembelih) sapi yang dibeli dari urunan para calon pengantin. “Berapa pun harga sapinya, dibagi seluruh pasangan calon pengantin. Sapi yang digunakan tidak harus besar, yang terpenting kondisinya sehat dan tidak cacat,” kata Jro Wayan Kopok.
Setelah daging sapi diolah, selanjutnya munggah (ditelatakan) di Bale Agung. Selain urunan beli sapi, para pasangan calon pengantin juga wajib membawa nasi empat rontong atau setara 10 kilogram. “Dibuatkan kawisan, sesuai jumlah krama dengan 206 kepala keluarga (KK) pengarep,” terangnya.
Begitu segala persiapan rampung, barulah pasangan calon pengantin dipanggil untuk mengikuti acara pokok, yakni menikah massal. Mereka harus berbaris menuju Pura Penataran Agung untuk mengikuti rangkaian prosesi mulai dari Nista Mandala Pura. Terakhir, pasangan calon pengantin duduk di Bale Nganten, Pura Penataran Agung.
Download Free Portable Adobe Photoshop CC 2020 Terbaru
Menurut Jro Wayan Kopok, semua duduk berjejer dalam dua baris, di mana pasangan canlon dalam posisi saling berhadapan. “Duduknya dipisah antara laki-laki dan perempuan. Mereka nginang (makan sirih) bersama sebagai pertanda sudah memasuki usai lebih tua, dengan tanggun jawab yang lebih besar. Kemudian, mempelai perempuan ngunggahan damar kurung, yang dimaksudkan untuk memohon tuntunan dari Ida Sang Hyang Widhi, agar pasangan baru ini mampu menjalani kehidupan berumah tangga. Diharapkan, rumah tangga berjalan harmonis.”
Terakhir, pasangan mempelai mepamit di Sanggar Agung, sebagai tanda berakhirnya rangkaian prosesi upacara nikah massal. Selanjutnya, pasangan mempelai kembali ke rumah masing-masing. Terkait acara resepsi pernikahan, itu sepenuhnya diserahkan kepada keluarga masing-masing.
Jro Wayan Kopok menjelaskan, ada pantangan bagi pasangan mempelai yang baru mengikuti prosesi nikah massal. Mereka selama tiga hari tidak boleh melewati rurung adat (jalan adat). Bila rumahnya berada di sebelah barat rurung adat, mereka tidak boleh ke sebelah timur, demikian pula sebaliknya. Seteleh tiga hari, mereka dibolehkan keluar dan dilanjutkan dengan prosesi membawa tipat bantal dari rumah purusa (laki-laki) ke rumah pradana (perempuan).
Bagaimana pantangan untuk perempuan yang menikah ke luar desa? Menurut Jro Wayan Kopok, mereka tidak terkena pantangan melintasi rurung adat selama 3 hari. Sebab, seusai upacara nikah massal di Pura Penataran Agung, mereka langsung mengikuti suaminya ke desa masing-masing.
Terima kasih: Nusa Bali
Visit Our Sponsor
- Service Laptop / Smartphone Panggilan Denpasar 

Senin, 10 Agustus 2020

Tradisi Megoak-goakan Desa Panji

Tradisi Megoak-goakan diadakan setiap tahun di Banjar Dinas Bangah, Desa Panji, Kecamatan Sukasada, Buleleng. Dilaksanakan sehari setelah Hari Raya Nyepi atau tepat pada saat Ngembak Geni melibatkan sekaa teruna Banjar Kelod Kauh Desa Panji menggunakan pakaian serba hitam. Tidak hanya pemuda laki-laki saja yang beraksi pada tradisi yang tidak pernah absen setiap tahunnya. Tetapi juga barisan remaja putri.
megoak-goakan -youtube
Saat kepala goak bersuara Gaaaak dengan lantang, permainan pun dimulai. Pasukan goak yang berbaris panjang saling memegang pinggang di depannya terus bergerak, menghindari serangan komandan pasukan yang akan mencari pasukan goak paling akhir. Keseruan itu pun tidak menghalangi mereka untuk berbasah-basahan dipenuhi lumpur karena sawah yang disiapkan becek dan penuh dengan air.
Sesekali beberapa remaja wanita yang kebetulan melintas di depan jalan arena goak, akan ditarik dan dilibatkan langsung dalam permainan itu. Sorak-sorai masyarakat pun suka cita menyaksikan permainan magoak-goakan tersebut. Apalagi keikut sertaan remaja putri itu diikuti dengan drama digendong dan dicemplungkan ke lumpur.
Download Free Portable Adobe Photoshop CC 2020 Terbaru
Mereka yang tertangkap pasukan goak harus ikut bermain meramaikan tradisi tersebut. Kelian Banjar Dinas Kelod Kauh, Desa Panji, Nyoman Marsa Jaya ditemui di lokasi menjelaskan tradisi magoak-goakan sudah ada sejak kerajaan Ki Barak Panji Sakti. Saat itu pasukan perang Panji Sakti disebut dengan pasukan goak. Panji Sakti sedang berjaya di masa itu menaklukkan sejumlah kerajaan yang ada di sekelilingnya. Salah satunya adalah Blambangan. Sebelum itu ia pun menguji kecakapan pasukan goaknya melalui permainan magoak-goakan yang dipimpin oleh sang patih.
Ekor pasukan goak yang berhasil ditangkap patih kemudian akan diberikan hadiah oleh sana raja sebagai bentuk kesetiaan pengabdian serta semangat juang dalam pertempuran. Begitupun pasukan goak yang ekornya berhasil ditangkap sang patih harus mengikuti seluruh titah raja. “Tradisi ini masih kami lakukan turun temurun dari leluhur kami, sebagai pengormatan Ki Barak Panji Sakti yang pernah menjadi raja Buleleng,” kata dia.
Tradisi itu pun hingga kini diwarisi oleh Desa Panji yang merupakan tempat penetapnya Ki Barak Panji Sakti saat diasingkan dari kerajaan Klungkung pada usia 15 tahun. Tradisi magoak-goakan ini pun disebut sebagai warisan budaya yang sangat kental dengan sejarah Buleleng.
Selain sebagai penghormatan kepada Ki Barak Panji Sakti tradisi magoak-goakan yang dilaksanakan oleh warga Panji hingga saat ini juga disebut sebagai pelestarian budaya. Generasi muda Panji secara bangga dan setia tetap melaksnaakan tradisi ini secara turun-temurun. Dipilihnya ngembak geni setelah nyepi bukan tanpa alasan. Menurutnya saat akan menaklukkan Blambangan, Ki Barak Panji Sakti dan pasukannya berangkat setelah tahun baru Saka.
Meski tidak ada ritual khusus dalam pementasan tradisi ini, namun pihak desa tetap melakukan upacara piuning di lokasi acara untuk kelancaran dan keselamatan. Namun jika tarian magoak-goakan ini dipentaskan dalam kesatuan yang utuh, dalam artian lengkap dengan lelampahan cerita menjelang menggempur Blambangan, baru akan dilakukan upacara matur piuning di Pura Pajenengan yang masih ada di Desa Panji.
Tradisi selalu menyenangkan dan menghibur saat kita bisa melestarikannya.
Terima kasih: Nusa Bali
Visit Our Sponsor
- Service Laptop / Smartphone Panggilan Denpasar 

Minggu, 09 Agustus 2020

Tradisi Lukat Geni Desa Sampalan

Apasih arti dari Lukat Geni itu?
Kata melukat dalam Jawa Kuno Indonesia artinya melepaskan, membebaskan. Sedangkan menurut Bahasa Bali, kata lukat, melukat artinya membersihkan kekotoran batin. Sedang kata geni artinya api.Jadi upacara lukat geni adalah suatu bentuk upaya menetralisir keburukan dalam diri mansuia dan alam dengan menggunakan cahaya pengetahuan yang disimbolkan oleh api/geni. Lukat Geni juga bisa diartikan suatu upaya untuk melepaskan, mengurangi kekotoran dengan harapan kondisi selanjutnya menjadi harmonis, seimbang dan pada akhirnya memperoleh kedamaian dan keseimbangan alam dan kebahagiaan lahir batin.

Image by: Tempo
Sejak sore hari, para pemuda berkumpul, untuk ambil bagian dalam tradisi lukat geni. Sementara itu sebelum dilakukan tradisi ini juga ada berbagai persyaratan yang dilakukan. Diantaranya ada beberapa tahapan yag harus dilalui. Seperti membersihkan diri di sumber mata air kemudian dilakukan persembahyangan bersama di Pura Merajan setempat. Ini dilakukan untuk memohon kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa dan para Leluhur agar para peserta diberikan keselamatan dalam melaksanakan ritual tersebut.
Tradisi Lukat Geni dilakukan Krama Puri Satria Kawan, Desa Pakraman Sampalan Paksebali, Kecamatan Dawan, Klungkung. Bertepatan dengan Hari Pangrupukan tradisi ini dilaksanakan untuk menyambut pergantian Tahun Baru Isaka dan diikuti puluhan pemuda Puri Satria Kawan. Tradisi Lukat Geni dilakukan di Catus Pata (Perempatan) Desa Paksebali. Tradisi Lukat Geni merupakan suatu cara pembersihan menggunakan sarana api (Brahma) untuk keseimbangan Bhuana Alit dan Bhuana Agung.
Panglingsir(tokoh) Puri Satria Kawan AA Gde Agung Rimawan menuturkan, Lukat Geni bermakna pembersihan/panglukatan diri dan alam menggunakan sarana api (Dewa Brahma). Lukat Geni atau dikenal dengan perang api ini menggunakan sarana dari daun kelapa kering yang diikat sebanyak 36 lembar. Angka 3 dan 6 jika dijumlahan akan jadi sembilan, atau sembilan penjuru mata angin atau Dewata Nawa Sanga sebagai pelindung atau benteng keselamatan. Selain itu, obor 33 buah juga melengkapi pelaksanaan tradisi ini. Jumlah 33 ini sebagai kekuatan yang terbagi sesuai arah mata angin dan warna. Dari arah timur sebanyak lima buah, selatan sembilan buah, barat tujuh buah dan utara empat buah serta posisi tengah sebagai poros utama sebanyak delapan buah. “Panglukatan itu ada berbagai jenis sarana. Ini kami pakai api (Brahma) sebagai panglukatan,” ujar Rimawan.

DAPATKAN PENGHASILAN TAMBAHAN MINIM RESIKO KLIK DISINI
Selain sebagai pembersihan diri, tradisi Lukat Geni dilaksanakan untuk menjaga keharmonisan Bhuana Alit dan Bhuana Agung, menjaga alam beserta isinya. Sehingga, umat dalam melaksanakan catur brata Panyepian keesokan harinya dapat berjalan dengan baik dan hikmad. “Semoga dengan adanya tradisi ini semakin mempererat persatuan dan kesatuan serta sebagai pedoman bagi generasi muda disini untuk menjaga warisan leluhurnya,” harapnya.
Dengan diiringi tabuh Baleganjur, 18 pasang pemuda mengikuti tradisi ini. Mereka terlibat saling pukul dengan bara api daun kelapa kering tersebut. Tidak ada rasa sakit dan demdam di antara mereka. Semua dilakukan dengan suka cita.
Peserta Lukat Geni, AA Gde Ngurah Putra Yasha mengaku senang mengikuti tradisi ini. Selain dapat berbaur dengan kerabat ataupun saudara, juga bisa melestarikan warisan leluhur yang sudah lama vakum dan kini dibangkitkan kembali. “Saya bangga bisa ikut dalam kegiatan ini, karena bisa melestarikan warisan leluhur,” ungkap pemuda yang sudah empat kali mengikuti tradisi ini. Dia berharap, tradisi ini dapat terus berjalan secara turun temurun, sehingga kedepan bisa menjadi icon/ciri khas dari wilayah Puri Satri Kawan dan Klungkung.
Terima kasih: Nusa Bali
Visit Our Sponsor
- Service Laptop / Smartphone Panggilan Denpasar 

Sabtu, 08 Agustus 2020

Satua Bali: Men Sugih Lan Men Tiwas

Ada katuturan satua Men Tiwas teken Men Sugih. Men Tiwas buka adane Ia mula tiwas pisan. Gegaene tuah ngalih saang kaalase. Kerana Ia tuah megae ngalih saang, apa tuara gelahanga. Kadirasa baas lakar jakan jani Ia tuara ngelah.

Image by: Wiracarita Bali
Yadin Ia tiwas buka keto nanging solahne melah, demen ia matetulung, jemet maturan, lan setata mabikas sane beneh. Len pesan teken Men Sugih. Men Sugih mula saja buka adane Ia sugih pesan nanging bikasne jele. Sombong, demit, jail teken anak tiwas, miwah setata mabikas jele.
Sedek dina anu ritatkala Men Tiwas nyakan, ia tusing ngelah api. Kemu lantas Ia ka umah Men Sugihe ngidih api.
“Mbok mbok ngidih ja tiang apine” keto Men Tiwas makaukan
“Ngujang nyai mai ngdidih api? Kanti api nyai sing ngelah?” keto pasutne Men Sugih sada bangras pesu uling jumahan umahnee.
“Tiang lakar nyakan mbok nanging tusing ngelah api jumah”
“Nah lakar kebaang nyai api, kewala opin malu ngaliin kutu disirah wakene. Aliin nganti kedas sirah wakene nyanan baanga ja upah baas acrongcong” keto pesautne Men Sugih. Nyak lantas Men Tiwas ngaliin kutune Men Sugih nganti tengai mare suud. Men Tiwas lantas baanga upah baas acrongcong teked jumahne baase ento jakana. Sesampune Men Tiwas mulih, Men Sugih nyiksikin sirahne lan bakatanga kutu aukud. Gedeg basange Men Sugih kerana makatang kutu aukud. Kemu lantas Ia ka umah Men Tiwase.
“Eh Nyai jelema tiwas, tolih ne wake makatang kutu aukud di sirah wakene. Mai jak baase ne baang wake busan!” keto Men Sugih ngomong neked jumahne Men Tiwas.

DAPATKAN PENGHASILAN TAMBAHAN MINIM RESIKO KLIK DISINI
“Baase busan suba bakat jakan tiang mbok” Men Tiwas nyautin.
“Nah ento suba mai aba, kadong ja suba dadi nasi!” lantas Men Sugih nyemak baase ane lakar lebeng dadi nasi ento.
“Nyai masi busan ngidih api teken wake, jani saange ne misi api ene jemak wake aba mulih!” Men Sugih merondong nasine Men Tiwas ane makiken lebeng lan saange ane misi api abane ke umahne. Men Tiwas tusing ngidaang ngomong apa. Ia tuah ngidaang bengong ningalin tingkahne Men Sugih sambilanga naanang basangne seduk.
Buin manine Men Sugih nundenin Men Tiwas ngopin nebukang padi lan nyanjiang upah baas duang crongcong. Men Tiwas nyak nebukang padine Men Sugih. Nganti tengai mare ia suud lan baanga upah baas duang crongcong teken Men Sugih. Sesampune Men Tiwas mulih, Men Sugih maliin baasne lan bakatanga latah dadua. Gedeg pisan Men Sugih lantas Ia kemu ka umah Men Tiwase lakar nuntun Men Tiwas.
“Eh nyai Men Tiwas, mula saja nyai tusing bisa magarapan. Ibi tunden ngaliin kutu tusing kedas. Jani tunden nebuk padi, ne tolih wake maan latah dadua. Kerana nyai tusing melah nyemak gae, jani mai aba baase ane wake baang teken nyai I nuni semeng!” keto omongne Men Sugih dawa malemad.
“Kenkenang tiang nguliang mbok, baase suba jakan tiang lan mekiken lebeng” Men Tiwas mesaut.
“Nah ento suba mai aba!” Men Sugih merondong baase ane mekiken lebeng ke umahne. Men Tiwas engsek atine ningalin tingkah Men Sugihe buka keto. Sing kerasa ngetel yeh paningalane ngenehang basang seduk uli semengan tusing misi apa, jani buin kajailin olih Men sugih.
Terima kasih: Kalender Bali, Wiracarita Bali.
Sedek dina anu Men Tiwas kemu ka alase ngalih saang teken paku. Sedek iteha ngalih paku di bet-bete saget teka kidang kencana.
“Eh Men Tiwas, apa kaalih ditu?” keto Sang Kidang metakon. Men Tiwas makesiab nepukin ada kidang bisa ngomong.
“Tiang ngalih saang teken paku nika jero Kidang” pesautne Men Tiwas sada ngejer.
“Anggon gena ngalih keketo?”.
“Lakar adep tiang nika, yen ada sisa wawu ja anggen tiang jumah”.
“Eh Men Tiwas, yen nyai nyak nyeluk jit nirane, ditu ada pabaang nira  tekening nyai!”. Men tiwas lantas nyak nyeluk jit kidange ento. Mara kedenga limane bek misi emas. Kendel pesan Men Tiwas maan mas bek pesan. Mara konanga Men Tiwas lakar ngaturang suksma teken Sang Kidang, lautan Sang Kidang suba ilang.
Men Tiwas ngaba emase ento mulih. Prejani Men Tiwas dadi anak sugih. Ia teken pianakne mekejang nganggo bungah dugase mablanja ka peken. Men Sugih iri ningalin Men Tiwas lan pianakne makejang makronyoh nganggo mas. Kisi-kisi ia matakon teken Men Tiwas.
“Men Tiwas, dija nyai maan emas kene ebekne?”
“Kene mbok, ibi tiang ngalih saang teken paku. Saget teka kidang bisa ngomong nunden nyelek jitne. Nyak lantas tiang, mara kedeng adi bek limane misi emas” keto Men Tiwas nyatuaang undukne ibi. Ningeh satuane Men Tiwas buka keto, ngencolang ia mulih lan mapanganggo buka anak tiwas. Men Sugih lantas kemu ke alase lan manyaru buka anak tiwas. Teka lantas Sang Kidang lan nakonin Men Sugih.
“Eh jadma tiwas ngudiang nyai ditu krasak-krosok? Apa kaaliah?”.
“Uduh jero Kidang, tiang niki durung ngajeng. Awinan nika tiang driki ngalih saang lan paku lakar adep tiang lan pipisne anggon tiang meli baas” Men Sugih melog-melogin Kidang Kencana.
“Lamun keto lan seluk jit nirane, ditu ada pabaang nira”. Nyak lantas Men Sugih nyelek jit kidange ento. Kendel pesan kenehne kadenanga lakar maan mas. Nanging pas seluka jit kidange, Sang Kidang ngijemang jitne. Men Sugih paida abana ka dui-duine nganti awakne telah matatu.
“Uduh tulung tulung! Tiang kapok, tiang kapok!” keto Men Sugih makuuk kesakitan. Mare neked di pangkunge mare elebanga Men Sugih. Men Sugih tusing nyidaang naanang sakit lantas ia pingsan. Disubane ingetan megaang ia mulih. Teked jumahne ia gelem keras lantas ngemasin ia mati.
Yen iraga dadi manusa mangda ten sekadi Men Sugih. Bikasne jele, iri ati, demit, lan setata nyailin anak lacur. Yadin iraga sugih, nanging iraga tusing dadi mabikas serasa ngisi gumi. Patutne iraga eling lan setata matetulung teken anak sane lacuran mangda kasugihan iraga maguna.

Visit Our Sponsor
- Service Laptop / Smartphone Panggilan Denpasar 

Jumat, 07 Agustus 2020

Pura Sangga Bhuwana Hamburg, Jerman

Pura Sangga Bhuwana Hamburg, Jerman. Terletak di Hamburg tidak jauh dari pusat kota, Pura Sangga Bhuwana dibangun dan terlihat kokoh & simple dengan Tinggi 8 meter didepan museum Voelkerkunde. Sebuah museum Etnologi. Pura ini digunakan sebagai tempat persembahyangan umat Hindu yang bermukim disana, untuk mencapai pura ini bisa menggunakan transportasi bus atau kereta api yang lokasinya dekat dengan kota Hamburg. Sejak awal dibangun pura bernuansa Bali ini, oleh karena adanya anjungan budaya Bali di museum dan membuat pihak pengelola museum dan publik ingin mengenal lebih jauh tentang budaya Bali. Dibarengi dengan ide tersebut tempat persembahyangan diantara warga Bali yang sudah menetap di Hamburg membuat mereka bersemangat membuat pura dan diresmikan pada tahun 2010. Pura pun dibangun berdasarkan aturan sakral Hindu dan mendatangkan pendeta yang memimpin upacara dari Bali, pura disumbang oleh donatur dari Jerman, warga Bali yang menetap di Hamburg dan pemerintah federal Hamburg melalui pengelola pihak museum dengan biaya 200.000 euro atau sekitar 3 milyar rupiah.
Dalam proses pembangunan pura Sangga bhuwana hamburg Jerman,semua perlengkapan dari Batu,ukiran,Patung dan arsitek ahli bangunan Bali didatangkan dari pula Dewata Bali dengan dipandu ahli arsitek dari jerman agar sesuai dengan suasana alam dan iklim saat musim salju di wilayah Hamburg. Upacara persembahyangan senantiasa dilakukan oleh umat Hindu di Hamburg Jerman dihari baik dalam kalender Hindu seperti Purnama dan Tilem.
Upacara piodalan Pura Sangga Bhuwana Hamburg, Jerman dilakukan tepat pada Hari Raya Kuningan dimana jatuh setiap 210 hari sekali.
Jika kebetulan semeton berkunjung (tangkil maturan) saat musim dingin ke Pura Sangga Bhuwana Hamburg jangan lupa untuk menggunakan pakaian hangat agar nyaman karena pernah terjadi pemedek kedinginan dan tirta menjadi beku. Dengan adanya pura membuat masyarakat Indonesia yang berada Jerman dapat sesering mungkin berkunjung ke museum untuk berwisata dan sekaligus bertirtha yatra bagi yang Hindu. Hal ini dapat mempererat hubungan baik antar sesama warga Indonesia di Jerman dan yang beragama Hindu, sehingga terjalin hubungan yang harmonis.
Untuk mempermudah mencari letak Pura Sangga Bhuwana Hamburg, Jerman gunakalah keyword dan titik koordinat ini : Voelkerkunde Museum Rothenbaumchaussee 64, 20148 Hamburg, Germany pada google maps
Visit Our Sponsor
- Service Laptop / Smartphone Panggilan Denpasar