Senin, 13 April 2020

RUNTUHNYA KERAJAAN KERTALANGU ARYA PINATIH


Sesudah satu bulan tujuh hari lamanya berselang kutukan dari Dukuh Pahang, datanglah ciri Kyai Anglurah Agung Pinatih Rsi didatangi semut tak terhitung banyaknya merebut, ada dari bawah, dari atas jatuh berkelompok-kelompok. Itu sebabnya merasa gundah hati Kyai Anglurah Agung Pinatih besereta para isteri, putra, cucu semuanya. 

Karena demikian keadaannya, kemudian diadakan pertemuan dengan sanak saudara semuanya, berencana akan berpindah dari Purian, menuju Pura Dalem Paninjoan. Sesampainya di sana, kemudian diberitahukan semua rakyatnya untuk membuat Taman dikitari dengan telaga, telaga itu dikelilingi dengan api, di tengahnya telaga barulah dibangun tempat peraduan. Namun masih saja dicari, direbut oleh semut, berbukit-bukit tingginya kemudian jatuh di tengahnya Taman itu.

Karena itu halnya, kembali Kyai Anglurah Agung Pinatih menyelenggarakan pertemuan, bertukar pikiran dengan saudaranya semua serta didampingi oleh rakyatnya. Semuanya merasa masgul, kemudian meninggalkan Pura Dalem Paninjoan, berpindah lalu berdiam di sebelah timur sungai, diiringi rakyatnya semua. Tentu saja Kyai Anglurah Agung Pinatih berpikir tentang kedigjayan sira Dukuh. Kemudian beliau merencanakan akan berpindah dari tempat itu, serta diberitahukan kepada balanya, siapa yang sanggup menjaga Pura Dalem itu, boleh tidak ikut mengiringkan Kyai Anglurah Pinatih. Kemudian segera matur anggota masyarakat beliau yang bernama Ki Bali Hamed, ia akan menuruti kehendak beliau untuk menjaga Pura Dalem itu.

Pada saat itu I Gusti Tembawu menyatakan tidak bisa mengikuti keinginan ayahandanya, demikian juga I Gusti Ngurah Kepandeyan, yang pernah berpaman dengan I Dukuh, dan karena memang tidak baik dalam hubungan bersanak saudara, karena sudah terlanjur bertempat tinggal di sana serta memperoleh kebaikan di wilayah Intaran. Usai sudah perbincangan yang diadakan, kemudian diputuskanlah hubungan pasidikaraan dengan I Gusti Tembawu dan I Gusti Kepandeyan.

Disebabkan karena masih juga diburu oleh semut, kembali beliau beralih tempat bersama menuju Geria milik Ida Peranda Gde Bandesa dan di tempat tinggal Ida Peranda Gde Wayan Abian, seperti para putranya semua, yang ada di Kerthalangu, ke Padanggalak, di sana Kyai Anglurah Agung Pinatih bertempat tinggal diiringi rakyatnya semua.




Penuh sesak di sana di pinggir Sungai Biaung. Di sana Kyai Anglurah Agung Pinatih menghaturkan rakyat 60 KK kepada Ida Peranda berdua. Ida Peranda berdua merasa senang hati mendapatkan warga itu, semua yang handal didapatkan oleh beliau Ida Peranda, yang bernama:

Ki Bandesa Kayu Putih, 
Ki Macan Gading, 
I Pasek Kayu Selem, semua bertempat tinggal di Tangtu. 

Di sana kemudian ada perjanjian Kyai Anglurah Agung Pinatih di hadapan Ida Peranda berdua, menyatakan sudah putus hubungan kekeluargaan dengan I Gusti Tembawu, sebab sudah berumah di I Mangku Dalem Tembawu.

Karena demikian yang didengar oleh I Mangku Dalem Tembawu lalu dibalaslah pernyataan Kyai Anglurah Agung Pinatih. Katanya : 
“Mudah-mudahanlah yang mambawa pusaka keris yang bernama I Brahmana serta tumbak yang bernama I Baru Gudug, pada saat menyelenggarakan upacara ala ataukah ayu, jika tidak ada I wong Tembawu, mudah-mudahan tidak berhasil upacara itu”.
Dibalas oleh Kyai Anglurah Agung Pinatih : 
“Mudah-mudahan I wong Tembawu itu kaya dengan pekerjaan”. 
Demikian pernyataan Kyai Anglurah Agung Pinatih. Kemudian I Gusti Tembawu dipakai menantu oleh I Mangku Dalem Tembawu.

Setelah itu Kyai Anglurah Agung Pinatih disertai oleh adiknya serta sanak saudaranya semua memohon kepada Ida Peranda berdua, akan membangun Panyiwian di ujung Desa Biaung, dinamai Pura Dalem Bangun Sakti, disungsung oleh rakyatnya yang ada di Biaung. Ida Peranda berdua dengan senang hati memberikan restu untuk hal itu. Di sana kemudian Ida Peranda berdia membuat:

Pura Dalem Kadewatan, 
Puser Tasik Batur dan 
Pura Kentel Gumi, untuk wilayah Padanggalak. Hentikan dahulu .

Diceriterakan kembali setelah beberapa lama Kyai Anglurah Agung Pinatih bertempat tinggal di Padanggalak, kembali direbut semut. Karena itu kembali beliau berpindah tempat menuju Alas Intaran – Mimba semuanya. 

Tidak berapa lama di sana, ada lagi cobaan dari Yang Maha Kuasa, ada ikan Aju datang dari tengahnya laut, semuanya terhempas ke pantai tidak terbilang banyaknya. Itu sebabnya kemudian orang di Intaran segera membuat tembok dengan pohon pepaya, diperintahkan oleh Kyai Anglurah Agung Pinatih. Memang merupakan cobaan dari Hyang Widhi, tembok itu ditubruk oleh ikan itu dihempas-hempas hingga rusak, itu sebabnya banyak bangkai ikan di tepi pantai sampai ke tengah hutan itu. Kemudian datanglah semut merebut bangkai ikan itu. Semakin banyak semut itu datang, serta ikan itu berulat, baunya sangat busuk. Itu sebabnya menjadi gundah orang di sana, dan kelak kemudian hari tempat itu dinamai Ajumenang.

Karena semuanya merasa gundah , merasa tidak tahan dengan bau ikan yang sangat busuk itu, banyak anggota masyarakat yang ada di Intaran berpindah ke sana ke mari mencari perladangan. Ada yang mencari tempat di Kepisah, ada di Pedungan, di Tegal, di Glogor Carik, di Seminyak, memohon diri kepada Kyai Anglurah Agung Pinatih.

Karena demikian keadaannya, semakin masygul hati Kyai Anglurah Agung Pinatih Rsi, serta menyesali diri, karena sudah terlanjur manyampaikan pernyataan tidak baik, tidak boleh berkata sumbar, sangat berbahaya dikatakan, dan hal itu sudah menjadi bukti, buahnya dipetik sekarang.

Singkat ceritera, Kyai Anglurah Agung Pinatih, kemudian memohon diri kepada Ida Peranda berdua, akan beralih tempat ke wilayah Blahbatuh semuanya dengan rakyatnya. Bagaikan bibit pepohonan yang besar yang ditimpa panas membara serta angin ribut rasanya, karena itu berpencar para putranya, juga saudaranya I Gusti Ngurah Anom Bang yang dipakai menantu oleh Ki Karang Buncing di Blahbatuh. Sejak saat itu putus pula hubungan pasidikara. I Gusti Blangsinga, pergi tanpa tujuan seraya membawa pusaka.




Entah berapa lama berdiam di Blahbatuh, kembali ada semut yang datang, kembali beralih tempat dari sana menuju desa Kapal. Di Kapal, karena tempat di sana sempit untuk orang banyak, sehingga bisa berjejal di sana, maka Kyai Anglurah Pinatih mengutus I Gusti Tembuku, I Gusti Putu Pahang serta I Gusti Jumpahi, untuk mencari tempat, yang kemudian pergi menuju ke arah timur, ditemuilah hutan perladangan yang cukup luas bernama Uruk Mangandang juga bernama Pucang Bolong. 

Prihal tempat itu dipermaklumkan kepada I Gusti Ngurah, kemudian tempat itu dijadikan puri. 
Setelah bertempat tinggal di sana kemudian membuat sthana Kawitan Merajan Geria Sakti serta Puri sampai kepada rakyatnya dibuatkan tempat tinggal. Sehingga beliau berdua dikelilingi oleh rakyat serta sanak saudaranya. Sesudah baik keadaan wilayah itu, sejak itu Uruk Mangandang disebut dengan desa Tulikup.

Diceriterakan kembali I Gusti Ngurah Anom Bang yang dipakai menantu oleh Ki Karang Buncing, diputuskan hubungan pasidikaraannya oleh keluarganya, namun masih kokoh kuat natad – membawa kalingan – keluhuran beliau, sebagai warga Pinatih, walaupun sudah dipatah – putuskan pasikaraannya. 

Setelah berputera, kemudian I Gusti Ngurah Bang beralih tempat ke desa Batubulan, putranya masih di Blahbatuh. 

I Gusti Bang mengambil isteri putri dari I Dewa Batusasih, mendapatkan putra:
I Gusti Putu Bun bertempat tinggal di Batubulan, I Gusti Made Bun pindah ke desa Lodtunduh,
I Gusti Putu Bija Karang pindah ke desa Lodtunduh,
I Gusti Bija Kareng mengungsi ke wilayah Peliatan, Krobokan
I Gusti Bawa serta I Gusti Bija bertempat tinggal di Dawuh Yeh serta Dangin We. 

Kemudian I Gusti Bawa pergi tanpa arah tujuan ke arah barat Er Uma membangun sanggar-kabuyutan yang bernama Pura Lung Atad. Ada juga sanak saudara beliau yang berpindah tempat menuju kawasan Gelgel, ada yang ke Karangasem berdiam di Bebandem. 

Ada ceriteranya putra Ki Arya Bang Pinatih yang bernama:

I Gusti Ketut Bija Natih 

I Gusti Ketut Bija Natih kemudian menurunkan:

Ketut Bija Natih, masih di wilayah Kerthalangu, menjadi pamangku di Dalem Kerthalangu, lalu ada yang berpindah ke arah selatan, ada di Bukit, ada di Jimbaran, di Ungasan serta Umadwi. Demikian ceritreranya dahulu.

Erntah berapa lama Kyai Anglurah Agung Pinatih Rsi memerintah di Puri Tulikup bersama adiknya, ternyata kemudian pecah persaudaraannya dengan adiknya Kyai Anglurah Made Sakti.

Diceriterakan Cokorda Panji di Nyalian berkeinginan untuk memperluas wilayahnya. 
Kemudian dia datang ke Uruk Mangandang mempermaklumkan sebagai utusan Dalem yang berkehendak agar Kyai Anglurah Pinatih menghadap kepada Dalem di Gelgel semuanya, diiringi oleh rakyat, para putrra dan cucu, karena ada hal penting yang hendak dititahkan oleh Ida Dalem.

Pada saat itu diadakan pertemuan dengan semua sanak saudara, yang terkemuka seperti antara sang kakak dan sang adik. Kesimpulan pertemuan itu, sang kakak akan melaksanakan perintah Dalem, namun sang adik tidak akan mengikuti permintaan Dalem. 
Saat itu berkata sang kakak Kyai Ngurah Gde Pinatih kepada adiknya Kyai Ngurah Made Sakti : 
“Bila adinda tidak akan mengikuti kanda, kakanda akan menghadap kepada Dalem, walaupun adinda memohon diri kepada kakanda, dan walaupun nanti adinda akan bertempat tinggal jauh, agar jangan sekali-kali lupa bersaudara di kelak kemudian hari”. 
Kemudian berkata adiknya : 
“Uduh, kakandaku, dinda menuruti kata-kata kanda”. 
Setelah usai pertemuan itu, kemudian dibagi dua milik beliau berdua seperti pusaka sampai dengan rakyat. Beliau sang kakak Kyai Anglurah Agung Pinatih membawa kris Ki Brahmana serta tumbak yang bernama Ki Baru Gudug. Adiknya Kyai Ngurah Made Sakti membawa segala perlengkapan pemujaan, seperti pasiwakaranaan serta pustaka.




Sesudah itu, karena Kyai Anglurah Agung Pinatih masih sangat hormat dan bhakti kepada Ida Dalem, maka sekalian bersama-sama pergi menuju Puri Suwecapura diiringi oleh sanak saudara serta rakyatnya. Kyai Anglurah Made Sakti, kemudian menuju arah barat, diikuti juga anak-saudara, cucu semuanya serta rakyat, dan tidak diceriterakan di perjalanan, akhirnya sampai di Jenggalabija. 
Pada saat itu paman beliau I Gusti Gde Tembuku kemudian pindah dari Tulikup menuju Buruan, terus ke Peliatan, dan berdiam di Tebesaya.

Juga diceriterakan prihal para putra Arya Bang Pinatih yang lain seperti I Gusti Made Pahang di Tulikup memiliki putra:

I Gusti Putu Pahang pindah dari desa Tulikup menuju desa yang kemudian bernama Jagapati, 
I Gusti Made Pahang masih bertempat tinggal di Tulikup, 
I Gusti Nyoman Pahang kembali ke wilayah Pahang, 
I Gusti Ngurah Ketut Pahang pindah ke desa Selat. 
I Gusti Kaja Kauh pindah menuju wilayah Bebalang, Bangli disambut di sana oleh sanak saudara dari Arya Bang Wayabiya.

Di Tulikup, para putra Ki Arya Bang Pinatih menguasai tempat dan kemudian membangun sthana Pamerajan masing-masing, seperti para putra:

I Gusti Bona, 
I Gusti Benculuk, 
I Gusti Sampalan, 
I Gusti Pandak, 
I Gusti Nangun, 
I Gusti Berasan, 
I Gusti Meranggi, 
I Gusti Sayan, 
I Gusti Bedulu, 
I Gusti Gunung, 
I Gusti Kandel dan 
 I Gusti Kutri.

Kemudian ada juga yang bertampat tinggal di Kembengan, Juga masing-masing membangun Pamerajan yakni:

I Gusti Tegal, 
I Gusti Sukawati, 
I Gusti Arak Api, 
I Gusti Julingan putra I Gusti Kandel, 
I Gusti Kembengan, 
I Gusti Manggis, 
I Gusti Pelagaan. 

.Ada lagi yang mengungsi ke wilayah Siut, bernama:

I Gusti Nyoman Natih, putranya berdiam di Banjar Bias, ada di Karang Dadi serta di Gerombongan.

Kembali diceriterakan kedatangan Ida Kyai Anglurah Pinatih di hadapan Dalem kemudian mempermaklumkan prihal kedatangan Cokorda Panji dari Nyalian. 
Ida Dalem berkata bahwa tidak sekali-kali memerintahkan Kyai Anglurah Agung Pinatih agar datang menghadap, sehingga disimpulkan bahwa hal itui merupakan tipu muslihat Cokorda Panji, agar Kyai Anglurah Agung Pinatih meninggalkan wilayah Uruk Mangandang. 

Lama beliau berdiam, berpikir, dan mungkin sudah ada dalam pikiran beliau, dan agar tidak menjadi bibit yang tidak baik, agar tetap bhakti masing-masing sejak dahului kala. Sejak berkuasanya leluhur Dalem dahulu – sejak pemerintahan Ida Dalem Kresna Kepakisan, Kriyan Pinatih memang disayang di Puri menjabat sebagai Demung. Kemudian Ida Dalem berkeinginan memenuhi keinginan kedua belah pihak : Cokorda Panji ingin memperluas wilayahnya agar memperoleh rahayu; Kyai Pinatih juga agar tetap bhaktinya seperti yang dilakukan para leluhurnya yakni para Kriyan Pinatih yang sudah wafat, juga agar mendapatkan keselamatan. Kyai Anglurah Pinatih kemudian diminta untuk sementara tinggal di Puri Agung, tidak diperkenankan kembali ke Tulikup, diminta untuk mendampingi beliau Ida Dalem.




Diceriterakan tidak lama Cokorda Nyalian memegang wilayah Tulikup kemudian diserang oleh raja Gianyar.
Singkat ceritera, Ida Dalem mengadakan utusan untuk mencari tempat tinggal bagi Kyai Pinatih, di perbatasan wilayah Klungkung dan Karangasem bernama Bukit Mekar. 

Walaupun tempat itu sempit, atas perintah Dalem, Ida I Gusti Anglurah Agung Pinatih Rsi kemudian bertempat tinggal di sana diiringi oleh putra sanak saudara. Rakyat semuanya mengiringi. Tempat itu kemudian diberi nama desa Sulang

Sedatang di Bukit Mekar, beliau pertama kali mengukur tempat untuk Pamerajan, tempat Puri, mengukur tempat untuk Kahyangan Tiga serta tempat kuburan dan rumah tempat tinggal rakyatnya semua.

Setelah sesak di Bukit Mekar, diberikan lagi tempat di perbatasan Klungkung dan Karangasem yang bernama Tegal Ening, dekat dengan desa Lebu-Cegeng di tepi Sungai Unda yang sudah dikuasai I Gusti Dauh di Talibeng. 
Di sana rakyat Kriyan Pinatih ada sebagian membangun rumah serta panyungsungan Puseh – Bale Agung, wilayah itu kemudian dinamai Banjar Mincidan. 
Penuh sesak di banjar Mincidan, kemudian diberi tempat lagi di tepi Sungai Unda yang bernama Tegal Genuk, yang kemudian diberi nama Banjar Gerombongan. 
Dari Banjar Gerombongan, karena sesak diberikan tempat di perbatasan Semara Pura tepi selatan, tempat warga Pande yang diajak dari Madura, tempat itu bernama Banjar Galiran. 
Dari Banjar Galiran, karena sesak, diberikan lagi tempat di Kusamba, dekat dengan Banjar Sangging, kemudian ada yang berada di pesisir pantai Kusamba yang bernama Karang Dadi.

Kemudian ada diceriteraklan para putra Ki Arya Bang Pinatih yang kemudian mengikuti penuanya. Berkeinginan untuk menghadap ke Puri Dalem lalu berdiam di Banjarangkan, serta membuat panyawangan kawitan diberi nama Pura Lung Atad. 
Kemudian ada yang beralih mencari tempat di tepi Sungai Bubuh bernama tempat itu Basang Alu, membangun Pamerajan diberi nama menurut nama masing-masing. Pura di Lung Atad dituntun ke Basang Alu, berganti nama menjadi Pura Sari Bang.

Diceriterakan lagi I Gusti Jimbaran pindah dari Tulikup menuju desa Getakan, berdiam di sana disayang oleh Cokorda Bakas. Inggih Demikian,, hentikan dahulu keadaan para putra yang terpencar tempat tinggalnya.

Sumber: FB suara Kesiman 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar