Kamis, 30 April 2020

MENGENAL LEBIH DALAM MAKNA TUMPEK WAYANG

Mengenal Lebih Dalam Makna Tumpek Wayang

Tumpek Wayang merupakan salah satu hari raya suci Umat Hindu yang dirayakan setiap 6 bulan sekali. Tumpek Wayang adalah manifestasinya Dewa Iswara yang berfungsi untuk menerangi kegelapan, memberikan pencerahan ke hidupan di dunia serta mampu membangkitkan daya seni dan keindahan.Dimana tumpek terdiri dari dua suku kata tum dan pek, tum artinya kesucianya dan pek artinya putus atau terakhir. Jadi tumpek adalah hari suci yang jatuh pada penghujung akhir Saptawara dan pancawara seperti Saniscara Kliwon Wayang disebutlah Tumpek wayang.
Tumpek Wayang merupakan cerminan dimana dunia yang diliputi dengan kegelapan, manusia oleh kebodohan, keangkuhan, keangkara murkaan, oleh sebab itu Siwa pun mengutus Sangyang Samirana turun ke dunia untuk memberikan kekuatan kepada manusia yang nantinya sebagai mediator di dalam menjalankan aktifitasnya.
Di Bali pada khususnya ada sebuah cerita yang mengatakan bahwa jika ada anak yang lahir bertepatan pada wuku Wayang yaitu hari yang dianggap keramat, warga Bali meyakini bahwa yang dilahirkan pada hari tersebut patutlah diupacarai lukatan (ruwatan) besar yang disebut Sapuh Leger. Bagi anak yang diupacarai lahir bertepatan dengan waktu itu dimaksudkan supaya ia terhindar dari gangguan (buruan) Dewa Kala.
Menurut lontar Sapuh Leger dan Dewa Kala, Batara Siwa memberi izin kepada Dewa Kala untuk memangsa anak/orang yang dilahirkan pada wuku Wayang (cf. Gedong Kirtya, Va. 645). Atas dasar isi lontar tersebut, apabila diantara anaknya ada yang dilahirkan pada wuku Wayang, demi keselamatan anaknya itu, semeton Bali berusaha mengupacarainya dengan didahului mementaskan Wayang Sapuh Leger berikut aparatusnya dipersiapkan jauh lebih banyak (berat) dari perlengkapan sesajen jenis wayang lainnya.
Tumpek Wayang juga bermakna ”hari kesenian” karena hari itu secara ritual diupacarai (kelahiran) berbagai jenis kesenian seperti wayang, barong, rangda, topeng, dan segala jenis gamelan. Aktivitas ritual tersebut sebagai bentuk rasa syukur terhadap Sang Hyang Taksu sering disimboliskan dengan upacara kesenian wayang kulit, karena ia mengandung berbagai unsur seni atau teater total. Dalam kesenian ini, semua eksistensi dan esensi kesenian sudah tercakup.

Visit Our Sponsor

Rabu, 29 April 2020

DOA SEHARI-HARI DALAM HINDU YANG PERLU DIKETAHUI

dewa tri murti

Kehidupan adalah sebuah anugerah yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia sebagai salah satu ciptaan-Nya. Sebagai makhluk ciptaan-Nya paling tinggi tentu setiap manusia mempunyai pegangan(keyakinan) dalam menjalani kehidupan.
Dalam setiap agama tentu saja mempunyai doa-doa yang berbeda sesuai dengan keyakinan masing-masing. Kali ini inputbali akan membahas tentang doa sehari hari dalam Agama Hindu. Karena di Bali sendiri, yang mayoritas penduduknya adalah Hindu.Pengetahuan dan wawasan dalam doa sehari-sehari bisa dikatakan belum cukup merata diketahui pada setiap kalangan. Baik itu kalangan muda ataupun yang sudah berumur.

Pentingkah doa dalam aktifitas sehari-hari?

Tentu saja, karena dengan berdoa akan selalu mengingatkan kita akan keberadaan Tuhan dan memohon perlindungan-Nya, serta mengingatkan kita akan syukur dari segala aspek atas segala cobaan dan nikmat yang Tuhan selalu berikan kepada kita.

Berikut adalah doa sehari sehari dalam Hindu.

1.Pada waktu bangun pagi
Om, Utedanim bhagavantah syamota prapitva uta madhye ahnam, utodinau madhvantan tsuryasya vayam devanam sumantausyama.(Atharva Veda III.16.4)
Artinya : “Ya Tuhan Yang Maha Pemurah! Jadikanlah kami selalu bernasib baik pada pagi hari ini, menjelang tengah hari, apalagi matahari tepat di tengah-tengah dan seterusnya. Semoga para Dewa berkenaan menganugharkan rakhmat-Nya kepada kami“.

2. Pada waktu makan
a.  Doa Menjelang makan
Om Ang kang kasol kaya isana ya namah, svasti-svasti sarva deva bhuta sukha, pradhana purusa sang yoga ya namah.
Artinya : Ya Hyang Widhi, yang bergelar Isana, hamba persembahkan seluruh makanan ini kehadapan-Mu, semoga semua makhluk berbahagia.
b. Doa Mulai Makan
Om Anugraha Amertadi sanjivani ya namah svaha.
Artinya : Ya Hyang Widhi, semoga makanan ini menjadi penghidupan hamba lahir bathin yang suci.
c. Doa Selesai Makan
Om Dhirgayur astu, avighnam astu subham astu Om Sriyam bhavantu, purnam bhavantu, ksama sampurna ya namah svaha.
Artinya : Ya Hyang Widhi, semoga makanan yang telah masuk ke dalam badan hamba memberi kekuatan, keselamatan, panjang umur dan tak kena halngan apapun. Demikian pula agar hamba mendapatkan kebahagiaan dan suka cita dengan sempurna.
3. Sebelum memulai pekerjaan atau kegiatan
Om Avighnam astu namasiddham.
Artinya : Ya Tuhan semoga tiada halangan dan berhasil.
4. Mohon perlindungan
Om Apasyam gopam anipadyamanam a ca para ca prthibhih carantam sa sadhricih sa visucir vasana.
Artinya : Ya Tuhan! hamba memandang Engkau Maha Pelindung, yang terus bergerak tanpa berhenti, maju dan mundur di atas bumi. Ia yang mengenakan hiasan yang serba meriah, muncul dan mengembara terus bersama bumi ini.
5. Doa Memulai Sesuatu Kegiatan
Om Avighnam astu namo sidham Om Sidhirastu tad astu astu svaha.
Artinya : Ya Hyang Widhi, semoga atas perkenan-Mu tiada suatu halangan bagi kami memulai pekerjaan (kegiatan) ini dan semoga sukses.
6. Doa Memohon Kesehatan
Om Vata a vatu bhesajam sambhu majobhu no hrde, pra na ayumsi tarisat.
(Rg Veda X.1986.1)
Artinya : Ya hyang Widhi, semoga Wayu menghembuskan angin sejuk-Nya kepada kami. Wayu yang memberikan kesehatan dan kesejahteraan kepada kami. Semoga Ia memberikan umur panjang kepada kami.
7.Doa Memulai Belajar
Om Agne naya supatha raye asman visvani deva vayunani vidvan, yuyodhyasmaj juhuranam eno bhuyistam te namauktim vidhema.
(Rg Veda I.189.1)
Artinya : Ya Hyang Widhi (Hyang Agni), tunjukkanlah kepada kami jalan yang benar untuk mencapai kesejahteraan; Hyang Widhi yang mengetahui semua kewajiban, lenyapkanlah dosa kami yang menyengsarakan kami. kami memuja Engkau
8. Doa Sebelum Tidur
Om Yajjagrato duram udaiti daivam tad u suptasya tatha iva iti, durangamam jyotisam jyotir ekam tanme manah siva samkalpam astu.
(Yajur Veda XXXIV.1)
Artinya : Ya hyang Widhi, Engkau nampak jauh dari orang yang tidur, nampak jauh dari orang yang terjaga. Engkau sinar utama, yang nampak jauh itu, semoga pikiran kami senantiasa mengarah kepada Engkau, yang baik itu.

Visit Our Sponsor

Selasa, 28 April 2020

ARTI DAN MAKNA DAKSINA DI BALI

daksina

Daksina merupakan tapakan dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa , dalam berbagai manifestasi-Nya dan juga merupakan perwujudan-Nya. Daksina mempunyai beberapa fungsi atau tujuan yaitu sebagai berikut:
  • Permohonan kehadapan Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa agar Beliau berkenan melimpahkan wara nugrahaNya sehingga mendapat keselamatan.
  • Sebagai persembahan atau tanda terima kasih yang dalam “Yadnya Patni”, disebutkan daksina selalu menyertai banten-banten yang agak besar dan sebagainya perwujudan atau pertapakan.
  • Dalam lontar Yadnya Prakerti disebutkan bahwa Daksina melambangkanHyang Guru / Hyang Tunggal

Unsur-Unsur Daksina

Dalam daksina dibuat dari berbagai unsur yang mempunya maknanya masing-masing, yaitu sebagai berikut:
  1. Alas bedogan/srembeng/wakul/katung, terbuat dari janur/slepan yang bentuknya bulat dan sedikit panjang serta ada batas pinggirnya. Alas Bedogan ini lambang pertiwi unsur yang dapat dilihat dengan jelas.
  2. Bedogan/ srembeng/wakul/katung/ srobong daksina, terbuat dari janur/slepan yang dibuta melinkar dan tinggi, seukuran dengan alas wakul. Bedogan bagian tengah ini adalah lambang Akasa yang tanpa tepi. Srembeng daksina juga merupakan lambang dari hukum Rta ( Hukum Abadi tuhan )
  3. Tampak, dibuat dari dua potongan janur lalu dijahit sehinga membentuk tanda tambah. Tampak adalah lambang keseimbangan baik makrokosmos maupun mikrokosmos. tampak juga melambangkan swastika, yang artinya semoga dalam keadaan baik.
  4. Beras, yang merupakan makanan pokok melambang dari hasil bumi yang menjadi sumber penghidupan manusia di dunia ini. Hyang Tri Murti (Brahma, Visnu, Siva)
  5. Sirih temple / Porosan, terbuat dari daun sirih (hijau – wisnu), kapur (putih – siwa) dan pinang (merah – brahma) diikat sedemikian rupa sehingga menjadi satu, porosan adalah lambang pemujaan.
  6. Kelapa, adalah buah serbaguna, yang juga simbol Pawitra (air keabadian/amertha) atau lambang alam semesta yang terdiri dari tujuh lapisan (sapta loka dan sapta patala) karena ternyata kelapa memiliki tujuh lapisan ke dalam dan tujuh lapisan ke luar. Air sebagai lambang Mahatala, Isi lembutnya lambang Talatala, isinya lambang tala, lapisan pada isinya lambang Antala, lapisan isi yang keras lambang sutala, lapisan tipis paling dalam lambang Nitala, batoknya lambang Patala. Sedangkan lambang Sapta Loka pada kelapa yaitu: Bulu batok kelapa sebagai lambang Bhur loka, Serat saluran sebagailambang Bhuvah loka, Serat serabut basah lambang svah loka, Serabut basah lambanag Maha loka, serabut kering lambang Jnana loka, kulit serat kering lambang Tapa loka, Kulit kering sebagai lamanag Satya loka Kelapa dikupas dibersihkan hingga kelihatan batoknya dengan maksud karena Bhuana Agung sthana Hyang Widhi tentunya harus bersih dari unsur-unsur gejolak indria yang mengikat dan serabut kelapa adalah lambang pe ngikat indria.
  7. Telor Itik, dibungkus dengan ketupat telor, adalah lambang awal kehidupan/ getar-getar kehidupan , lambang Bhuana Alit yang menghuni bumi ini, karena pada telor terdiri dari tiga lapisan, yaitu Kuning Telor/Sari lambang Antah karana sarira, Putih Telor lambang Suksma Sarira, dan Kulit telor adalah lambang Sthula sarira. dipakai telur itik karena itik dianggap suci, bisa memilih makanan, sangat rukun dan dapat menyesuaikan hidupnya (di darat, air dan bahkan terbang bila perlu)
  8. Pisang, Tebu dan Kojong, adalah simbol manusia yang menghuni bumi sebagai bagian dari ala mini. Idialnya manusia penghuni bumi ini hidup dengan Tri kaya Parisudhanya. Dalam tetandingan Pisang melambangkan jari, Tebu belambangkan tulang.
  9. Buah Kemiri, adalah sibol Purusa / Kejiwaan / Laki-laki, dari segi warna putih (ketulusan)
  10. Buah kluwek/Pangi, lambang pradhana / kebendaan / perempuan, dari segi warna merah (kekuatan). Dalam tetandingan melambangkan dagu.
  11. Gegantusan, merupakan perpaduan dari isi daratan dan lautan, yang terbuat dari kacang-kacangan, bumbu-bumbuan, garam dan ikan teri yang dibungkus dengan kraras/daun pisang tua adalah lambang sad rasa dan lambang kemakmuran.
  12. Papeselan, terbuat dari lima jenis dedaunan yang diikat menjadi satu adalah lambang Panca Devata; daun duku lambang Isvara, daun manggis lambang Brahma, daun durian / langsat / ceroring lambang Mahadeva, daun salak / mangga lambang Visnu, daun nangka atau timbul lamban Siva. Papeselan juga merupakan lambang kerjasama (Tri Hita Karana).
  13. Bija ratus adalah campuran dari 5 jenis biji-bijian, diantaranya, godem (hitam – wisnu), Jawa (putih – iswara), Jagung Nasi (merah – brahma), Jagung Biasa (kuning – mahadewa) dan Jali-jali (Brumbun – siwa). kesemuanya itu dibungkus dengan kraras (daun pisang tua).
  14. Benang Tukelan, adalah alat pengikat simbol dari naga Anantabhoga dan naga Basuki dan naga Taksaka dalam proses pemutaran Mandara Giri di Kserarnava untuk mendapatkan Tirtha Amertha dan juga simbolis dari penghubung antara Jivatman yang tidak akan berakhir sampai terjadinya Pralina. Sebelum Pralina Atman yang berasal dari Paramatman akan terus menerus mengalami penjelmaan yang berulang-ulang sebelum mencapai Moksa. Dan semuanya akan kembali pada Hyang Widhi kalau sudah Pralina. dalam tetandingan dipergunakan sebagai lambing usus/perut.
  15. Uang Kepeng, adalah alat penebus segala kekurangan sebagai sarining manah. uang juga lambang dari Deva Brahma yang merupakan inti kekuatan untuk menciptakan hidup dan sumber kehidupan.
  16. Sesari, sebagai labang saripati dari karma atau pekerjaan (Dana Paramitha)
  17. Sampyan Payasan, terbuat dari janur dibuat menyerupai segi tiga, lambang dari Tri Kona; Utpeti, Sthiti dan Pralina.
  18. Sampyan pusung, terbuat dari janur dibentuk sehingga menyerupai pusungan rambut, sesunggunya tujuan akhir manusia adalah Brahman dan pusungan itu simbol pengerucutan dari indria-indria

Jenis-Jenis Daksina

Daksina juga terdiri dari beberapa jenis, yang mempunyai maksud dan tujuan yang berbeda. Yaitu sebagai berikut:
Daksina Alit
Isinya adalah satu porsi dari masing- masing unsur, banyak sekali dipergunakan, baik sebagai pelengkap banten yang lain, maupun berdiri sendiri sebagai banten tunggal.
Daksina Pekala-kalaan
Isi daksina dilipatkan dua kali dengan ditambah dua tingkih dan dua pangi. Digunakan pada waktu ada perkawinan dan untuk upacara bayi / membuat peminyak-penyepihan.
Daksina Krepa
Daksina yang isinya dilipatkan tiga kali. Kegunaannya lebih jarang, kecuali ada penebusan oton / menurut petunjuk rohaniwan atau sesuai petunjuk lontar khusus misalnya guna penebusan oton atau mebaya oton.
Daksina Gede atau
Daksina Galakan atau
Pemopog
Isinya dilipatkan 5 (lima) kali, juga dilengkapi dengan tetandingan-tetandingan yang lain yaitu:
Dasar tempat daksina sebuah sok yang berisi srobong dan pada dasarnya diberi tetampak taledan bundar. Masukkan :
  • 5 x coblong beras
  • 5 butir kelapa yang di atasnya berisi benang putih tukelan kecil
  • 5 kojong tampelan letakkan berkeliling
  • 5 kojong pesel-peselan
  • 5 kojong gegantusan
  • 5 kojong tebu
  • 5 kojong pisang
  • 1 cepér berisi 5 buah pangi
  • 5 buah kemiri (tingkih)
  • 1 cepér berisi 5 butir telur bébék
    Sampiyannya : bas̩ ambungan (kekojong dari janur berisi bas̩ lembaran dan sampiyan sreyok Рlihat gambar sebelah)

Senin, 27 April 2020

FILOSOFI DAN ARTI DARI UNSUR PENJOR SAAT GALUNGAN

-- Om, Swastiasu, Om. Jika bermanfaat silahkan dishare.
Kata Penjor tentu sudah terdengar tidak asing lagi. Biasanya penjor banyak dapat ditemui di Bali ketika hari raya Galungan & Kuningan serta odalan-odalan di Pura. Penjor adalah simbol dari naga basukih, dimana Basukih berarti kesejahteraan dan kemakmuran. Selain itu penjor juga merupakan simbul Gunung yang memberikan keselamatan dan kesejahteraan. Umat hindu khususnya di Bali biasanya ketika menyambut Hari Raya Galungan memasang penjor pada Hari Selasa Anggara warawuku Dungulan (Penampahan Galungan).
Penjor berasal dari kata Penjor, yang berarti Pengajum, atau Pengastawa, kalau dihilangkan huruf “ny” , menjadi kata benda yaitu Penyor yang berarti sebagai sarana untuk melaksanakan Pengastawa.
Bahan dari penjor sebatang bambu yang ujungnya melengkung, dihiasi dengan janur/daun enau yang muda serta daun-daunan lainnya (plawa). Perlengkapan penjor Pala bungkah (umbi-umbian seperti ketela rambat), Pala Gantung (misalnya kelapa, mentimun, pisang, nanas dll), Pala Wija (seperti jagung, padi dll), jajan, serta sanggah Ardha Candra lengkap dengan sesajennya. Pada ujung penjor digantungkan sampiyan penjor lengkap dengan porosan dan bunga. Sanggah Penjor mempergunakan Sanggah Ardha Candra yang dibuat dari bambu, dengan bentuk dasar persegi empat dan atapnya melengkung setengah lingkaran sehingga bentuknya menyerupai bentuk bulan sabit atau segi tiga.
Memasang Penjor bertujuan untuk mewujudkan rasa bakti dan sebagai ungkapan terima kasih kita atas kemakmuran yang diberikan oleh Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan). Bambu yang melengkung adalah gambaran dari gunung tertinggi sebagai tempat yang suci, hiasan Penjor yang terdiri dari kelapa, pisang, tebu, jajan, dan kain adalah wakil dari semua tumbuh-tumbuhan dan benda sandang pangan, yang dikaruniai oleh Hyang Widhi Wasa (Tuhan).
Keberadaan bahan-bahan pembuat penjor tersebut tentu memiliki arti dan filosofinya masing-masing. Berdasarkan lontar Tutur Dewi Tapini menyebutkan :
"Ndah Ta Kita Sang Sujana Sujani, Sira Umara Yadnva, Wruha Kiteng Rumuhun, Rikedaden Dewa, Bhuta Umungguhi Ritekapi Yadnya, Dewa Mekabehan Menadya Saraning Jagat Apang Saking Dewa Mantuk Ring Widhi, Widhi Widana Ngaran Apan Sang Hyang Tri Purusa Meraga Sedaging Jagat Rat, Bhuwana Kabeh, Hyang Siwa Meraga Candra, Hyang Sadha Siwa Meraga “Windhune”, Sang Hyang Parama Siwa Nadha"
rtinya : Wahai kamu orang-orang bijaksana, yang menyelenggarakan yadnya, agar kalian mengerti proses menjadi kedewataan, maka dari itu sang Bhuta menjadi tempat/tatakan/dasar dari yadnya itu, kemudian semua Dewa menjadi sarinya dari jagat raya, agar dari dewa semua kembali kepada hyang widhi, widhi widhana (ritualnya) bertujuan agar sang Tri Purusa menjadi isi dari jagat raya, Hyang Siwa menjadi Bulan, Hyang Sadha Siwa menjadi windu (titik O), sang hyang parama siwa menjadi nadha (kecek), yang mana kesemuanya ini merupakan simbol dari Ong Kara.
Penjor galungan bersifat religius, yang mempunyai fungsi tertentu dalam upacara keagamaan,dan wajib di buat lengkap dengan kelengkapannya, membuat penjor untuk upacara memerlukan syarat tertentu, dan sesuai dengan Sastra Agama, agar tidak berkesan sebagai hiasan saja. Di dalam lontar Tutur Dewi Tapini juga telah disebutkan bahwa setiap unsur pada penjor melambangkan simbol-simbol suci, yaitu sebagai berikut :
- Bambu (dan kue) sebagai vibrasi kekuatan Dewa Brahma
- Kelapa sebagai simbol vibrasi Dewa Rudra
- Kain Kuning dan Janur sebagai simbol vibrasi Dewa Mahadewa
- Daun-daunan (plawa) sebagai simbol vibrasi Dewa Sangkara.
- Pala bungkah dan pala gantung sebagai simbol vibrasi Dewa - Wisnu.
- Tebu sebagai simbol vibrasi Dewa Sambu.
- Padi sebagai simbol vibrasi Dewi Sri
- Kain putih sebagai simbol vibrasi Dewa Iswara..
- Sanggah sebagai simbol vibrasi Dewa Siwa.
- Upakara sebagai simbol vibrasi Dewa Sadha Siwa dan Parama Siwa.

BENARKAH TIDAK MEMBOLEH MEMBACA PADA HARI SARASWATI?

Dewi Saraswati

Hari Raya Saraswati adalah perayaan hari diturunkannya ilmu pengetahuan (vidya) dan Tuhan Yang Maha Esa melalui sinar suci-Nya Dewi Saraswati.  Hari raya Saraswati diperingati setiap enam bulan sekali, tepatnya pada hari Saniscara Umanis wuku Watugunung.
Kata “Saraswati: berasal dari ‘Sara’ yang berarti “Dia yang memberi essensi/arti”, ‘Swa’ berarti ‘diri sendiri’,dan ‘Thi, berarti: ‘dia yang mengetahui’. “Sarasvati” juga berarti “yang mengalir”, di dalam Rig Weda beliau digambarkan sebagai sebuah sungai yang senantiasa mengalir, beliau memberi kesuburan setiap kandungan wanita dan juga kesuciaan bagi semua pemujanya.

Larangan Tidak Boleh Membaca dan Menulis Pada Hari Saraswati

Dikalangan umat hindu sendiri ada banyak yang berpendapat bahwa pada Hari Raya Saraswati tidak boleh membaca ataupun menulis dan begitu pula sebaliknya ada yang menganggap bahwa itu adalah sebuah mitos. Kami mencoba merangkum dari berbagai pendapat mengenai hal ini.
1. Pemikiran keliru tentang pelarangan oleh para orang tua kepada anak-anaknya untuk membaca (belajarpadasaat perayaan Saraswati. Saya sendiri sering mendengar para orang tua menyatakan larangan itu. Katanyatidakboleh menyentuh buku,apalagi membaca saat odalan (perayaanSaraswati. Mereka beranggapan bahwa kalau kitamembaca saat perayaan Saraswatiitu akan mengganggu ketenangan Sanghyang Aji Saraswati. (Balipost.com)
2. Saniscara Umanis Watugunung = Sasraswati, hanya melalui proses belajar ilmu itu didapat, bukan dengan membuatkan banten pada buku   saja tanpa pernah mau membuka dan meneguk saripatinya dengan membaca. Jadi tepis anggapan pada hari saraswati tak boleh baca buku(peradah.org)
3. Menurut keterangan lontar Sundarigama tentang Brata Saraswati, pemujaan Dewi Saraswati harus dilakukan pada pagi hari atau tengah hari. Dari pagi sampai tengah hari tidak diperkenankan membaca dan menulis terutama yang menyangkut ajaran Weda dan sastranya. Bagi yang melaksanakan Brata Saraswati dengan penuh, tidak membaca dan menulis itu dilakukan selama 24 jam penuh. Sedangkan bagi yang melaksanakan dengan biasa, setelah tengah hari dapat membaca dan menulis. Bahkan di malam hari dianjurkan melakukan malam sastra dan sambang samadhi. (hindubatam.com)
Jika dipikirkan terasa ada yang janggal, kenapa Pada Hari Saraswati yaitu hari turunnya ilmu pengetahuan malah sebaliknya memaknai dengan tidak membaca atau menulis. Akan tetapi didalam Parasara dharmasastra disebutkan bahwa ayat-ayat suci atau petunjuk-petunjuk suci tidak boleh ditafsir dengan logika, harus ada penjelasan dari sang Sadhu (orang suci) atau dalam ilmu modern oleh ahlinya, Yang terpenting adalah dijelaskan oleh orang suci, kenapa orang suci? Didalam weda disebutkan bahwa weda itu ada didalam pikiran , didalam pikiran orang Sadhu (orang suci lahir dan batin). Dalam hukum progresif juga tidak dibenarkan menafsirkan hukum dengan logika sebab bisa berakibat fatal.
Berdasarkan sloka Manawa Dharmasastra tersebut Hukum Adat atau tradisi suci diakui sebagai sumber hukum yang sah. Salah satu sumber hukum larangan membaca bersumberkan pada lontar Sundarigama:
“sang hyang pustakam lingganing aksara, pinihayu, puja walian haturaken puspa wangi, kalingania amuja Sang Hyang Bayu, ika samana ika, sira tan wenang angreka aksara, tan wenang angucara weda, puja, mwang kidung kekawin, kawanangan laksanania ayoga ameneng”.

Dilarang Menulis aksara (sira tan wenang angreka aksara) dilarang mengucapkan mantra weda (tan wenang angucara weda). ada yang menafsirkan “ sira tan wenang angreka aksara “ diartikan dilarang Nen¬ten dados ngamatiang aksara tidak boleh membunuh/mematikan aksara.
Mematikan aksara secara har­fiah dalam tradisi Bali ber­arti menem­patkan “ulu” / “hulu” (= agar suatu aksara ber­suara vokal “i”) dan “suku” sekaligus pada suatu aksara (= agar suatu aksara ber­suara vokal “u”). Seba­gai contoh:
Tha + “ulu” = akan ter­baca “Thi”;
Tha + “
suku” = akan ter­baca “Thu”; Tapi jika
Tha +” “
ulu” + “suku” = akan men­jadi aksara mati (tidak terbaca).
Demikianlah dalam mem­buat aksara mati (men­jadi tidak ter­baca) dalam tulisan/aksara Bali.
Dari berbagai pendapat dan sumber yang kami coba rangkum, dapat disimpulkan menurut kami bahwa larangan untuk membaca lebih tertuju kepada Pustaka Suci seperti  kitab Catur Veda , Kitab-kitab Brahmana, Upanishad-Upanishad, Weda Smerti; kitab-kitab Dharmasastra,Itihasa, Purana, Lontar-Lontar dan lain yang sejenisnya yang berkaitan dengan Ajaran Agama atau Ajaran Ketuhanan. Sedangkan larangan menulis seperti Menulis Devanagari, Menulis Akasara Bali, Aksara Jawa yang berhubungan Tuhan atau aksara-aksara Suci.
Jika untuk dewasa ini, seperti buku bacaan biasa(buku pelajaran sekolah) atau menulis latin biasa. Itu kembali kepada pendapat individu masing-masing. 

Visit Our Sponsor

Minggu, 26 April 2020

MAKNA BANTEN PEJATI DALAM HINDU

banten pejati

Di pulau Bali  yang mayoritas warganya adalah umat Hindu, yang mana adat,budaya dan ajaran agama sangat erat,saling berkaitan dan saling melengkapi. Sehingga bisa dikatakan adat,budaya dan agama menjadi satu kesatuan.
Khusunya di Bali sendiri dikenal ada yang namanya Banten.  Banten adalah persembahan dan sarana bagi umat Hindu mendekatkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Kuasa.  Banten juga merupakan wujud rasa terima kasih, cinta dan bakti pada beliau karena telah dilimpahi wara nugraha-Nya. Secara mendasar  dalam agama Hindu, banten juga dapat dikatakan sebagai bahasa agama.

Pengertian Banten Pejati

Pejati berasal bahasa Bali, dari kata jati” mendapat awalan pa-“Jati berarti sungguh-sungguh, benar-benar. Awalan pa- membentuk kata sifat jati menjadi kata benda pajati, yang menegaskan makna melaksanakan sebuah pekerjaan yang sungguh-sungguh.
Banten Pejati sering juga disebut “Banten Peras Daksina”.  Banten Pejati adalah sekelompok banten yang dipakai sarana untuk menyatakan rasa kesungguhan hati kehadapan Hyang Widhi dan manifestasiNya, akan melaksanakan suatu upacara dan mohon dipersaksikan, dengan tujuan agar mendapatkan keselamatan. Banten pejati merupakan banten pokok yang senantiasa dipergunakan dalam Panca Yadnya.

Unsur dan Makna Banten Pejati

Pada Banten Pejati terdapat empat unsur utama yang disebut Catur Loka Phala, yaitu terdiri dari; Daksina, Banten Peras, Penyeneng/Tehenan/Pabuat, Tipat/Ketupat Kelanan. Selain itu, di alam banten Pejati juga terdapat; Soda/Ajuman, Pasucian, dan Segehan, beserta sarana-sarana pelengkap lainnya. Makna dari setiap unsur banten pejati, yaitu sebagai berikut:
1. Daksina
Daksina disebut Juga “YadnyaPatni” yang artinya istri atau sakti daipada yadnya. Daksina juga dipergunakan sebagai mana persembahan atau tanda terima kasih, selalu menyertai banten-banten yang agak besar dan sebagainya perwujudan atau pertapakan. Dalam lontar Yadnya Prakertidisebutkan bahwa Daksina melambangkan Hyang Guru / Hyang Tunggal kedua nama tersebut adalah nama lain dari Dewa Siwa.
2. Banten Peras
Kata “Peras” dapat diartikan “sah” atau resmi, seperti kata: “meras anak” mengesahkan anak, “Banten pemerasan”, yang dimaksud adalah sesajen untuk mengesahkan anak/cucu; dan bila suatu kumpulan sesajen tidak dilengkapi dengan peras, akan dikatakan penyelenggaraan upacaranya “tan perasida”, yang dapat diartikan “tidak sah”, oleh karena itu banten peras selalu menyertai sesajen-sesajen yang lain terutama yang mempunyai tujuan-tujuan tertentu. Pada prinsipnya memiliki fungsi sebagai permohonan agar semua kegiatan tersebut sukses (prasidha)
Banten Peras ini boleh dikatakan tidak pernah dipergunakan tersendiri, tetapi menyertai banten-banten yang lain seperti: daksina, suci, tulang-sesayut dan lain-lainnya. Dalam beberapa hal, pada alasnya dilengkapi dengan sedikit beras dan benang putih. Untuk menunjukkan upacara telah selesai, maka seseorang (umumnya pimpinan upacara) akan menarik lekukan pada “kulit-peras”, dan menaburkan beras yang ada dibawahnya. Pada Lontar Yajna-prakerti disebut bahwa peras melambangkan Hyang Tri Guna-Sakti.
3. Penyeneng/Tehenan/Pabuat
Jenis jejaitan yang di dalamnya beruang tiga masing-masing berisi beras, benang, uang, nasi aon (nasi dicampur abu gosok) dan porosan, adalah jejahitan yang berfungsi sebagai alat untuk menuntun, menurunkan Prabhawa Hyang Widhi, agar Beliau berkenan hadir dalam upacara yang diselenggarakan. Panyeneng dibuat dengan tujuan untuk membangun hidup yang seimbang sejak dari baru lahir hingga meninggal.
Yang membentuk Penyeneng:
  1. Ruang 1, berisi Nasi segau yaitu nasi dicampur dengan abu/aon adalah lambang dari dewa Brahma sebagai pencipta alam semesta ini dan merupakan sarana untuk menghilangkan semua kotoran (dasa mala).
  2. Ruang 2 berisi porosan, plawa dan bunga lambang dari dewa Visnu yang memelihara alam semesta ini,
  3. Ruang 3 berisi tepung tawar, bunga, daun kayu sakti (dapdap), yang ditumbuk dengan kunir, beras dan air cendana melambangkan dewa Siva dalam prabhawaNya sebaga Isvara dan Mahadeva yang senantiasa mengarahkan manusia dari yang tidak baik menuju benar, meniadakan (pralina) Adharma dan kembali ke jalan Dharma.
4. Tipat/Ketupat Kelanan
Ketupat Kelanan adalah lambang dari Sad Ripu yang telah dapat dikendalikan atau teruntai oleh rohani sehingga kebajikan senantiasa meliputi kehidupan manusia. Dengan terkendalinya Sad Ripu maka keseimbangan hidup akan meyelimuti manusia.
5. Soda/Ajuman
Ajuman disebut juga soda (sodaan) dipergunakan tersendiri sebagai persembahan ataupun melengkapi daksina, suci dan lain-lain. Bila ditujukan kehadapan para leluhur, salah satu peneknya diisi kunir ataupun dibuat dari nasi kuning, disebut “perangkat atau perayun” yaitu jajan serta buah-buahannya di alasi tersendiri, demikian pula lauk pauknya masing-masing dialasi ceper / ituk-ituk, diatur mengelilingi sebuah penek yang agak besar. Di atasnya diisi sebuah canang pesucian, canang burat wangi atau yang lain.
6. Pasucian
Secara umum pesucian dapat dikatakan sebagai alat-alat yang dipakai untuk menyucikan Ida Bhatara dalam suatu upacara keagamaan. Secara instrinsik mengandung makana filosofis bahwa sebagai manusia harus senantiasa menjaga kebersihan phisik dan kesucian rohani (cipta , rasa dan karsa), karena Hyang Widhi itu maha suci maka hanya dengan kesucian manusia dapat mendekati dan menerima karunia Beliau.
7. Segehan
Segehan artinya “Suguh” (menyuguhkan), dalam hal ini adalah kepada Bhuta Kala, yang tak lain adalah akumulasi dari limbah/kotoran yang dihasilkan oleh pikiran, perkataan dan perbuatan manusia dalam kurun waktu tertentu. Dengan segehan inilah diharapkan dapat menetralisir dan menghilangkan pengaruh negatik dari libah tersebut. Segehan adalah lambang harmonisnya hubungan manusia dengan semua ciptaan Tuhan (palemahan).

Penerima Banten Pejati

Banten Pejati dihaturkan kepada Sang Hyang Catur Loka Phala. Secara lebih detail sebagai berikut:
  1. Peras : kepada Sang Hyang Iswara
  2. Daksina : kepada Sang Hyang Brahma
  3. Ketupak Kelanan : kepada Sang Hyang Wisnu
  4. Soda/Ajuman : kepada Sang Hyang Mahadewa

Selasa, 21 April 2020

22 MAHLUK MENAKUTKAN YANG DIPERCAYA KRAMA BALI


1. Basang-basang
Basang merupakan bahasa Bali yang artinya perut yang dalam hal ini bermakna usus.
Basang-basang merupakan makhluk yang hanya terdiri atas usus saja.

2. Memedi
Dalam kehidupan masyarakat Bali, dikenal dengan istilah engkebang memedi.Engkebang memedi berarti disembunyikan oleh memedi.
Memedi merupakan makhluk halus yang dipercayai di Bali, dimana memedi ini dipercaya akan mendiami semak-semak, pepohonan, ataupun batu besar.
Makhluk gaib ini senang bermain dengan anak-anak dimana anak tersebut akan disembunyikannya sehingga tidak akan ditemukan.
Untuk menemukan seorang anak yang disembunyikan atau engkebang memedi biasanya warga secara beramai-ramai akan menabuh alat musik sehingga anak yang disembunyikan akan dikembalikan.
Makhluk ini juga berambut merah seperti api, kulit menyala merah.

3. Leak
Kata leak pasti sudah tak asing lagi di telingan orang Bali bukan? Leak merupakan hantu jadi-jadian dimana proses perubahannya disebut dengan nglekas.

4. Rarung
Dalam lakon Calonarang, rarung juga biasa disebut sebagai antek-antek dari rangda.
Dalam Calonarang, Rarung merupakan murid dari Walu Nateng Dirah.
Tak seperti rangda yang disebutkan sebagai janda, rarung digambarkan sebagai sosok yang lebih cantik dan lebih muda daripada rangda.

Ilmu pengeleakan ini bisa dipelajari dari berbagai lontar semisal Lontar Cambraberag, Lontar Durga Bhairawa, Lontar Ratuning Kawisesan, Lontar Tantingmas, dan lontar lainnya.
Ada berbagai macam jenis leak yang dikenal yaitu leak barak, leak sari, leak siwa klakah, leak bunga, maupun leak pamoroan.
Dari semua jenis leak, yang paling tinggi adalah leak siwa klakah dikarenakan ketujuh cakra akan mengeluarkan cahaya.
Untuk memperoleh ilmu pengeleakan ini ada beberapa cara yang ditempuh yaitu leak yang didapat dari anugerah dikarenakan melakukan suatu tapa.
Selain itu ada juga yang diperoleh dengan cara belajar dari lontar, membeli pekakas ke dukun, ataupun diperoleh melalui keturunan.
Banyak orang percaya saat seseorang yang bisa ngeleak akan meninggal, ilmunya bisa terbang ke orang yang menungguinya saat sebelum meninggal tersebut.

5. Bake
Merupakan makhluk yang mirip seperti manusia dengan tubuh hitam besar. Tinggal di semak-semak dan keluar saat malam hari.

- JUAL BANTEN MURAH hub.08980563916 atau KLIK DISINI

6. Celuluk
Celuluk juga biasa disebut dengan leak gundul. Hantu jenis ini merupakan hantu jadi-jadian dengan wujud yang sangat menyeramkan.

Ia memiliki rambut yang lebat dan botak pada bagian depan. Payudaranya besar, bertaring, dengan mata mebelalak.
Dalam pementasan Calonarang, celuluk ini disebut sebagai antek-antek dari Rangda.

7. Rangda
Rangda ini dipercaya sebagai penjelmaan Dewi Durgha yang memiliki manifestasi sebagai pemusnah atau pelebur.

8. Lawean
Lawean memiliki wujud badan manusia. Akan tetapi tak memiliki lengan, tungkai, maupun, kepala. 
Biasanya muncul saat malam dan tinggal di semak belukar.

9. Tonya
Tonya sering dianggap sebagai penunggu sungai atau pohon besar seperti beringin, bunut, kepuh, rangdu dan sejenisnya.
Makhluk ini jarang berkeliaran dan saat pergi tak pernah jauh dari pohon tempatnya tinggal. 

10. Kemangmang
Kemangmang atau ada yang menyebut kumangmang, merupakan makhluk halus yang hanya terdiri dari kepala saja dengan rambut menyala.
Ia tak memiliki badan, tangan, maupun kaki. Bentuk kepalanya pun bolong seperti kelapa yang digigit tupai. Makhluk ini suka mengganggu sesorang yang memiliki hasil panen.
Ia tinggal di tegalan, dan di semak-semak. Berjalan dengan cara menggelinding.

11. Gregek Tunggek
Hantu ini suka tinggal di tempat yang sepi dengan wujud menyerupai kuntilanak atau sundel bolong.
Makhluk ini suka bermain dengan anak-anak di malam hari.
Tinggal di semak belukar, dekat danau, air terjun, sumur, payau, kuburan dan muncul di malam hari.
12. Bakis botong
Ia menampakkan diri dengan wujud manusia kerdil atau kate, berkepala gundul, dan berkulit putih pucat.
Suka tinggal di rumah kosong tanpa penghuni.
13. Tangan-tangan
Tangan-tangan merupakan makhluk yang hanya berupa tangan saja. Tinggal di semak-semak maupun tempat kosong.
Saat malam, tangan-tangan ini terbang di udara.

14. Wong Samar
Wong samar mirip dengan manusia hanya saja tanpa lekukan pada bibir atas.
Sebagaimana manusia, wong samat ini juga memiliki keluarga hidup layaknya manusia namun tidak dapat dilihat oleh manusia awam.
Apabila berkehendak, ia bisa terlihat oleh manusia.

15. Gamang
Seperti halnya tonya, gamang juga disebut tinggal di sungai atau kali. Jika tonya hidup berkelompok, maka gamang hidup menyendiri dan terpisah.
Gamang ini merupakan jenis makhluk halus yang fisiknya buruk, kotor, rambut panjang tergerai tak terurus.

16. Papengkah
Memiliki perut buncit dan gendut, seperti manusia. Biasa muncul siang maupun malam hari dan tinggal di sembarang tempat.

17. Anja-anja
Merupakan makhluk berkaki empat dan berkepala seperti raksasa. Matanya melotot besar dengan mulut lebar bertaring panjang dan berambut terurai.

18. Brerong
Brerong merupakan tuyul versi Bali walaupun tak sama dengan tuyul namun memiliki tugas yang hampir mirip dengan tuyul.
Makhluk ini biasanya dipelihara oleh seorang majikan dengan tujuan untuk memperoleh kekayaan dengan jalan mencuri uang secara gaib.
Seseorang yang memelihara brerong biasanya akan menyiapkan tumbal yang paling sadis tumbalnya berupa manusia.
Selain itu sang majikan juga harus membuatkan sesajen yang lengkap dan ada perjanjian tertentu yang harus dipenuhi dan dilaksanakan.
Jika janji tersebut dilanggar bisa membahayakan si majikan yang bisa saja berujung pada kematian.

19. Katugtug
Makhluk yang hanya berupa kaki dari lutut ke bawah. Injakannya berbunyi tug tug tug.
Menyukai rumah kosong dan keluar saat malam hari.

20. Enjek pupu
Mahkluk ini terdiri atas paha sampai kaki tanpa badan. Bunyi injakan kakinya membuat bulu kuduk merinding karena halus dan berirama.
Suka pada tempat yang kosong, keluar malam hari dan suka mengitari pekarangan rumah.

21. Jerangkong
Makhluk ini hanya terdiri atas rangka yang bergerak-gerak.
Tinggal di rumah kosong.

22. Nasbedag
Adalah jenis mahluk yang biasanya muncul saat kampanye, dia berpura pura baik dan dekat dengan masyarakat,  sebelum menjabat menjadi pejabat dia senang koar koar berjanji, tetapi setelah menjabat dia mengingkari janji dan bekerja sangat lambat dan hanya mementingkan kepentingan kelompok atau golongannya, yang terburuk karena tingkat literasi yg rendah dia kesulitan membedakan antara kritik dan menghina sekaligus anti kritik. 
( ini paling menakutkan dari 21 mahluk menakutkan lainnya diatas ).

📸. Dartha Muggle


MENGENAL LEBIH DALAM MAKNA DAN FUNGSI KEWANGEN

kewangen

Inputbali,- Dalam upacara atau persembahyangan dalam Agama Hindu khususnya di Bali dan umumnya di Indonesia. Ada yang namanya Kewangen yang merupakan sarana pelengkap dalam persembahyangan atau upacara.

Makna dan Pengertian Kewangen

Kewangen berasal dari bahasa jawa kuno yaitu kata “Wangi” yang artinya harum. Mendapat awalan ‘ke’ dan akhiran ‘an’ menjadi kewangian , i + a = e, menjadi Kewangen. Oleh karena kata dasarnya adalah “Wangi”, yang mana wangi itu identik dengan bau yang disenangi dan bau yang dicintai, mungkin dibutuhkan oleh setiap manusia yang normal (Kewangen), maka itu pula yang menyebabkan kewangen itu disebut dan digunakan sebagai simbul yang dapat mewakili Tuhan dalam pikiran umat. Jadi kesimpulannya Kewangen itu adalah simbul Tuhan juga disebut simbul dari huruf Ongkara (hurup Bali) yang juga disebut simbul Tuhan dalam bentuk huruf.

Penggunaan Kewangen

Kewangen dalam penggunaanya lebih sering digunakan dalam persembahyangan, selain itu kewangen juga sebagai pelengkap dalam upakara untuk upacara Panca Yadnya. Yaitu sebagai berikut:
  1. Dewa Yadnya, sebagai pelengkap Banten Tetebasan, prascita, dan berbagai jenis sesayut.
  2. Rsi Yadnya, juga sebagai pelengkap Banten Tetebasan.
  3. Pitra Yadnya, dipakai dalam upacara menghidupkan mayat secara simbolis untuk diupacarakan yaitu pada setiap persendian tubuhnya.
  4. Manusia Yadnya, digunakan pada setiap upacara ngotonin, potong gigi, perkawinan, dan pelengkap banten.
  5. Bhuta Yadnya, digunakan dalam upacara memakuh, macaru, dll

Makna dari Sarana Kewangen

1. Kojong, biasanya dibuat dari daun pisang, dibuat sedemikian rupa sehingga berbentuk kojong. Kojong ini bila kita tekan sampai lempeh maka dia akan berbentuk segi tiga, maka kojong menyimbulkan angka tiga Huruf Bali (lihat huruf Ongkara Bali).
2.Pekir, dibuat sedemikian rupa menyerupai hiyasan kepala dari tarian jangger (tarian muda-mudi di Bali).dibuat dari daun janur. Bentuknya bisa kelihatan bermacam-macam , itu sangat tergantung dari seninya yang membuat. Ini merupakan simbul dari ULU ARDHA CANDRA dan NADA (tulisan huruf Bali).
3. Uang Kepeng (pipis bolong), bila tidak ada uang kepeng, maka bisa digunakan uang logam, sebab uang kepeng itu yang dipentingkan adalah bentuknya yang bundar, sebagai simbul WINDU (nol). Perlu ditekankan disini jangan menggunakan uang kertas yang diplintir akan mengurangi arti dan makna.
4. Porosan, ini ditempatkan di dalam kojong tadi hampir tidak kelihatan dari luar. Porosan ini yang terpenting adalah terdiri dari tiga unsur yaitu; daun sirih (daun lain yang wajar digunakan), daun ini yang dicari maknanya adalah warnanya yaitu berwarna Hijau, merupakan simbul dari dewa Wisnu, Huruf Balinya adalah UNGKARA, Kemudian buah sirih yang disisir sedemikian rupa, ini mewakili warna merah, simbul dari Dewa Brahma, huruf Balinya ANGKARA. Selanjutnya unsur yang ketiga adalah kapur sirih warnanya putih sibul dari dewa Iswara (Siwa), Huruf Balinya adalah MANGKARA. Ketiga-tiganya itu dijarit semat atau diikat pakai menang menjadi satu, artinya seperti uraian dibawah ini.
Jadi tiga huruf itu; A.+ U + M = AUM MENJADI ONG ( A dan U kasewitrayang dalam tata bahasa Bali). Maka ONG itu adalah huruf sebagai simbul dari Tuhan.
5.Bunga, ini sembul dari rasa cinta dan rasa bhakti.
Kesimpulannya Kewangen (bisa dibaca kwangen) adalah merupakan simbul dari Tuhan dalam bentuk tetandingan (sarana upacara).

Cara Menggunakan Kewangen Saat Sembahyang

Dalam penerapan penggunaan Kewangen, bisa dikatakan bahwa setiap umat Hindu berbeda-beda dalam menggunakannya, terutama pada posisi kewangen.  Ada yang uang kepeng (sebagai mukanya/depannya) ada yang menghadap kedepan, ada yang menghadap kekiri/kekanan, ada pula yang menghadap ke belakang (menghadap ke yang sembahyang/orang). Jadi manakah yang benar dari itu semua? Menurut sumber yang kami telusuri, dalam lontar paniti gama tirtha pawitra,  uang kepengnya menghadap kebelakang/ menghadap ke orang yang sembahyang itu yang benar.
Visit Our Sponsor

Senin, 20 April 2020

SEJARAH & MAKNA KELAPA GADING DIGUNAKAN MELUKAT

kelapa gading

Kata Melukat adalah berasal dari bahasa jawa kuno yaitu lukat yang artinya bersih, melukat yang simpel bisa kita laksanakan pada mata air /aliran sungai di laut atau pertemuan laut dan sungai kalau di bali biasanya dekat pura segara atau di beji.

Melukat Dengan Kelapa Gading

Kelapa Gading ( Bungkak Nyuh Gading) merupakan salah satu sarana yang sering dipergunakan dalam melukat. Kenapa menggunakan  Kelapa Gading ( Bungkak Nyuh Gading)? Karena Kelapa Gading merupakan simbol dari Siwa Raditya. Siwa Raditya adalah pancaran sinar suci Siwa dalam kekuatan-Nya untuk menyinari dan menjaga yang ada di alam ini.

Sejarah Kelapa Gading Untuk Melukat

Dari sejarah yang coba kami telusuri tentang penggunaan kelapa gading(Bungkak Nyuh Gading) untuk melukat tidak banyak pembahasan mengenai hal tersebut akan tetapi ada yang menyebutkan bahwa pada jaman dahulu, Ida Pedanda Sakti juga menggunakan klungah/bungkak kelapa gading untuk memperlancar proses ritual beliau. Akibat prana matahari yang kuat, maka air kelapanya memiliki daya pembersih yang sangat kuat. Daya yang demikian kuatnya ini dapat untuk membersihkan badan secara lahir dan batin. Mampu merubah aura tubuh menjadi prana , mampu membuka cakra spiritual, mampu menetralisir pencemaran tubuh manusia , serta mengurangi bekas-bekas pengaruh hewani, membersihkan pengaruh negatif, magic ataupun mengobati penyakit.

Saat Tepat Melukat Dengan Kelapa Gading

Untuk dewasa atau hari baik dalam penggunaan kelapa gading untuk  melukat, dari beberapa Mangku yang kami coba tanyakan mengenai hal ini menyebutkan bahwa pada setiap Hari Purnama merupakan salah satu hari yang baik untuk melukat dengan menggunakan kelapa gading. Karena jika melukat setiap Hari Purnama menggunakan kelapa gading akan mampu membersihkan tubuh kita dari segala hal yang bersifat negatif baik itu secara medis ataupun non-medis. Dan tentunya dengan segala kuasa dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Kuasa.
sumber:rangkuman dari berbagai sumber
Visit Our Sponsor

Minggu, 19 April 2020

MAKNA DAN RENUNGAN DALAM HARI RAYA PAGERWESI

Makna dan Renungan dalam Hari Raya Pagerwesi

 Pagerwesi artinya pagar dari besi. Yang melambangkan suatu perlindungan yang kuat. Hari raya Pagerwesi sering diartikan oleh umat Hindu sebagai hari untuk memagari diri yang dalam bahasa Bali disebut magehang awak.
Hari Raya Pagerwesi  jatuh pada Buda (Rabu), Kliwon, Sinta. Jika diperhatikan dengan seksama, ada kaitan langsung dengan Hari Raya Saraswati yang jatuh pada Saniscara (Sabtu), Umanis, Watugunung. Dalam sistim kalender wuku yang berlaku di Bali, wuku Watugunung adalah urutan wuku yang terakhir dari 30 wuku yang ada, sedangkan wuku Sinta adalah wuku dalam urutan pertama atau awal dari suatu siklus wuku.

Makna Pagerwesi

Sebagaimana telah disebutkan dalam lontar Sundarigama, Pagerwesi yang jatuh pada Budha Kliwon Shinta merupakan hari Payogan Sang Hyang Pramesti Guru diiringi oleh Dewata Nawa Sangga. Hal ini mengundang makna bahwa Hyang Premesti Guru adalah Tuhan dalam manifestasinya sebagai guru sejati. Makna yang lebih dalam terkandung pada kemahakuasaan Sanghyang Widhi sebagai pencipta, pemelihara, dan pemusnah, atau dikenal dengan Uttpti, Stiti, dan Pralina atau dalam aksara suci disebut: Ang, Ung, Mang.
Saraswati yang jatuh pada hari terakhir dari wuku terakhir diperingati dan dirayakan sebagai anugerah Sanghyang Widhi kepada umat manusia dalam bentuk ilmu pengetahuan dan teknologi, diartikan sebagai pembekalan yang tak ternilai harganya bagi umat manusia untuk kehidupan baru pada era berikutnya yang dimulai pada wuku Sinta.
Oleh karena itu rangkaian hari-hari dari Saraswati ke Pagerwesi, mengandung makna sebagai berikut:
  1. Setelah Saraswati, esoknya hari Minggu, adalah hari Banyupinaruh, di mana pada hari itu umat Hindu di Bali melakukan pensucian diri dengan mandi di laut atau di kolam mata air. Pada saat ini dipanjatkan permohonan semoga ilmu pengetahuan yang sudah dianugerahkan oleh Sanghyang Widhi dapat digunakan untuk tujuan-tujuan mulia bagi kesejahteraan umat manusia di dunia dan terjalinnya keharmonisan Trihita Karana, yaitu hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan alam semesta.
  2. Kemudian esoknya, hari Senin disebut hari Somaribek, yang dimaknai sebagai hari di mana Sanghyang Widhi melimpahkan anugerah berupa kesuburan tanah dan hasil panen yang cukup untuk menunjang kehidupan manusia.
  3. Selanjutnya, hari Selasa, disebut Sabuh Mas, yang juga tidak lepas kaitannya dengan Saraswati, di mana umat manusia akan menerima pahala dan rezeki berupa pemenuhan kebutuhan hidup lainnya, bila mampu menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi di jalan dharma. Pada hari itu umat Hindu di Bali memuja Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai Mahadewa.
  4. Hari raya Pagerwesi di hari Rabu, yang dapat diartikan sebagai suatu pegangan hidup yang kuat bagaikan suatu pagar dari besi yang menjaga agar ilmu pengetahuan dan teknologi yang sudah digunakan dalam fungsi kesucian, dapat dipelihara, dan dijaga agar selalu menjadi pedoman bagi kehidupan umat manusia selamanya.

Renungan Dalam Pagerwesi

Pada hari raya Pagerwesi adalah hari yang paling baik mendekatkan Atman kepada Brahman sebagai guru sejati . Pengetahuan sejati itulah sesungguhnya merupakan “pager besi” untuk melindungi hidup kita di dunia ini.  Inti dari perayaan Pagerwesi itu adalah memuja Tuhan sebagai guru yang sejati. Memuja berarti menyerahkan diri, menghormati, memohon, memuji dan memusatkan diri. Ini berarti kita harus menyerahkan kebodohan kita pada Tuhan agar beliau sebagai guru sejati dapat mengisi kita dengan kesucian dan pengetahuan sejati.

Banten Dalam Pagerwesi

Yadnya (Banten) yang paling utama disebutkan pada hari raya Pagerwesi yaitu :
  • Untuk Para Pendeta (Purohita) adalah “Sesayut Panca Lingga” sedangkan perlengkapan  tetandingan bantennya :
  • Daksina,
  • Suci Pras penyeneng, dan
  • Banten Penek.
    • Meskipun hakikat hari raya Pagerwesi sebagai pemujaan (yoga samadhi) bagi para Pendeta (Purohita) namun umat kebanyakan pun wajib ikut merayakan sesuai dengan kemampuan.
  • Dan Bagi umat kebanyakan yadnya (banten) disebutkan adalah;
    • natab Sesayut Pagehurip,
    • Prayascita,
    • Dapetan.
    • Tentunya dilengkapi Daksina,
    • Canang, dan
    • Sodan.
    • Dalam hal upacara, ada dua hal banten pokok yaitu
      • Sesayut Panca Lingga untuk upacara para pendeta,
      • dan Sesayut Pageh Urip bagi umat kebanyakan.