Senin, 13 April 2020

MAKNA DAN FUNGSI-FUNGSI PELANGKIRAN

Mengetahui Makna dan Fungsi-Fungsi Pelangkiran

Dalam Hindu Khususnya di Bali ada yang disebut pelangkiran. Pelangkiran berasal dari kata “langkir” artinya tempat memuja. Pelangkiran merupakan niyasa yang bersifat umum dan tergantung dari letaknya serta tujuan pemuja untuk menstanakan Bhatara / Dewa siapa yang ingin dipuja.

Fungsi Pelangkiran

Pelangkiran mempunyai banyak fungsi sesuati dengan kondisi dan tempatnya. Yaitu sebagai berikut:
  1. Untuk anak yang baru lahir sampai diupacarai 3 bulan, maka dibuatkan pelangkiran dari ulatan lidi/ ibus yang dinamakan berbentuk bulat, digantungkan di atas tempat tidur bayi. Itu adalah stana Sanghyang Kumara, putra Bhatara Siwa yang ditugasi ngemban para bayi.
  2. Setelah upacara 3 bulanan sampai terus dewasa – tua, pelangkiran diganti dengan bentuk yang dipakukan ke tembok. Ini pelinggih Kanda-Pat (bukan Hyang Kumara lagi)
  3. Di dapur, stana untuk Bhatara Brahma
  4. Sumur/jeding/kran air, untuk Bhatara Wisnu
  5. Di pasar tempat berjualan, untuk Bhatari Dewa Ayu Melanting
  6. Di Warung / Toko / Tempat Usaha, stana untuk Bhatara Sri Sedana sebagai pemberi kemakmuran kepada setiap umat manusia.
  7. Di kantor, untuk Bhagawan Panyarikan atau Dewi Saraswati.
Beberapa hal penting yang perlu kita ketahui tentang pelangkiran yaitu:
  1. Dalam penempatan pelangkiran di dalam rumah yang tidak boleh dilupakan ialah diperlukan ada pelangkiran di setiap kamar tidur (bagian kepala) untuk linggih ‘kanda-pat’,sedangkan untuk stana Sanghyang Kumara bagi bayi yang belum upacara 3 bulan, pelangkiran dari anyaman bambu. Dan pelangkiran juga di dapur untuk linggih Bhatara Brahma dan Bhatara Wisnu, ditempatkan ‘pulu’ berisi beras segenggam. Di pelangkiran itu perlu diisi ‘pejati’, yakni banten tegteg, daksina, peras, ajuman.
  2. Setiap purnama pejati ini diganti dengan yang baru. Setiap hari ‘ngejot’ atau maturan di pelangkiran-pelangkiran itu dengan canang sari berisi masakan hari itu, cukup dengan sesontengan memakai bahasa biasa saja, tidak usah pakai mantram.Tirta untuk mebanten ‘saiban’ itu minta di geria-geria, yaitu tirta pelukatan. Tirta itu bisa disimpan untuk keperluan sebulan atau lebih.
  3. Saat tilem yang dihatukarn adalah  pejati (tegteg daksidna peras ajuman) sama seperti purnama tapi di bawah pelakiran diisikan segehan nasi manca warna
  4. Jika ingin melinggihkan patung Dewa Siwa di pelangkiran kamar menurut Bhagawan Dwija boleh boleh saja akan tetapi  terlalu berlebihan, karena Dewa Siwa adalah niyasa Tuhan (Sanghyang Widhi) mestinya distanakan di lingkungan yang lebih sakral/suci. Bukan di pelangkiran kamar tidur yang mungkin digunakan untuk hal-hal khusus.
  5. Jika merantau dan ingin tetap selalu memuja Ida Sang Hyang Widhi letakkanlah pelangkiran diruangan khusus yang tidak dipergunakan untuk tidur. Karena seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya di kamar tidur untuk stana Kanda Pat.
Apakah merupakan keharusan meletakkan pelangkiran di dalam kamar? mungkin itu akan menjadi salah satu pertanyaan dari semeton. Dalam lontar “Aji Maya Sandhi” disebutkan ketika manusia sedang tidur maka Kanda Pat itu keluar dari tubuh manusia dan bergentayangan, ada yang duduk di dada, di perut, di tangan dsb. sehingga mengganggu tidur manusia; oleh karena itu perlu dibuatkan pelangkiran untuk stananya agar mereka dapat melaksanakan tugas sebagai “penunggu urip“.
Jadi tentunya dengan meletakkan pelangkiran di dalam kamar, maka niscaya dalam tidur akan terasa lebih nyenyak karena sudah ada yang menjaga dari segala bentuk gangguan roh jahat.
sumber:sitidharma.org,sejarahharirayahindu.blogspot.com,pasektangkas.blogspot.com
Visit Our Sponsor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar