Jumat, 31 Juli 2020

Mesegeh Saat Kajeng Kliwon, Mengapa?

Selain Purnama dan Tilem, Kajeng Kliwon merupakan hari yang spesial bagi umat Hindu. Kajeng Kliwon merupakan hari pertemuan tri wara “kajeng” dengan Pancawara “kliwon”. Datangnya setiap 15 hari sekali. Kajeng Kliwon adalah hari payogan Sang Hyang Durga Dewi / Bhatari Durga diiringi oleh para bala – bala, rencang – rencang beliau yakni “sarwa buta kala”. Inilah yang sebabnya mengapa pada Kajeng Kliwon aura magisnya sangat kental. Beliau Hyang Durga Dewi sebagai sumber dari segala kesaktian dan kekuatan magis.

Image: Koleksi pribadi

DAPATKAN PENGHASILAN TAMBAHAN MINIM RESIKO KLIK DISINI


Pada hari Kajeng Kliwon, “sang gama tirtha” (umat sedharma) melaksanakan prakerti menghaturkan canang wangi – wangian, pengayatan ditujukan kehadapan Hyang Durga Dewi. Sedangkan di natar sanggah, natar pekarangan dan di lebuh, dihaturkan “segehan” tetabuhan arak berem, ditujukan kepada Sang Tiga Bhucari (Bhuta Bucari, Kala Bucari, Durga Bucari), Sang Adi Kala / Sang Bhuta Raja, dan para bala-balanya yang merupakan para pengiring Hyang Durga Dewi.
Pada hari Kajeng Kliwon, “sang gama tirtha” ngastawa serta menghaturkan sembah bakti kehadapan Hyang Durga Dewi memohon kerahayuan.
Apabila tak pernah menghaturkan segehan, maka Sang Tiga Bhucari akan meminta ijin kepada Hyang Durga Dewi untuk “ngrebeda” mengganggu para penghuni rumah. Mereka menciptakan “gering” (penyakit), mengundang desti, teluh, menyuruh kekuatan hitam dan mahluk gaib seperti tonye, memedi, dll memasuki pekarangan rumah. Sang Bhuta Tiga juga akan menggelar pemunah / pengalah yang menyebabkan situasi rumah menjadi “cemer” tidak suci, muram, tidak nyaman, yang menyebabkan para Betara dan Leluhur tak berkenan lagi “mehyang” di pekarangan itu, lalu kembali ke kayangan. Rumah dan pekarangan menjadi tak terberkati, suwung mangmung. Penghuni rumah menjadi tak nyaman, pikiran kalut, sering sakit, sering mengalami hal aneh, mudah marah, sering salah lihat, sering salah dengar yang menyebabkan salah sangka, salah paham, yang kemudian menjadi sumber dari perselisihan dan pertengkaran. dll.
Demikian juga sebaliknya, apabila sang gama tirtha menjalankan prakerti kajeng kliwon sebagaimana mestinya serta dilandasi rasa bakti dan lascarya, astungkara akan mendapatkan anugrah kerahayuan dari Hyang Durga Dewi, serta selalu akan mendapatkan kawalan perlindungan dari Sang Tiga Bucari dll. Demikiaan tersurat di dalam Cakepan Pakem Gama Tirtha.
Dari berbagai sumber.
Visit Our Sponsor
- Service Laptop / Smartphone Panggilan Denpasar 

Kamis, 30 Juli 2020

Perkawinan Adat Bali

Perkawinan sangat berarti bagi kita semua, bagi masyarakat Bali perkawinan memiliki kedudukan yang tinggi. Perkawinan dalam agama Hindu diharapkan menjadi sebuah hubungan yang kekal bagi suami dan istri. Istilah perkawinan dalam sastra dan Kitab Hukum Hindu (Smriti) disebut WIWAHA.

Ilustrasi
Jika dalam perkawinan seorang Perempuan dari kalangan sudra yang menikah dengan laki-laki golongan triwangsa tidak akan pernah masuk kedalam soroh atau clan suaminya, dalam artian perempuan sudra tidak akan berubah kastanya mengikuti kasta suaminya biarpun telah menikah. Pada waktu upacara perkawinannya si perempuan mungkin tidak akan bersanding dengan suaminya melainkan bersanding dengan keris atau dengan banten saja. Sesajen perkawinannya mungkin berbeda dan dipisahkan dengan banten suaminya. Surudan(prasadam) bantennya tidak akan mau dimakan oleh suami dan keluarganya. Dalam tata tertib berbahasa pun istri diharuskan berbahasa bali alus bukan hanya kepada suaminya dan keluarga suaminya saja, tetapi juga kepada anak-anaknya sementara itu anaknya bisa saja berbahasa kasar kepada ibunya. Si istri juga akan dilarang untuk bersembahyang di pura keluarga dan pura kawitannya dan dilarang untuk nyumbah mayat keluarganya dan orang tuanya jika meninggal nanti, dan keluarganya pun harus berbahasa bali alus kepadanya. Sedangkan jika nanti si istri ini meninggal dunia, anak-anaknya dan keluarga suaminya tidak akan dibenarkan untuk memikul mayatnya dalam perjalanan menuju kuburan.

DAPATKAN PENGHASILAN TAMBAHAN MINIM RESIKO KLIK DISINI
Lain halnya ketika seorang perempuan triwangsa kawin dengan laki-laki dari golongan sudra. Perempuan tersebut dikatakan nyerod atau tergelincir ke bawah. Perempuan ini juga akan menjalani proses penurunan kasta atau patiwangi sesuai dengan kasta suaminya yang biasanya dilakukan dengan cara mengitari bale agung sebanyak tiga kali. Proses patiwangi ini sebenarnya lebih menyerang sisi psikologis atau aspek kejiwaan dari perempuan triwangsa ini sehingga sebelum seorang perempuan triwangsa akan melakukan perkawinan beda kasta mereka akan berpikir berulang-ulang kali. Setelah melalui proses patiwangi ini si perempuan triwangsa ini akan dikeluarkan dari golongannya dan tidak berhak lagi atas gelar yang sebelumnya disandang dan tidak diizinkan untuk pulang ke geriyanya lagi.
  1. Perkawinan Adat Bali dalam hukum adat (dresta) Bali, dibagi menjadi 2 bentuk yaitu:
    Perkawinan Biasa (Mepandik), Yaitu dalam perkawinan pihak laki-laki berstatus purusa, dan pihak perempuan berstatus pradana. Purusa dalam pengertian ini adalah: sebagai pelanjut keturunan dalam keluarga. Ini merupakan jenis perkawinan yang termasuk perkawinan biasa. Perkawinan ini dilakukan dengan cara meminang atau melamar perempuan tersebut dan disetujui oleh kedua belah pihak keluarga.
  2. Perkawinan Nyeburin atau Nyentana: dalam perkawinan ini pihak perempuan sebagai purusa, sedangkan mempelai laki-laki yang berstatus pradana. Pada awalnya, perkawinan nyeburin dilakukan dalam upaya untuk mencegah putusnya garis keturunan dalam keluarga, tetapi perkembangan selanjutnya adalah untuk tetap mempertahankan anak perempuan tersebut dalam keluarga.
Namun dalam pelaksanaannya ternyata terdapat banyak sekali jenis-jenis perkawinan adat Bali baik yang masih dilakukan sampai yang tidak lagi dilakukan. Berikut ini macam-macam perkawinan adat Bali :
  • Perkawinan Nyerod
  • Perkawinan Mepandik
  • Perkawinan Jejangkepan
  • Perkawinan Nyangkring
  • Perkawinan Ngodalin
  • Perkawinan Tetagon
  • Perkawinan Ngunggahin
  • Perkawinan Melegandang
  • Perkawinan Padagelahang
Perkawinan adat bali selalu dilakukan dengan upacara pengagungan kepada Tuhan sebagai Sang Pencipta, agar diberkati kesalamatan dan kerahayuan selama mengarungi bahtera rumah tangga. Tahapan perkawinan dilakukan di rumah mempelai pria dan dalam pelaksanaan upacara perkawinan semua biaya yang dikeluarkan untuk acara tersebut menjadi tanggung jawab pihak keluarga laki–laki.
Terima kasih: Gazes Bali
Visit Our Sponsor
- Service Laptop / Smartphone Panggilan Denpasar 

Rabu, 29 Juli 2020

Mengenal Manfaat Sanggah Surya dan Sanggah Tawang

Pada upacara yadnya masyarakat Bali membuat sanggah surya, Sanggah Surya dibuat dengan menggunakan empat batang bambu yang ditancapkan disisi Timur Laut atau arah kaje kangin. Posisi ini mengacu kepada pembagian pekarangan berdasarkan Asta Kosala-kosali. Dimana arah kaje Kangin merupakan pertemuan antara utama dengan utama, sehingga sering disebut arah Dewata. Untuk diketahui bahwa Sanggah Surya hanya memiliki satu ruangan dan dibatasi menggunakan ancak saji. Ukuran Sanggah Surya biasanya lebih tinggi dari pinggang manusia, bahkan ketika dilaksanakannya upacara Yadnya, sanggah ini dibuat lebih tinggi dari dasar bangunan tempat dilaksanakannya upacara Yadnya.

Image By; Kunduk Supatra
Sanggah Surya di beberapa daerah di Bali, juga sering disebut dengan Sanggah Agung. Keduanya bermula dari dua kata, yakni Sanggah yang mengandung arti sumber, sedangkan Agung menekankan kewibawaan Sang Hyang Siwa Raditya yang tak lain adalah Dewa Surya.
Sanggah Surya sangat penting ketika pelaksanaan upacara yadnya, khususnya yang menggunakan banten Bebangkit yang dipuput oleh seorang Sulinggih. Ketika tidak ada Sanggah Surya yang merupakan stana Sang Hyang Siwa Raditya, maka dikatakan suatu upacara yadnya belum lengkap. Hal ini sesuai dengan prabhawa Sang Hyang Surya sebagau Upasaksi.
Selain Sanggah Surya, di Bali juga dikenal dengan adanya Sanggah Tawang. Kata Sanggah berarti sumber, dan Tawang memiliki penekanan arti awing-awang yang dapat diartikan sebagai kesunyian atau sepi. Jadi, Sanggah Tawang dapat diartikan sebagai sumber kesepian, di mana kesepian dan kesunyian tak lain adalah Ida Sang Hyang Widi Wasa.

DAPATKAN PENGHASILAN TAMBAHAN MINIM RESIKO KLIK DISINI
Sanggah Tawang dibuat dari bambu berbentuk segi empat panjang yang memiliki pinggiran yang disebut dengan ancak saji. Sama halnya seperti Sanggah Surya, Sanggah Tawang tidak menggunakan atap, namun terdiri dari tiga ruang atau rong telu yang merupakan simbol Dewa Surya dalam tatanan Tri Sakti , yakni Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa. Penggunaan Sanggah Tawang ini biasa dijumpai ketika dilaksanakannya upacara dengan tingkatan Utama. Beberapa di antaranya yakni Tawur Agung, Padudusan Agung.
Dengan demikian, Sanggah Tawang mempunyai makna sebagai simbol stananya Sang Hyang Widhi sebagai simbol manifestasinya yang merupakan permohonan umat Hindu dalam suatu upacara agama. Dalam Pustaka Bhuwana disebutkan kosa 1.2.10 ‘Sunyasca Nirbhanadhika, Siwanga Twe Raniksyate, Kutah Tad Wakyama Tulam, Srutwa Dewo Watista, yang artinya ada alam sunia yang dianggap sakti, itulah yang disebut dengan Sang Hyang Siwa.
Dengan melihat sloka tersebut, dapat diartikan bahwa Sanggah Tawang yang menggunakan tiga ruangan sebagai simbol Tri Purusa, yakni Siwa, Sadhasiwa, dan Paramasiwa.
Diolah dari berbagai sumber.
Visit Our Sponsor
- Service Laptop / Smartphone Panggilan Denpasar 

Selasa, 28 Juli 2020

BALADA CINTA BEDA KASTA

Ketut adalah anak bungsu dari empat bersaudara, lahir dan besar di salah satu kabupaten di Pulau Sumatera. Orang tua ketut adalah seorang petani padi dan kebun karet. Ingin mengikuti jejak sang kakak yang sudah terlebih dulu merantau ke Bali, Ketut melanjutkan sekolah dibilangan Sudirman Denpasar. Entah bagaimana ceritanya Ketut mengenal Gek Ratih yang saat itu masih duduk di bangku SMA yang kemudian menjalin cinta. Seiring waktu hubungan kedua anak muda ini diketahui orang tua Gek Ratih singkat cerita hubungan ini tidak mendapatkan restu. Menyelesaikan sekolah Ketut pun berniat untuk pulang kampung ke rumah orang tua. Sebagai anak bungsu Ketut diharapkan untuk pulang kampung bersama orang tua. Mendengar Ketut akan pulang Gek Ratih berniat untuk ikut Ketut pulang kampung ke sumatera. Disinilah Drama Cinta itu dimulai Gek Ratih tidak rela untuk ditinggalkan sang pujaan hati si gadis pun nekat mengikuti Ketut pulang kampung. Mengetahui anak gadisnya pergi dengan kekasih orang tua sang gadis membuat laporan ke polisi bahwa anak gadisnya dibawa lari. Drama ini pun berakhir dengan di jebloskannya Ketut ke sel tahanan dengan tuduhan membawa lari anak orang.

Image By: Bombastis

DAPATKAN PENGHASILAN TAMBAHAN MINIM RESIKO KLIK DISINI

Mungkin drama ini akan beda endingnya jika Ketut dari keluarga kaya raya atau minimal dari kasta yang sama. Seperti yang kita ketahui kasta adalah sistem pengelompokkan masyarakat berdasarkan garis keturunan. Adapun pengelompokkannya terbagi menjadi empat yang disebut dengan “Catur Kasta”, yaitu brahmana, ksatria, waisya, dan sudra. Kasta brahmana adalah kasta golongan masyarakat yang berkecimpung di bidang kerohanian dan mengajarkan ilmu pengetahuan, kasta ksatria adalah kasta golongan masyarakat yang memiliki keahlian di dalam bidang kepemimpinan untuk mengatur suatu kelompok atau bahkan negara.
Pada jaman dahulu kasta ksatria adalah orang-orang yang bekerja di dalam istana untuk melindungi raja dan keturunannya, kasta waisya adalah kasta golongan masyarakat yang bekerja pada bidang pertanian, perkebunan, berternak maupun berdagang. Keunggulan dari kasta waisya ini adalah mereka bisa menguasai dan mengatur berbagai hal di bidang perekonomian, dan kasta sudra adalah kasta golongan masyarakat biasa dan terkadang bertugas untuk melayani kasta lainnya. Pemahaman “Catur Kasta” ini sangatlah berbeda dengan “Catur Warna”, ketika catur kasta dikaitkan dengan penggolongan masyarakat berdasarkan garis keturunan maka catur warna adalah penggolongan masyarakat berdasarkan tugas atau fungsinya. Saat ini, masyarakat masih mengaburkan pemahaman tentang kedua sistem penggolongan masyarakat tersebut sehingga memunculkan perdebatan.
Dari drama cinta tersebut diatas mungkin kita bisa menarik kesimpulan bahwa masih ada(banyak) masyarakat Bali yang berkasta merasa eksklusif, merasa derajat lebih tinggi dari yang lain. Drama cinta diatas bukan tidak mungkin juga disertai dengan sumpah serapah, caci maki bagi Ketut dan keluarganya. Tentu tidak semua keluarga berkasta bersikap seperti diatas. Banyak keluarga berkasta merelakan putrinya untuk dinikahi oleh nak jaba bahkan nak dura negara atau nak dauh tukad atau mungkin karena faktor kaya tadi? entahlah.
Artikel ini diolah dari berbagai sumber.

Visit Our Sponsor
- Service Laptop / Smartphone Panggilan Denpasar 

Senin, 27 Juli 2020

Pura Purohita, Seririt Singaraja.

Pura Purohita terletak di lembah dusun Benyahe, Desa Unggahan Kecamatan Seririt Singaraja, Bali. Upacara Pemelaspasan dilaksanakan 11 Desember 2011 yang lalu dipuput(dipimpin) oleh Jero Mangku Pasek Mukti Murwo Kuncoro. Sebelum Upacara Melaspas terlebih dahulu dilaksanakan mendem pedagingan dengan upacara yang sangat sederhana. Diawali nedunang taksu Leluhur Hyang Maha Guru Bhatara Agung Mpu Kuturan. Upakara-nya dilakukan sangat praktis, sehingga hanya mengunakan pejati saja.

Image by: All Event

DAPATKAN PENGHASILAN TAMBAHAN MINIM RESIKO KLIK DISINI

Pura Purohita dibangun di area 1,5 hektar dikelilingi bebukitan yang sangat tinggi, berada di wilayah Desa Unggahan Kecamatan Seririt-Singaraja. Dari Kota Seririt bisa ditempuh kurang lebih 1 jam perjalanan menaiki bebukitan dengan kendaraan. Di lingkungan Purohita juga terdapat 11 sumber mata air sakral, yang ke depannya akan dibuatkan kolam Tamba Urip yang akan dibangun oleh Peguyuban Puri Agung Dharma Giri Utama yang nantinya diharapkan berkhasiat menyembuhkan penyakit setelah dipasupati oleh pinisepuh.
Diarea Pura Purohita juga terdapat Lingga Siwa Mahadewa tertinggi di dunia(setinggi 6 meter) yang ditetapkan sebagai salah satu situs warisan dunia. Tugu yang menjulang tinggi merupakan lambang laki-laki, elemen maskulin yang bersifat aktif dan positif serta melambangkan pagi hari. Di bagian lain di Purohita Pura terdapat pelataran Goa Hiranya Garbha (rahim emas) sebagai Yoni yang melambangkan perempuan, elemen feminin serta melambangkan malam hari. Lingga dan Yoni melambangkan kesuburan dan kesatuan harmonis yang saling melengkapi dari masa prasejarah.
Sejarah Purohita Pura tak lepas dari konsep puri para pura purana purohita, di mana lokasi Purohita ini merupakan salah satu tempat beryoga para pendeta antara lain Mpu Gni Jaya, Mpu Semeru, Mpu Kuturan, Mpu Gana, Mpu Baradah yang disebut Panca Pandita. Rsi Markandya, Mpu Sidimantra, Mpu Angsoka, Mpu Niratha, Ida Dalem Sidakarya, termasuk para leluhur Majapahit. Oleh karena itu, maka dinamakan Purohita Pura yang merupakan tempat tapa brata yoga semadi orang-orang suci zaman dahulu.
Di areal Pura terdapat sumber air yang berasal dari pertemuan delapan sungai dan dijadikan tempat malukat yang membawa tuah masing-masing sesuai dengan delapan arah dalam Astha Kosala-Kosali. Panglukatan ini dikenal dengan nama Astha Gangga.
Tegak piodalan di Pura Purohita dilaksanakan Redite Pon Kulantir, tahun ini odalan akan jatuh pada tanggal 8 April 2018, Dudonan acaranya:
  1. Buda Wage Ukir, 04 Januari 2018 Me Ayu-ayu
  2. Wrespati Kliwon Ukir, 05 Januari 2018 Penyepian
  3. Redite Pon Kulantir, Puncak Piodalan adapun dudonan madya: 06:00 Ngarutang Piodalan, Sembahyang bersama, Pengilen-ilen ngaturang sesolahan, Nyineb dilakukan pukul 24:00
Pakeling Bagi umat sedharma yang akan melakukan persembahyangan dipersilahkan melakukan pengelukatan dipancoran Astha Gangga yang merupakan pertemuan 8 sumber mata air murni.
Diolah dari berbagai sumber.
Terima kasih: InfoDenpasar, PHDI, Majalah Raditya

Visit Our Sponsor
- Service Laptop / Smartphone Panggilan Denpasar 

Minggu, 26 Juli 2020

Tradisi Perang Tipat Desa Yeh Apit Karangasem

Masyarakat Indonesia selalu punya tradisi unik untuk bersyukur kepada Tuhan, seperti tradisi perang tipat di Desa Apit Yeh di Karang Asem. Tradisi Perang Tipat/Ketupat dalam bahasa tradisional disebut Mesantalan sebuah pesta untuk mengungkapkan kegembiraan dan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang melimpah. Tradisi ini dikenal sangat unik dan cukup menarik bagi wisatawan yang kebetulan melancong ke Karangasem.

Image by: Martawan
Tradisi Perang Tipat juga disebut dengan Mesantalan dalam Kalender Hindu Bali, tradisi ritual ini diselenggarkan pada setiap Sasih Desta atau Sasih Sadha, dan tradisi ini memiliki makna atau arti yang sangat penting bagi warga di desa ini. Menjelang hari hWarga dari empat banjar yakni Banjar Kawan, Banjar Kangin, Banjar Kaler dan Banjar Kelod sejak pagi sudah disibukkan dengan menyiapkan berbagai sarana, seperti mencari janur dan membuat ketupat serta berbagai jenis sesaji yang terbuat dari bermacam hasil bumi.

DAPATKAN PENGHASILAN TAMBAHAN MINIM RESIKO KLIK DISINI
Prosesi ini diawali dengan mengarak godel atau anak sapi keliling desa sebelum kemudian godel itu disembelih dan dagingnya dibagikan kepada masing-masing krama desa untuk dimasak. Tepat pukul 12.00 Wita suara kulkul pun ditepak bertalu tanpa henti yang menandakan jika pesta (tradisi Perang Tipat/Mesantalan) akan segera mulai. Pukul 13.00-14.00 Wita, warga kemudian menggelar upacara mecaru dimulai dari Pura Taman, Pura Puseh dan Pura Dalem, hanya saja Ngayabnya dilaksanakan di jalan raya.
Begitu Ngayab selesai dilaksanakan, sejumlah prajuru adat langsung membentangkan tali pemisah antara dua kubu warga yang berada di utara dan selatan. Sorak bergema dan ratusan warga dari dua kubu itu langsung saling lempar dengan ketupat seukuran kepalan tangan orang dewasa. Jika terkena akan cukup sakit, tetapi bagi warga setempat, itu sama sekali tidak dirasakan karena terkena lemparan berarti berkah dan hasil panen mereka pada musim tanam yang akan datang melimpah.
Konon Perang ketupat memiliki sejarahnya; berawal dari perkawinan Ida Betara Dalem dengan putrinya Betara Dalem Selumbung. Setelah perkawinan itu berjalan, dan dalam perjalanan putrinya itu, Ida Betara Dalem Selumbung memberikan ketupat sebagai bekal. Namun setiba di pertigaan Apit Yeh, ketupat itu pun dilempar oleh sang putri sebagai penghormatan. Sejak itulah warga di desa ini mengenal dan menyelenggarakan perang ketupat, karena lemparan ketupat tersebut memiliki kekuatan spiritual bagi seluruh warga utamanya bagi kesuburan dan kesejahteraan warga desa.
Pernah suatu ketika warga di desa ini pernah sekali tidak menyelenggarakan ritual perang ketupat ini, namun secara tiba-tiba warga di desa ini mengalami paceklik yang cukup panjang, dimana seluruh tanaman pertanian seperti padi dan palawija serta hasil kebun mati dan seluruh warga mengalami gagal panen.
Dan paceklik yang dialami warga di desa ini akhirnya berakhir setelah tradisi ritual ini kembali diselenggarakan. Sementara usai tradisi perang ketupat ini dilaksanakan, warga akan kembali kerumah untuk selanjutnya mengikuti upacara Meprani dimasing-masing banjar.
Artikel diolah dari berbagai sumber.
Artikel lainnya:
  1. Mengenal Tradisi Mekotek
  2. Tradisi Upacara Neteg Pulu
  3. Tradisi Perang Tipat Desa Yeh Apit, Karangasem
  4. Tradisi Lukat Geni Desa Sampalan
  5. Tradisi Megoak-goakan Desa Panji
  6. Tradisi Nikah Massal Desa Pekraman Pengotan Bangli
  7. Tradisi Masuryak Desa Bongan

Sabtu, 25 Juli 2020

Mengenal Keunikan Pura Nampesela Pupuan

Pernah mendengar Pura Nampesela, Pupuan? Pura Nampesela terletak diporos jalan Desa Padangan menuju Desa Kebon Padangan, tepatnya di ujung utara dari Banjar Kebon Padangan, Desa Kebon Padangan dan di wilayah Desa Pakraman Kebon Padangan Kecamatan Pupuan Kabupaten Tabanan,Bali. Pura Nampesela terbilang unik, uniknya wanita tidak diperkenankan masuk ke area pura. Aturan tidak tertulis ini sudah menjadi tradisi turun temurun di Desa Pekraman Padangan.

DAPATKAN PENGHASILAN TAMBAHAN MINIM RESIKO KLIK DISINI
Ini tentu menjadi pertanyaan bagi umat hindu yang datang atau mendengar cerita pertama kalinya. Jero Mangku Pasek Padangan bercerita, konon menurut cerita turun temurun dan juga dari eedan atau wewidian bahwa Ida Bathara yang berstana di Pucak Luhur Batukaru selain mempunyai banyak putra, juga memiliki salah satu putri yang mengalami ketidaksempurnaan fisik atau cacat. Sebagai orang tua Ida Bathara tentu menerima kondisi fisik putrinya dengan lapang dada. Seiring waktu setelah sang putri menginjak dewasa, sang putri mendapat hinaan/cemoohan dari putri dan wanita-wanita lain, maka sang putri diungsikan pada tempat paling sor (paling bawah), dan hal ini membuat beliau merasa sedih dan kecewa. Sejak itulah, beliau tidak bersedia ditemui wanita manapun. Sampai akhir hayatnya ada bhisama beliau, bahwa beliau akan selalu melindungi dan memberikan cahaya kedamaian kepada seluruh masyarakat Padangan, namun tetap tidak bersedia disembah oleh wanita. Kemudian beliau distanakan di Pura Nampesela, dimana pura ini dalam jajaran pura yang ada hubungannya dengan Pura Luhur Pucak Kedeton, terletak paling sor atau paling bawah.
Dari rangkaian cerita itulah, nama Pura Nampesela berasal; kata Nampi berarti menerima, kata Sela atau Cela berarti cacat. Jadi, beliau menerima keadaan fisiknya yang cacat dengan apa adanya.
Odalan Pura Nampesela dilaksanakan dalam rangkaian Karya Ida Bathara Turun Kabeh, bertepatan dengan Purnama Kadasa setiap lima tahun sekali. Dalam rangkaian piodalan Bhatara Turun Kabeh ini, lanjutnya, barulah Pura Nampesela dibuka sehingga pamedek bisa tangkil dan menghaturkan bakti persembahyangan. Biasanya pelaksanaan piodalan di Pura Nampesela akan disiapkan sejak dua minggu sebelumnya.
Meskipun tidak ada aturan tertulis bahwa wanita dilarang masuk area pura namun tidak ada satu orang krama pun yang berani melanggar keyakinan atau kepercayaan turun temurun tersebut. Sehingga, pihaknya juga tidak mengetahui pasti apa yang akan terjadi apabila hal itu dilanggar.
Kepercayaan masyarakat setempat yang diterapkan di Pura Nampesela merupakan tradisi yang patut tetap dijaga dan dihargai oleh siapapun. Bukan persoalan gender, menyimak cerita diatas dimana sang putri diungsikan ditempat paling bawah (paling sor) mengapa para pemedek (wanita) tidak menghaturkan bhakti dari tempat(area) tersebut?

Tradisi Upacara Neteg Pulu

Neteg = Enteg = Mantap
Memantapkan Pernikahan dan kehidupan Rumah Tangga
Ada yang unik dalam Upacara Nganten Neteg Pulu atau Melepeh. Karena tidak semua masyarakat Bali melaksanakan upacara ini. Tapi bagi kami di Desa Bualu, Nusa Dua upacara ini merupakan hal yang biasa walaupun tidak semua Orang melaksakannya. Sebutan lain untuk Neteg Pulu ada bermacam macam seperti Melepeh. Di Desa Bugbug Karangasem disebut dengan Mesih.

Image by: Kompas Life Style

DAPATKAN PENGHASILAN TAMBAHAN MINIM RESIKO KLIK DISINI

Upacara dan Upakara Nganten Neteg Pulu lebih besar dari Ngaten Biasa, begitu juga dengan Pemimpin Upacara yang muput.
Sebenarnya upacara Nganten Neteg Pulu atau Melepeh adalah tahapan dari upacara perkawinan. Karena pada dasarnya
Tata pelaksanaan upacara perkawinan memiliki empat tahapan yaitu:
1. Upacara Mekala kalaan
2. Upacacara Mejaya-Jaya
3. Pewarangan atau Mejauman
4. Melepeh atau Neteg Pulu
Melepeh atau neteg pulu adalah merupakan runtutan upacara perkawinan, namun kenyataan yang berlaku di masyarakat, jarang sekali upacara melepeh ini dilaksanakan pada waktu upacara perkawinan tetapi kebanyakan upacara melepeh atau neteg pulu ini mencari hari tersendiri, kadang-kadang setelah umur lanjut baru dilaksanakan. Sehingga ada ungkapan
” Menikah yang Kedua ” atau
….. I Meme jak I Bapa Nganten atau I Pekak jak I Dadong Nganten …..
Neteg Pulu bisa juga dilakukan secara masal. Tapi sebenarnya Nganten Neteg Pulu bisa dilakukan saat Pasangan Suami Istri baru menikah atau flexibel masalah waktu pelaksanaannya
Semoga pernikahan langgeng.
Artikel diolah dari berbagai sumber.
Artikel lainnya:
  1. Mengenal Tradisi Mekotek
  2. Tradisi Upacara Neteg Pulu
  3. Tradisi Perang Tipat Desa Yeh Apit, Karangasem
  4. Tradisi Lukat Geni Desa Sampalan
  5. Tradisi Megoak-goakan Desa Panji
  6. Tradisi Nikah Massal Desa Pekraman Pengotan Bangli

Memahami Sanggah Kamulan

Sanggah Kamulan adalah tempat pemujaan asal atau sumber, Hyang Kamulan atau Hyang Kamimitan. Kamimitan berasal dari kawa Wit, (huruf m adalah sekeluarga huruf W). Kamimitan adalah lain ucapan dari kata kawiwitan, berasal dari kata wit, yang berarti asal atau sumber pula. Dengan pengertian ini sebenarnya kita sudah dapat menarik atau menyimpulkan bahwa yang dipuja pada Sanggah Kamulan itu tidak lain yang merupakan sumber atau asal dari mana manusia itu ada.
Dalam lontar Sivagama kita jumpai suatu uraian tentang pendirian Hyang Kamulan. Kutipannya sebagai berikut;
“bhagawan manohari, Sivapaksa sira, kinwa kinon de Sri Gondarapati, umaryanang sadhayangan, manista madya motama, mamarirta swadarmaning wong kabeh. Lyan swadadyaning wang saduluking wang kawan dasa kinon magawe pangtikrama. Wwang setengah bhaga rwang puluhing saduluk, sanggarpratiwi wangunen ika mwang kamulan panunggalanya sowing”
Artinya: Bhagawan Manohari pengikut Siva, beliau disuruh oleh Sri Gondarapati, untuk membangun Sad Khayangan Kecil, sedang maupun besar. Yang merupakan beban kewajiban orang semua. Lain kewajiban sekelompok orang untuk empat pulih keluarga harus membangun panti. Adapun setengah bagian dari itu yakni 20 keluarga, harus membangun ibu. Kecilnya 10 keluarga pratiwi harus dibangun, dan kamulan satu-satunya tempat pemujaan (yang harus dibangun) pada masing-masing pekarangan.
Dengan kutipan di atas jelaslah bagi kita, bahwa setiap keluarga yang menempati karang perumahan tersendiri wajib membangun Sanggah Kamulan. Jadi lontar Sivagama inilah yang merupakan dasar hukum bagi pendirian Sanggah Kamulan.

DAPATKAN PENGHASILAN TAMBAHAN MINIM RESIKO KLIK DISINI
Hyang Kamulan adalah Sanghyang Triatma. Kamulan atau kawitan adalah merupakan sumber atau asalnya manusia. Lalu siapakah yang dimaksud sumber atau asal itu? Siapakah yang menyebabkan adanya manusia atau jatma itu? Manusia umumnya dalam bahasa Bali halus disebut “jatma” yang berasal dari akar kata Ja, yang artinya lahir, dan atma berarti roh. Jadi jatma berarti roh yang lahir. Dengan ungkapan itu maka sesungguhnya manusia ada karena adanya atma yang lahir, dengan demikian atmalah yang menjadi sumber adanya manusia itu sesungguhnya.
Hal ini akan sesuai benar dengan pernyataan lontar-lontar Gong Wesi, Usana Dewa, tattwa kepatian dan Purwa bhumi kamulan. Lontar-lontar tersebut menyebutkan bahwa yang bersthana pada Sanggah Kamulan adalah Sanghyang Triatma atau tiga aspek dari atma itu sendiri.
Dalam lontar Usana Dewa disebutkan :
ring kamulan ngaran ida sang hyang atma, ring kamulan tengen bapa ngaran sang paratma, ring kamulan kiwa ibu ngaran sang sivatma,ring kamulan tengah ngaran raganya, tu brahma dadi meme bapa, meraga sang hyang tuduh.
Artinya:
Pada sanggah Kamulan beliau bergelar Sang Hyang Atma, pada ruang kamulan kanan ayah, namanya Sang Hyang Paratma. Pada kamulan kiri ibu, disebut Sivatma. Pada kamulan ruang tengah diri-Nya, itu Brahma, menjadi purusa pradana, berwujud Sang Hyang Tuduh (Tuhan yang menakdirkan).
Demikian juga lontar Gong Wesi, kita jumpai kutipan yang hampir sama dengan yang tersurat pada Usana Dewa.
Kutipannya adalah sebagai berikut :
ngaran ira sang atma ring kamulan tengen bapanta, nga, sang paratma, ring kamulan kiwa ibunta, nga, sang sivatma, ring kamulan madya raganta, atma dadi meme bapa ragane mantuk ring dalem dadi sanghyang tunggal, nungalang raga (Lontar Gong Wesi, lembar 4b).
Artinya : nama beliau sang atma, pada ruang kamulan kanan bapakmu, yaitu Sang Paratma, pada ruang kamulan kiri ibumu, yaitu Sang Sivatma, pada ruang kamulan tengah adalah menyatu menjadi Sanghyang Tunggal menyatukan wujud
Dari dua kutipan lontar di atas jelaslah bagi kita, bahwa yang bersthana pada sanggah kamulan itu adalah Sanghyang Triatma, yaitu; Paratma yang diidentikkan sebagai ayah (purusa), Sang Sivatma yang diidentikkan Ibu (predana) dan Sang Atma yang diidentikkan sebagai diri sendiri (roh individu). Yang hakekatnya Sanghyang Triatma itu tidak lain dari pada Brahma atau Hyang Tunggal/ Hyang Tuduh sebagai pencipta (upti).
Hyang Kamulan adalah Roh suci Leluhur
Dalam lontar Purwa Bhumi Kamulan disebutkan bahwa atma yang telah disucikan yang disebut Dewapitara, juga disthanakan di sanggah kamulan, seperti disebutkan :
riwus mangkana daksina pangadegan Sang Dewa Pitara, tinuntun akena maring sanggah kamulan, yan lanang unggahakena ring tengen, yan wadon unggahakena maring kiwa, irika mapisan lawan dewa hyangnya nguni (Purwa Bhumi kamulan, lembar: #).
Artinya: Setelah demikian daksina perwujudan roh suci dituntun pada Sang Hyang Kamulan, kalau bekas roh itu laki naikkan pada ruang kanan, kalau roh suci itu bekas perempuan dinaikkan di sebelah kiri, disana menyatu dengan leluhurnya terdahulu.
Dalam lontar Tatwa Kapatian disebutkan bahwa Sang Hyang atma (roh) setelah mengalami proses upacara akan bersthana pada sanggah kamulan sesuai dengan kadar kesucian atma itu sendiri. Atma yang masih belum suci, yang hanya baru mendapat “tirtha pangentas pendem” atau upacara sementara (ngurug) juga dapat tempat pada Sanggah Kamulan sampai tingkat “batur kamulan”, seperti disebutkan :
Mwah tingkahing wong mati mapendem, wenang mapangentas wau mapendem, phalanya polih lungguh Sang Atma munggwing batur kamulan (Rontal Tattwa Kapatian, 1a. 1b).
Artinya: Dan prihalnya orang mati yang ditanam, harus memakai tirtha pangentas baru diurug, hasilnya mendapatkan tempat Sang Atma pada Batur Kamulan
Dari kutipan-kutipan di atas jelaslah bagi kita bahwa Hyang Kamulan yang dipuja pada Sanggah Kamulan adalah juga roh suci leluhur, roh suci Ibu dan Bapak ke atas yang merupakan leluhur lencang umat yang telah menyatu dengan Sang Penciptanya, yang dalam lontar Gong Wesi/ Usana Dewa sebagai Hyang Tuduh atau Brahma, yang merupakan asal muasal adanya manusia di dunia ini.
Hyang Tri Murti Dewanya Sanghyang Tri Atma
Kalau kita renungkan lebih mendalam, tentang Sanghyang Tri Atma seperti disebutkan pada Gong Wesi dan Usana Dewa, maka pengertian Hyang Kamulan sesungguhnya akan lebih tinggi lagi. Karena telah disebutkan bahwa Penyatuan Sanghyang Tri Atma adalah Hyang Tuduh/Tunggal yang menjadi Brahma sebagai Sang Pencipta.
Di samping itu, ketiga tingkatan Sanghyang Tri Atma itu juga ditinjau dari segi filsafat Siwa Tattwa, maka “atma” adalah yang menjadikan hidup pada mahkluk. Sivatma adalah sumber atma di alam nyata (sekala) ini. Sedangkan Paratma adalah sumber atma (roh) di alam niskala. Ia adalah atma tertinggi. Ia adalah Tuhan menurut sistim yoga. Ia adalah identik dengan Paramasiva dalam Siva Tattwa. Dalam sistim wedanta ia adalah Tuhan Nirguna Brahma.
Dalam mantram “Sapta Omkaratma” disebutkan yang dimaksud dengan Tri Atma, adalah: Am, Atma dewanya Brahma, Antara atma dewanya Wisnu, dengan wijaksaranya Um, dan Paramatma dewanya adalah Iswara dengan wijaksaranya Mang. Ketiga dewa tersebut dalam sekte Siwa Sidhanta umum disebut Tri Murti. Ketiga dewa tersebut adalah merupakan roh alam semesta. Sebagai roh (atma) alam semesta ia adalah juga bergelar Tri Purusa atau Trilingga.
Sesungguhnya yang merupakan jiwa (atma) atau roh dari jagat kita ini termasuk mahkluk hidup utamanya manusia adalah beliau yang bergelar Tri Murti., Tri Purusa dengan wujud Trilingganya. Sebagai roh (atma) dengan sendirinya beliau itu adalah Ida Hyang Widhi, yang didalam penunggalan-Nya adalah Ida Hyang Widhi, yang di dalam lontar Usana Dewa dan Gong Wesi disebut Hyang Tuduh/ Tunggal atau Brahma sebagai pencipta alam dengan isinya termasuk manusia.
Siwa adalah Tuhan dalam dimensi imanen. Sadasiwa adalah Tuhan dalam dimensi sakala-niskala, sedangkan Paramasiwa adalah Tuhan dalam dimensi niskala.
Siwa dalam ketiga wujud di atas, dalam lontar Siwagama digelari Batara Guru, karena beliau (Siwa) menjadi “Dang Guru ing Iswara” di jagat kita ini. Konon gelar Batara Guru dihaturkan oleh murid Beliau terpandai yakni Dewa Surya, setelah Dewa Surya dianugerahi gelar Siwa Raditya oleh Siwa sendiri sebagai Dang Guru .
Oleh karena Siwa beraspek tiga, sebagai Tri purusa maka Guru pun ada tiga aspek pula, yakni Guru Purwam, Guru Madyam, Guru Rupam. Guru purwam, guru dalam dimensi niskala, Guru Madyam, guru dalam dimensi sakala-niskala, sedangkan Guru Rupam, adalah guru dalam dimensi sakala. Tri Guru, dalam mantram “ngaturang bakti ring kawitan” juga merupakan objek yang dipuja, seperti dinyatakan :
Om Guru Dewa Guru Rupam
Guru Madyam Guru Purwam
Guru Pantaram dewam
Guru Dewa Sudha nityam
Artinya: Om Guru Dewa, yaitu Guru Rupam (sakala), Guru Madya (sakala-niskala) dan Guru Purwa (niskala) adalah guru para dewa. Dewa Guru Suci selalu
Jadi melihat uraian dan kutipan mantra di atas, jelaslah bagi kita bahwa yang dipuja pada Sanggah Kamulan pada hakekatnya adalah Tuhan/ Hyang Widhi, baik sebagai Hyang Tri Atma, yang sebagai roh (atma) alam semesta dengan isinya (jagat) yang dewanya adalah Brahma, Wisnu dan Iswara, yang merupakan aspek Tuhan dalam bentuk horizontal dan Siwa, Sada Siwa, Parama Siwa, aspek Tuhan dalam bentuk vertikal (Tri Purusa). Sebagai Tri Purusa beliau juga disebut Guru Tiga. Oleh karenanya umum juga menyebutkan bahwa Sanggah Kemulan “sthana” Bhatara Guru/Hyang Guru.
Dengan demikian pengertian Kamulan atau Kawitan sesungguhnya mengandung pengertian yang sangat tinggi, yang merupakan asal muasal manusia yang tidak lain dari Ida Sang Hyang Widhi sendiri dengan semua manifestasinya.

Visit Our Sponsor
- Service Laptop / Smartphone Panggilan Denpasar 

Selasa, 21 Juli 2020

Fungsi Sanggah Kamulan

Setelah mengerti dan memahami Sanggah Kemulan, bagaimana sejarahnya dan apa saja yang dipuja pada sanggah kemulan pada artikel kali ini kita akan memahami fungsi sanggah kemulan
merajan
Photo: Koleksi pribadi. Merajan di Belitang II OKU TIMUR
  1. Tempat Pemujaan Ida Hyang Widdhi
    Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa pengertian Hyang Kamulan, adalah Sanghyang Tri Atma yang panunggalannya adalah Hyang Tuduh atau Hyang Tunggal. Sanghyang Tri Atma yakni : Atma, Sivatma dan Paratma adalah Tuhan, dalam manifestasinya sebagai Roh. Menurut sistim Yoga, Ia adalah identik dengan Tri Purusa (Siva, Sadasiva dan Paramasiva) menurut filsafat Siva Sidhanta dan sesuai pula dengan Brahma, Visnu, Isvara. Ia juga sesuai dengan fungsi Siva sebagai Guru. Oleh karenanya Hyang Kamulan adalah juga Bhatara Guru, yang berdimensi tiga pula, yaitu Guru Purwam (Paramasiva), Guru Madyam (Sadasiva) dan Guru Rupam (Siva). Jadi dengan demikian sesungguhnya yang dipuja pada Sanggah Kamulan adalah Ida Hyang Widhi dalam wujud sebagai Sanghyang Tri Atma, Sanghyang Tri Purusa (Bhatara Guru) dan Sanghyang Tri Murti.
  2. Tempat Memuja Leluhur
    Dalam lontar Purwabhumi kamulan dinyatakan bahwa Sanggah Kamulan adalah tempat Ngunggahang Dewapitara,
    ti kramaning anggunggahaken pitra ring kamulan (Rontal Purwabhumi Kamulan, lembar 53).
    Ngunggahang Dewapitara pada kamulan dimaksudkan adalah untuk “melinggihkan” atau mensthanakan” dewa pitara itu.
Yang dimaksud dengan dewa pitara adalah : roh leluhur yang telah suci, yang disucikan melalui proses upacara Pitra Yadnya, baik Sawa Wedana maupun Atma Wedana.
Ngunggahang Dewa Pitara pada Sanggah Kamulan adalah mengandung maksud mempersatukan dewa pitara (roh leluhur yang sudah suci) kepada sumbernya (Hyang Kamulan). Kalimat “irika mapisan lawan dewa Hyangnia nguni” mengandung pengertian bersatunya atma yang telah suci dengan sumbernya, yakni Sivatma (ibunta) dan Paratma (ayahta). Hal ini merupakan realisasi dari tujuan akhir Agama Hindu yakni mencapai moksa (penyatuan Atma dengan paratma).
Dari segi susila (aspek etika) ngunggahang Dewa Pitara pada Sanggah Kamulan, adalah bermaksud mengabdikan/melinggihkan roh leluhur yang telah suci pada Sanggah Kamulan untuk selalu akan dipuja, mohon doa restu dan perlindungan.

DAPATKAN PENGHASILAN TAMBAHAN MINIM RESIKO KLIK DISINI
Atma yang dapat diunggahkan pada Sanggah Kamulan adalah Atma yang telah disucikan melalui proses upacara Nyekah atau mamukur seperti dinyatakan dalam rontal :
iti kramaning ngunggahakan pitra ring kamulan, ring wusing anyekah kurung muah mamukur, ri tutug rwa wales, dinanya, sawulan pitung dinanya
Artinya: Ini perihalnya menaikkan dewa pitara pada Kamulan, setelah upacara nyekah atau mamukur, pada dua belas harinya, atau 42 harinya
Jadi upacara ngalinggihang Dewapitara adalah merupakan kelanjutan dari upacara nyekah atau mamukur itu. Tetapi karena pitara sudah mencapai tingkatan dewa, sehingga disebut Dewapitara, maka upacara ini tidak tergolong pitra yadnya lagi, melainkan tergolong Dewayadnya. Dari uraian di atas itu, jelaslah bagi kita, bahwa Sanggah Kamulan disamping untuk memuja Hyang Widhi, juga tempat memuja roh suci leluhur yang telah menunggal dengan sumbernya (Hyang Kamulan, atau Hyang Widdhi).

Visit Our Sponsor
- Service Laptop / Smartphone Panggilan Denpasar