Sabtu, 29 Februari 2020

MENAPAK TILAS SEJARAH HARI RAYA GALUNGAN

Menapak Tilas Sejarah Hari Raya Galungan

Kata Galungan berasal dari bahasa Jawa kuno, yang berarti menang  atau beruntung. Galungan sama artinya dengan dungulan yang berarti menang. Di Jawa, wuku kesebelas disebut dengan wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku kesebelas disebut dengan wuku Dungulan. Namanya berbeda namun artinya sama.

Sejarah Galungan

Hingga dewasa ini sebenarnya masih cukup sulit memastikan kapankah pertama kali merayakan Galungan karena ada beberapa sumber yang mengatakan tahun yang berbeda. Galungan adalah hari kemenangan Dharma melawan Adharma atau hari kemenangan Dewa Indra melawan raksasa Mayadanawa. Menurut lontar Purana Bali Dwipa, Hari Raya Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat (Budha Kliwon Dungulan) di tahun 882 Masehi atau tahun Saka 804. Lontar tersebut berbunyi:
Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya
Artinya: Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.
Pada tahun 1103 Çaka Galungan pernah berhenti dirayakan. Entah apa alasannya pada saat itu. Hal tersebut terjadi ketika raja Sri Eka Jaya memegang tampuk pemerintahan. Hingga masa pemerintahan dipegang oleh raja Sri Dhanadi, Galungan masih belum dirayakan. Konon pada saat itu banyak musibah yang datang tak henti-hentinya dan umur para pejabat kerajaan menjadi pendek.
Saat Raja Sri Jaya Kasunu bertahta, Galungan kembali dirayakan sejak tahun 1126 Çaka. Artinya selama 23 tahun Galungan pernah tidak dirayakan di Bali. Konon ada yang mengatakan bahwa Raja Sri Aji Jaya Kasunu pernah melakukan beryoga semadhi di pura Dalem Besakih dan akhirnya mendapat pawisik dari Bhatari Durga. Dalampawisik tersebut, Bhatari Durga meminta Raja Sri Jaya Kasunu agar merayakan kembali haru raya Galungan setiap hari Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku sebelumnya. Selain itu disarankan juga agar seluruh umat hindu memasang penjor pada hari penampahan Galungan atau tepatnya satu hari sebelum Hari raya Galungan.

Makna Galungan

Galungan pada hakikatnya untuk mensinergikan kekuatan suci yang ada dalam diri setiap manusia untuk membangun jiwa yang terang untuk menghapuskan kekuatan gelap (adharma) dalam diri. Kita harus ingat akan adanya Sang Kala Tiga yang akan menggoda manusia ketika mendekati Galungan.
Sang Kala Tiga yang terdiri dari Bhuta Galungan, Bhuta Dungulan dan Bhuta Amangkurat yang mengganggu manusia pada saat yang berbeda-beda. Dorongan hawa nafsu, dorongan ingin berjudi, dorongan  mudah untuk emosi  dan ada pula yang minum-minum hingga mabuk dengan alasannya merayakan Galungan. Semua hal negatif itu tidak lain merupakan godaan dari Sang Kala Tiga. Dorongan-dorongan itulah yang sebagai adharma sehingga kita harus mampu untuk memeranginya. Sehingga kita lebih mampu memahami pertarungan Dharma mengalahkan Adharma bukanlah hanya saat Dewa Indra mengalahkan Raksasa Mayadanawa. Tapi juga pertarungan dalam diri kita, bagaimana kita memerangi pengaruh-pengaruh negatif yang ada dari dalam diri dan lingkungan.

Visit Our Sponsor

Jumat, 28 Februari 2020

FILOSOFI DAN ARTI DARI UNSUR-UNSUR PENJOR GALUNGAN

 Kata Penjor tentu sudah terdengar tidak asing lagi. Biasanya penjor banyak dapat ditemui di Bali ketika hari raya Galungan & Kuningan serta odalan-odalan di Pura. Penjor adalah simbol dari naga basukih, dimana Basukih berarti kesejahteraan dan kemakmuran.  Selain itu penjor juga merupakan simbul Gunung yang memberikan keselamatan dan kesejahteraan. Umat hindu khususnya di Bali biasanya ketika menyambut Hari Raya Galungan memasang penjor pada Hari Selasa Anggara warawuku Dungulan (Penampahan Galungan).
penjor galungan
Penjor berasal dari kata Penjor, yang berarti Pengajum, atau Pengastawa, kalau dihilangkan huruf “ny” , menjadi kata benda yaitu Penyor yang berarti  sebagai sarana untuk melaksanakan Pengastawa.
Bahan dari penjor sebatang bambu yang ujungnya melengkung, dihiasi dengan janur/daun enau yang muda serta daun-daunan lainnya (plawa). Perlengkapan penjor Pala bungkah (umbi-umbian seperti ketela rambat), Pala Gantung (misalnya kelapa, mentimun, pisang, nanas dll), Pala Wija (seperti jagung, padi dll), jajan, serta sanggah Ardha Candra lengkap dengan sesajennya. Pada ujung penjor digantungkan sampiyan penjor lengkap dengan porosan dan bunga. Sanggah Penjor mempergunakan Sanggah Ardha Candra yang dibuat dari bambu, dengan bentuk dasar persegi empat dan atapnya melengkung setengah lingkaran sehingga bentuknya menyerupai bentuk bulan sabit.
Memasang Penjor bertujuan untuk mewujudkan rasa bakti dan sebagai ungkapan terima kasih kita atas kemakmuran yang diberikan oleh Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan). Bambu yang melengkung adalah gambaran dari gunung tertinggi sebagai tempat yang suci, hiasan Penjor yang terdiri dari kelapa, pisang, tebu, jajan, dan kain adalah wakil dari semua tumbuh-tumbuhan dan benda sandang pangan, yang dikaruniai oleh Hyang Widhi Wasa (Tuhan).
Keberadaan bahan-bahan pembuat penjor tersebut tentu memiliki arti dan filosofinya masing-masing. Berdasarkan lontar Tutur Dewi Tapini menyebutkan :
Ndah Ta Kita Sang Sujana Sujani, Sira Umara Yadnva, Wruha Kiteng Rumuhun, Rikedaden Dewa, Bhuta Umungguhi Ritekapi Yadnya, Dewa Mekabehan Menadya Saraning Jagat Apang Saking Dewa Mantuk Ring Widhi, Widhi Widana Ngaran Apan Sang Hyang Tri Purusa Meraga Sedaging Jagat Rat, Bhuwana Kabeh, Hyang Siwa Meraga Candra, Hyang Sadha Siwa Meraga “Windhune”, Sang Hyang Parama Siwa Nadha
Artinya : Wahai kamu orang-orang bijaksana, yang menyelenggarakan yadnya, agar kalian mengerti proses menjadi kedewataan, maka dari itu sang Bhuta menjadi tempat/tatakan/dasar dari yadnya itu, kemudian semua Dewa menjadi sarinya dari jagat raya, agar dari dewa semua kembali kepada hyang widhi, widhi widhana (ritualnya) bertujuan agar sang Tri Purusa menjadi isi dari jagat raya, Hyang Siwa menjadi Bulan, Hyang Sadha Siwa menjadi windu (titik O), sang hyang parama siwa menjadi nadha (kecek), yang mana kesemuanya ini merupakan simbol dari Ong Kara.
Penjor galungan bersifat religius, yang mempunyai fungsi tertentu dalam upacara keagamaan,dan wajib di buat lengkap dengan kelengkapannya, membuat penjor untuk upacara memerlukan syarat tertentu, dan sesuai dengan Sastra Agama, agar tidak berkesan sebagai hiasan saja. Di dalam lontar Tutur Dewi Tapini juga telah disebutkan bahwa setiap unsur pada penjor melambangkan simbol-simbol suci, yaitu sebagai berikut :
  • Bambu (dan kue) sebagai vibrasi kekuatan Dewa Brahma
  • Kelapa sebagai simbol vibrasi Dewa Rudra
  • Kain Kuning dan Janur sebagai simbol vibrasi Dewa Mahadewa
  • Daun-daunan (plawa) sebagai simbol vibrasi Dewa Sangkara.
  • Pala bungkah dan pala gantung sebagai simbol vibrasi Dewa Wisnu.
  • Tebu sebagai simbol vibrasi Dewa Sambu.
  • Padi sebagai simbol vibrasi Dewi Sri
  • Kain putih sebagai simbol vibrasi Dewa Iswara..
  • Sanggah sebagai simbol vibrasi Dewa Siwa.
  • Upakara sebagai simbol vibrasi Dewa Sadha Siwa dan Parama Siwa.
sumber:parisada.com


TENTANG BHATARA SRI SEDANA DALAM HINDU-BALI

Dalam tradisi agama Hindu khususnya di Bali, Bhatara Sri Sedana dipuja sebagai  Dewi Kesejahteraan  yang memberikan kemakmuran dan kekayaan kepada manusia.  Piodalan untuk Bhatara Sri Sedana dirayakan setiap 210 hari sekali atau setiap 6 bulan. Dalam sistem Kalender Saka-Bali jatuh pada Buda Cemeng Klawu atau Buda Wage Klawu.
dewi laksmi
Dilihat dari arti katanya yaitu “Sri” artinya beras, dan “Sedana” artinya uang atau dengan kata lain bagian dari nafkah, maka perayaannya dilakukan di lingkungan rumah tangga dan juga pura di lingkungan desa adat. Pura Besakih yang merupakan pura terbesar di Bali, juga terdapat Pura Rambut Sedana yang merupakan hulu dari Pelinggih Rambut Sedana atau sering disebut Sri Sedana yang ada di merajan keluarga di Bali. 

Setiap pasar di Bali juga mempunyai pelinggih atau pura Bhatari Melanting yang dihormati sebagai ‘Dewi Perekonomian’ dan setiap hari Buda Cemeng Klawu akan dilakukan peringatan untuk mengucapkan rasa syukur atas rejeki yang diperoleh yang ditujukan kepada Bhatara Rambut Sedana. Buda Cemeng Klawu ini merupakan hari perayaan yang cukup penting bagi umat Hindu khususnya di Bali.
Bisa dikatakan pada Buda Cemeng Klawu lebih banyak dirayakan oleh mereka yang membuka usaha perdagangan di Bali, misalnya pedagang di pasar, toko sembako, pemilik warung, bahkan sampai ke perusahaan-perusahaan yang mengalirkan dana secara cepat dalam menjalankan perusahaan tersebut. Di setiap tempat yang digunakan untuk menyimpan uang diberikan sesajen khusus untuk menghormati Bhatara Sri Sedana sebagai rasa terima kasih atas pemberian-Nya.  Dan biasanya di Warung / Toko / Tempat Usaha diletakan pelangkiran yaitu sebagai stana Bhatara Sri Sedana.Dalam Pembagian Pura Kahyangan Jagat, Bhatara Sri Sedana berstana di Pura Goa Raja, Besakih.
Ada satu hal unik dari perayaan ini, yaitu dipercaya bahwa pada hari Buda Cemeng Klawu masyarakat Bali tidak diperbolehkan menggunakan uang untuk hal-hal yang sifatnya tidak kembali berupa wujud barang, misalnya membayar hutang atau menabung karena dipercaya uang/kekayaan tersebut nantinya tidak dapat kembali selamanya dan menghilang oleh sifat tamak/serakah kita sebagai manusia.

Visit Our Sponsor

MAKNA HARI RAYA KUNINGAN DALAM HINDU & WAKTU TEPAT UNTUK SEMBAHYANG



Hari Raya Kuningan merupakan bagian dari rangkaian Hari Raya Galungan dalam Hindu, yang jatuh pada 10 hari setelah Galungan, yaitu pada Saniscara (Sabtu) Kliwon Wuku Kuningan. Kata Kuningan memiliki makna “kauningan” yang artinya mencapai peningkatan spiritual dengan cara introspeksi agar terhindar dari mara bahaya.
Makna Kuningan
Dikutip dari Bhagawan Dwija mengatakan makna dari Kuningan adalah mengadakan janji/pemberitahuan/nguningang baik kepada diri sendiri, maupun kepada Ida Sanghyang Parama Kawi, bahwa dalam kehidupan kita akan selalu berusaha memenangkan dharma dan mengalahkan adharma (antara lain bhuta dungulan, bhuta galungan dan bhuta amangkurat).
Pada Hari Raya Kuningan banten atau sesajen pada setiap desa belum tentu sama, karena memang banten itu beraneka ragam versinya. Tapi umumnya pada hari Raya Kuningan menggunakan upakara sesajen yang berisi simbul tamiang dan endongan, di mana makna tamiang memiliki lambang perlindungan dan juga juga melambangkan perputaran roda alam.
Endongan maknanya adalah perbekalan. Bekal yang paling utama dalam mengarungi kehidupan adalah ilmu pengetahuan dan bhakti (jnana). Sementara senjata yang paling ampuh adalah ketenangan pikiran. Sarana lainnya, yakni ter dan sampian gantung. Ter adalah simbol panah (senjata) karena bentuknya memang menyerupai panah. Sementara sampian gantung sebagai simbol penolak bala.
Mengenai waktu persembahyangan pada Hari Raya Kuningan, Bhagawan Dwija menjelaskan pada Hari Raya Kuningan, Ida Sanghyang Widhi Wasa memberkahi dunia dan umat manusia sejak jam 00 sampai jam 12. Jadi di saat itu sangat tepat kita datang menyerahkan diri kepada-Nya mohon perlindungan. Kenapa batas waktu sampai jam 12 siang, dikarenakan energi alam semesta (panca mahabhuta : pertiwi, apah, bayu, teja, akasa) bangkit dari pagi hingga mencapai klimaksnya di bajeg surya (tengah hari). Setelah lewat bajeg surya disebut masa pralina (pengembalian ke asalnya) atau juga dapat dikatakan pada masa itu energi alam semesta akan menurun dan pada saat sanghyang surya mesineb (malam hari) adalah saatnya beristirahat (tamasika kala).
Pada Hari Raya Kuningan juga dibuat nasi kuning sebagai lambang kemakmuran dan dihaturkan sesajen-sesajen sebagai tanda terimakasih dan suksmaning idep kita sebagai manusia  menerima anugerah dari Sang Hyang Widhi.
Dapat diambil kesimpulan melalui perayaan Hari Raya Kuningan inilah kita ingatkan untuk selalu ingat menyamabraya, meningkatkan persatuan dan solidaritas sosial, dan umat diharapkan selalu ingat kepada lingkungan sehingga tercipta harmonisasi alam semesta beserta isinya serta tidak lupa akan ingat mengucap syukur kepada Tuhan, Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas segala karunia-Nya.

Visit Our Sponsor

Sabtu, 22 Februari 2020

TENTANG SANGGAH KEMULAN DALAM HINDU-BALI

Sanggah Kemulan adalah sebuah pelinggih dengan rong tiga sebagai wujud penyatuan Sanghyang Triatma dengan sumber dan asal-Nya.  Sanghyang Triatma adalah tiga aspek dari atma itu sendiri , yaitu :
  1. Atman, jiwa dari setiap makhluk hidup
  2. Siwatman, Tuhan sebagai sumber dari jiwa tersebut.
  3. Paratma / Paramatman, asal segala yang ada ini dan kepadaNya pula segala yang ada ini akan kembali yang dalam Panca Sradha disebut Brahman, Sanghyang Widhi yang bermanifestasi sebagai Hyang Tri Murti dalam prabawanya sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur.
sanggah pemerajan
Dalam lontar Usana Dewa juga telah disebutkan bahwa Sanggah Kemulan sebagai stananya Sanghyang Triatma. Yaitu sebagai berikut :
ring kamulan ngaran ida sang hyang atma, ring kamulan tengen bapa ngaran sang paratma, ring kamulan kiwa ibu ngaran sang sivatma,ring kamulan tengah ngaran raganya, tu brahma dadi meme bapa, meraga sang hyang tuduh….” (Rontal Usana Dewa, lembar 4)
Artinya :
”Pada sanggah Kamulan beliau bergelar Sang Hyang Atma, pada ruang kamulan kanan ayah, namanya Sang Hyang Paratma. Pada kamulan kiri ibu, disebut Sivatma. Pada kamulan ruang tengah diri-Nya, itu Brahma, menjadi purusa pradana, berwujud Sang Hyang Tuduh (Tuhan yang menakdirkan).”
Demikian juga lontar Gong Wesi, yaitu sebagai berikut:
….. ngaran ira sang atma ring kamulan tengen bapanta, nga, sang paratma, ring kamulan kiwa ibunta, nga, sang sivatma, ring kamulan madya raganta, atma dadi meme bapa ragane mantuk ring dalem dadi sanghyang tunggal, nungalang raga….” (Rontal Gong Wesi, lembar 4b)
Artinya :
“…… nama beliau sang atma, pada ruang kamulan kanan bapakmu, yaitu Sang Paratma, pada ruang kamulan kiri ibumu, yaitu Sang Sivatma, pada ruang kamulan tengah adalah menyatu menjadi Sanghyang Tunggal menyatukan wujud”
Dari dua kutipan lontar di atas jelaslah bagi kita, bahwa yang berstana pada sanggah kemulan adalah Sanghyang Triatma, yaitu;
  • Paratma yang diidentikkan sebagai ayah (purusa), 
  • Sang Sivatma yang diidentikkan Ibu (predana) 
  • dan Sang Atma yang diidentikkan sebagai diri sendiri (roh individu). 
Yang hakekatnya Sanghyang Triatma itu tidak lain dari pada Brahma atau Hyang Tunggal/ Hyang Tuduh sebagai pencipta (upti).

Sanggah Kemulan sebagai Stana Leluhur

Dalam lontar Purwa Bhumi disebutkan bahwa atma yang telah disucikan yang disebut Dewa Pitara dan juga distanakan di sanggah kemulan. Yang mana dalam lontar tersebut dijelaskan sebagai berikut dalam terjemahan :
Setelah demikian daksina perwujudan roh suci dituntun pada Sanghyang Kamulan, kalau bekas roh itu laki naikkan pada ruang kanan, kalau roh suci itu bekas perempuan dinaikkan di sebelah kiri, disana menyatu dengan leluhurnya terdahulu.
Dalam lontar Tatwa Kapatian disebutkan bahwa sanghyang atma (roh) setelah mengalami proses upacara akan berstana pada sanggah kamulan sesuai dengan kadar kesucian atma itu sendiri. Atma yang masih belum suci, yang hanya baru mendapat “tirtha pangentas pendem” atau upacara sementara (ngurug) juga dapat tempat pada Sanggah Kamulan sampai tingkat “batur kamulan”.
Sanggah Kemulan sebagai konsep dalam pemujaan atman para leluhur kita sebagai bentuk penghormatan kepada beliau, disebutkan perkembangannya :
  • diawali dengan pembuatan Sanggah Turus Lumbung sebagai tempat suci pekarangan rumah
  • dan setelah penghuninya agak mampu, barulah mereka membuat bangunan ini untuk mengganti turus lumbung itu dengan bangunan rong tunggal dan rong tiga yang disebut dengan kemulan.

Sanggah Kemulan sebagai Pemujaan Sang Hyang Widhi

Jika renungkan lebih mendalam, mengenai Sanghyang Tri Atma seperti disebutkan pada Lontar Gong Wesi dan Usana Dewa, maka pengertian Hyang Kamulan sesungguhnya akan lebih tinggi lagi. Karena telah disebutkan bahwa Penyatuan Sanghyang Tri Atma adalah hyang Tuduh/Tunggal yang menjadi Brahma sebagai Sang Pencipta.
Pada Hakekatnya yang dipuja pada sanggah kemulan adalah Tuhan/ Sang Hyang Widhi, baik sebagai Hyang Tri Atma, yang sebagai roh (atma) alam semesta dengan isinya (jagat) yang dewanya adalah Brahma, Wisnu dan Iswara, yang merupakan aspek Tuhan dalam bentuk horizontal dan Siwa, Sada Siwa, Parama Siwa, aspek Tuhan dalam bentuk vertikal (Tri Purusa). Sebagai Tri Purusa beliau juga disebut Guru Tiga. Maka dari itu secara umum juga menyebutkan bahwa Sanggah Kemulan stana Bhatara Guru/Hyang Guru.

Jenis Sanggah Kemulan

Sanggah Kemulan biasanya tidak semuanya sama, dapat dibedakan sesuai dengan tempat ataupun kondisinya, yaitu sebagai berikut:
  1. Turus Lumbung, adalah Sanggah Kemulan darurat, karena satu dan lain hal belum mampu membuat yang permanent. Bahannya dari turus kayu dapdap (kayu sakti). Fungsinya hanyalah untuk ngelumbung atau ngayeng Hyang Kemulan atau Hyang Kawitan. Satu tahun setelah membuka karang baru diharapkan sudah membangun Kamulan yang permanen.
  2. Sanggah Penegtegan, adalah kemulan yang berfungsi hanya sebagai tempat negtegang (membuat ketentraman) dengan memuja Hyang Kawitan bagi mereka yang baru berumah tangga. kemulan sejenis ini banyak kita jumpai di daerah Kabupaten Bangli bagian atas. Setiap mereka yang baru kawin diwajibkan membangun sebuah Sanggah rong tiga, sehingga dalam satu pekarangan akan berdiri beberapa yang telah berumah tangga.
  3. Kemulan Jajar, sesuai dengan namanya, kemulan ini memiliki dua saka (tiang) yang berjajar dimuka yang menancap langsung pada bebaturan (palih batur). Disamping itu, Kemulan jenis ini, disamping mempunyai ruang tiga yang berjajar, juga terdiri dari tiga bagian, yaitu : bebaturan, ruang lepitan, dan ruang gedong sampai atapnya. Ruang lepitan letaknya dibawah rong tiga yang berjajar itu. Jadi kalau disimpulkan Kemulan jajar ini terdiri dari jajar horisontal dan jajar vertikal, sebagai simbolis dari Hyang Murti dan Tri Purusa.
Jadi dapat disimpulkan Sanggah Kemulan merupakan stana para atman leluhur, Dewa Pitara / Dewa Hyang ataupun Bhatra Hyang Guru. Kita sujud dan bakti kepada-Nya, merenung dan memohon agar hidup kita ini direstui-Nya dengan kesentosaan.
(sumber:sejarahhariraya.blogspot.com,ulianatamanbali.blogspot.com)

Visit Our Sponsor

Jumat, 21 Februari 2020

TENTANG PELINGGIH TAKSU DALAM HINDU-BALI

Pelinggih Taksu merupakan salah satu pelinggih yang ada di Sanggah Pemerajan . Sanggah Pemerajan dapat diartikan sebagai tempat suci bagi suatu keluarga tertentu. Secara umum kebanyakan orang menyebutnya dengan lebih singkat seperti Sanggah atau Merajan.
pelinggih taksu
Pelinggih Taksu berbentuk Gedong, tetapi ada dua macam, yang pertama yaitu Gedong bertiang empat (saka pat) beruang dua (Rong dua). Dan yang kedua Gedong juga hanya memiliki tiang pendek (saka pandak) didepannya, ruangnya satu (Rong Tunggal), namun saka pandak itu sudah memberikan arti dua ruangan (Rong dua).

Pengertian Taksu

Mengenai kata Taksu, masyarakat Hindu sebagian besar masih belum memahami akan pengertian dan persepsinya. Tidak sedikit yang berpendapat kalau di anggota keluarga tidak ada yang menjadi penari, pedalangan, dukun dan sebagainya, dianggap tidak perlu memiliki pelinggih Taksu. Menurut sumber ajaran Agama Hindu sesungguhnya tidak demikian, melainkan taksu tersebut bersifat Universal dan merupakan kekuatan profesi masing-masing umat. Setiap manusia memiliki profesionality (wiguna). Menurut ajaran Hindu guna (profesi) tersebut ada sepuluh yaitu:
  1. Guna Rsi Profesi profesi sebagai pendeta
  2. Guna Wibawa profesi sebagai pegawai, pejabat.
  3. Guna Tukang profesi sebagai pertukangan
  4. Guna Sangging profesi sebagai sangging (tukang Patung)
  5. Guna Pragina profesi sebagai penari, penyanyi, pemusik.
  6. Guna Balian profesi sebagai pengarang (pujangga), penulis, wartawan.
  7. Guna Sastra profesi sebagai pedagang, pengusaha.
  8. Guna Sonteng profesi sebagai pemangku, pemuka agama.
  9. Guna Dagang profesi sebagai pedagang, pengusaha.
  10. Guna Tani profesi sebagai petani.
Dalam ajaran Tantrayana, taksu itu bisa diartikan sama dengan “sakti” atau “Wisesa”. Dan yang dimaksud dengan sakti itu adalah simbul dari pada “bala” atau kekuatan. Dalam sisi lain sakti juga disamakan dengan energi atau “kala”.
Dalam Tatwa, daya atau sakti itu tergolong Maya Tatwa. Energi dalam bahasa sanskrit disebut prana, yang adalah bentuk ciptaan pertama dari Brahman. Dengan mempergunakan prana barulah muncul ciptaan berikutnya yaitu panca mahabhuta. Dengan digerakkan oleh prana kemudian terciptalah alam semesta beserta isinya. Tuhan dalam Nirguna Brahma / Paramasiva dalam Siva Tatwa, memanfaatkan energi atau sakti itu, sehingga ia menjadi Maha Kuasa, memiliki Cadu Sakti dengan Asta Aiswarya-Nya. Dalam keadaan seperti itu Ia adalah Maha Pencipta, Pemelihara dan Pelebur. Dalam Wraspati Tatwa disebut Sadasiva dan dalam pustaka Weda disebut Saguna Brahma.
Sakti atau energi maya dari Tuhan itu dipuja dalam bentuk pelinggih yang disebut Taksu. Sedangkan Tuhan dalam wujudnya sebagai Sang Hyang Tri Purusa dan Sang Hyang Tri Atma dipuja dalam pelinggih kamulan. Dalam upacara nyekah, selain sekah sebagai perwujudan atma yang telah disucikan , kita juga mengenal adanya sangge. Sangge adalah perwujudan atau simbul dari Dewi Mayasih. Beliau mewakili unsur Maya Tatwa (pradana / sakti). Yang juga dalam upacara nyekah bersama-sama Atma ikut disucikan.
Dalam ajaran Kanda Pat, dikenal adanya nyama papat / saudara empat yang ikut lahir saat manusia dilahirkan. Setelah melalui proses penyucian, saudara empat itu menjadi Ratu Wayan Tangkeb Langit, Ratu Ngurah Teba, Ratu Gede Jelawung dan Ratu Nyoman Sakti Pengadangan. Kempatnya itulah disebut sebagai dewanya taksu. Tidak lain adalah saudara kita lahir yang nantinya menemani manusia dalam kehidupannya.

Fungsi Taksu

Taksu berfungsi untuk memohon kesidhian atau keberhasilan untuk semua jenis profesi baik sebagai seniman, petani, pedagang, pemimpin masyarakat dll.  Yang dipuja ialah Dewi Saraswati, sakti (kekuatan) Dewa Brahma dengan Bhiseka Hyang Taksu yang memberikan daya magis agar semua pekerjaan berhasil baik.
Visit Our Sponsor

Kamis, 20 Februari 2020

TENTANG DEWA HYANG/DEWA PITARA DALAM HINDU-BALI

Agama Hindu khususnya di Bali mempunyai keyakinan tentang Dewa Hyang atau Dewa Pitara, Dewa Hyang atau Dewa Pitara adalah atman leluhur yang telah mencapai alam Swah Loka (Alam Dewa – Dewi dan Brahman) karena Sang Hyang Atma yang sudah mencapai tingkatan Dewa Pitara diyakini setara dengan Dewa.
sanggah
Untuk mencapai tahapan Dewa Pitara ada beberapa upacara yang mesti dilakukan seperti upacara ngaben dan memukur / nyekah. Dalam Lontar Gayatri disebutkan bahwa saat orang meninggal rohnya disebut Preta.  Kemudian setelah melalui prosesi upacara ngaben maka rohnya disebut Pitra . Dalam prosesi upacara ngaben terdapat upacara yang disebut Sawa Wedana Tujuan Sawa Wedana ialah untuk mengembalikan unsur- unsur Panca Maha Bhuta (Sthula sarira) dan menyucikan atma orang yang telah meninggal dunia.
Jika upacara ngaben telah dilewati maka nantinya akan dilanjutkan dengan Memukur atau Nyekah. Tujuan Memukur atau Nyekah adalah untuk memutuskan ikatan atma roh leluhur dari unsur Panca Maha Bhuta danPanca Tan Matra.  Ini merupakan rangkain dari upacara Atma Wedana, yang mana Atma Wedana merupakan upacara yang bertujuan untuk menyucikan suksma sarira dan atma sebagai kelanjutan dari upacara Sawa Wedana. Setelah melalui semua prosesi upacara maka roh suci itu disebut Dewa Pitara.
Upacara Ngalinggihang Dewa Pitara (Dewa Hyang) dapat dilaksanakan berupa menstanakan kembali atma (roh suci) yang diyakini telah mencapai “Atmasiddha dewata”.
di Sanggah Kamulan (Pemerajan) atau Pura Kawitan (Pura Leluhur).

Tujuan Ngalinggihan Dewa Pitara

Upacara Ngalinggihang Dewa Pitara (Menstanakan Dewa Hyang/ Atma leluhur diyakini telah suci) bertujuan untuk menjalin bhakti keturunan atau santana dengan para leluhur di samping juga melalui para leluhur umat manusia dapat lebih mendekatkan dirinya kepada Sang Hyang Widhi.
Adapun fungsi upacara pemujaan kepada para leluhur ini adalah sebagai sarana supaya para leluhur dapat memberikan perlindungan dan pengayoman kepada keturunannya, di samping untuk dapat menghubungkan umat manusia kepada Sang Hyang Widhi Wasa.
(sumber : babadbali.com, sejarahharirayahindu.blogspot.com)

Visit Our Sponsor

Rabu, 19 Februari 2020

PENGERTIAN DEWA DALAM HINDU

Dalam Agama Hindu dipercaya terdapat 33 Dewa, hal tersebut dijelaskan dalam Reg. Weda. Yang mana ketiga puluh tiga Dewa tersebut merupakan manifestasi dari kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya ke 33 dewa tersebut dibedakan menurut tempat dan tugasnya masing-masing seperti tertuang dalam Rg. Weda.I. 139.11 yang berbunyi:
Wahai para dewa (33 dewa): 11 di sorga, 11 di bumi, 11 berada di langit, semoga engkau bersuka cita dengan persembahan suci ini.
dewa tri murti


Dalam Satapatha Brahmana, XIV.5) disebutkan:
Sesungguhnya Ia mengatakan: adalah kekuatan yang agung dan dasyat sebanyak 33 dewa. Siapakah dewata itu? Mereka adalah delapan wasu, 11 Rudra, 12 aditya. Jumlah seluruhnya 31, (kemudian ditambah) Indra dan Prajaapati, seluruhnya menjadi 33 dewata.
Delapan Vasu  tersebut adalah:
  1. Anala: (agni; dewa api)
  2. Dhavaa (dewa bumi)
  3. Anila atau Vayu (dewa angin)
  4. Prabhasa atau dyaus (dewa langit)
  5. Pratyusa atau surya (dewa matahari)
  6. Aha atau savitr (dewa antariksa)
  7. Candraa atau somma (dewa bulan)
  8. Druva atau Druha (dewa konstelasi planet)
Adapun kesebelas dewa lainnya, Rudra (ekadasarudra) diyakini sebagai dewa Siwa dalam bentuk murti atau marah (kodra) yang menguasai 11 penjuru dialam raya. Meski jumlah dewa itu banyak namun tugas utama tetap dipengang oleh trimurti yang sebelumnya mengalami perubahan istilah yaitu:
  1. Dewa Agni diganti dan disamakan dengan dewa Brahma  yang berfungsi sebagai pencipta.
  2. Dewa Indra dan Bayu diganti dan disamakan dengan Dewa Wisnu. Di dalam Veda, Wisnu  adalah nama lain dari dewa Surya. Wisnu sebagai dewa pemelihara.
  3. Dewa surya diganti dan disamakan dengan dewa siwa, berfungsi sebagai dewa pelebur, melebur kembali segala sesuatu yang tidak berfungsional lagi.

Pengertian Dewa Dalam Hindu

Dewa (Deva) berasal dari “Div” yang artinya sinar/bersinar.  Dapat diartikan bahwa Dewa merupakan sinar dari Tuhan. Lantas apakah Dewa dapat disamakan dengan Tuhan? Tentu saja tidak, karena Tuhan ialah Maha Esa, yang hanya satu dan satu-satunya. Kepada Beliaulah kita menunjukan sujud bakti kita.
Tuhan dan Dewa dapat dianalogikan seperti Matahari dan Sinarnya. Matahari hanya ada satu tapi dia memberikan banyak sinar dengan fungsi yang berbeda-beda. Seperti itulah Tuhan yang menciptakan banyak sinar (Para Dewa) yang memiliki fungsi berbeda-beda atau yang mempunyai tugas berbeda-beda.
Itulah mengapa dikatakan para Dewa adalah manifestasi dari Tuhan dan bukanlah Tuhan, dalam artian para Dewa tidak setingkat dengan Tuhan.  Dalam kitab-kitab Weda dijelaskan bahwa para Dewa tidak dapat bergerak bebas tanpa kehendak Tuhan. Para Dewa juga tidak dapat menganugerahkan sesuatu tanpa kehendak Tuhan. Para Dewa, sama seperti makhluk hidup yang lainnya, bergantung kepada kehendak Tuhan.

Antara Memuja Tuhan dan Dewa

Didalam Agama Hindu yang dipuja ialah Tuhan Yang Maha Esa. Lantas apakah ketika memuja para Dewa dikatakan salah? tidak dapat dikatakan demikian. Karena memuja Para Dewa lebih mengarah kepada wujud terima kasih kita karena para Dewa telah menjaga keseimbangan alam dan mengatur kehidupan sesuai dengan tugasnya masing-masing.
Didalam Kitab Suci Bhagavad Gita telah dijelaskan bahwa Dewa merupakan perantara Tuhan. Yang mana dapat diartikan melalui para Dewa kita memuja Tuhan. Tapi apakah disini dapat dikatakan menyekutukan Tuhan? Itu mungkin kalimat yang sering menjadi pertanyaan  bagi kita umat Hindu maupun non Hindu.
Sesungguhnya dalam Hindu, Tuhan juga disebut sebagai Acintya yang memiliki arti ‘Dia yang tak terpikirkan,’ ‘Dia yang tak dapat dipahami,’ atau ‘Dia yang tak dapat dibayangkan.’ Dan bagaimana mungkin kita yang hanya manusia biasa, yang memiliki pemikiran terbatas dapat menjangkau Tuhan.
Ibarat pergi kesebuah tempat yang asing nan jauh kita memerlukan peta (petunjuk arah) untuk sampai pada tujuan. Seperti itulah makna “Dewa merupakan Perantara Tuhan”. Untuk sampai pada Tuhan yang tak terpikirkan, yang tak terbayangkan. Tuhan menciptakan sinarnya (para Dewa) untuk dapat mengantarkan kita kepada akhir tujuan yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
Seperti yang telah tertuang dalam Kitab Suci Weda,
Moksartham Jagadhita ya ca iti Dharma
Artinya: bahwa agama (dharma) bertujuan untuk mencapai kebahagiaan rohani dan kesejahteraan hidup jasmani atau kebahagiaan secara lahir dan bathin (Moksa)
Begitu pula dalam Bhagavad Gita telah dijelaskan
Brahmabhūtah prasannātmā, na sochati na kānkshati, samah sarveshu bhūteshu, madbhaktim labhate param (Bhagawadgita, XVIII.54).
Artinya : Setelah menjadi satu dengan Brahman jiwanya tentram, tiada duka tiada nafsu-birahi, memandang semua mahluk-insani sama, ia mencapai pengabdian kepada-Ku yang tertinggi.

Telah dijelaskan bahwa moksa ialah tujuan akhir manusia bukanlah surga, karena surga hanyalah persinggahan sementara untuk menerima pahala dari segala perbuatan baik kita semasa hidup.
Jadi memuja Dewa tidaklah menyekutukan Tuhan akan tetapi ada yang harus diingat bahwa didalam Bhagavad Gita dikatakan :
Orang orang yang menyembah dewa dewa dengan penuh keyakinan sesungguhnya hanya menyembahku, tetapi mereka melakukannya dengan cara yang keliru , hai putra Kunti (Bagavad gita 9,23)
Dari sloka diatas kita harus ingat bahwa memuja Dewa ialah bentuk terima kasih kita atas segala rahmat dan anugerah yang diberikan para Dewa dan tentunya semua atas ijin dan kehendak Tuhan. Dan juga memuja Dewa sebagai bentuk permohonan kita agar senantiasa menjaga dan mengarahkan kita agar selalu dalam jalan-Nya hingga nanti sampai pada-Nya.

Visit Our Sponsor

MAKNA TIRTHA DALAM TRADISI HINDU-BALI

Didalam persembahyangan agama Hindu, salah satu sarana yang penting adalah air. Yang biasa digunakan untuk membersihkan tangan sebelum persembahyangan dimulai serta menjadi air suci yang  disebut dengan Tirtha. Kata “Tirtha” berasal dari bahasa Sansekerta yang memiliki arti kesucian atau setitik air, air suci, bersuci dengan air.
Tirtha berfungsi untuk membersihkan diri dari kotoran maupun kecemaran pikiran. Yang mana dalam penerapan pemakaianna yaitu dipercikan dikepala, diminum dan diusapkan dimuka. Itu sebagai simbolis pembersih bayu,sabda dan idep.
makna nunas tirtha

Macam-Macam Tirtha

Dalam melakukan persembahyangan Tirtha terbagi menjadi dua jenis yaitu Tirtha Pembersih dan Tirtha Wangsuhpada. Tirtha Pembersih berfungsi untuk menyucikan upakara(bebanten) yang dipakai sarana persembahan dan juga dipakai untuk menyucikan diri dari segala kekotoran. Biasanya Tirtha Pembersihan dipergunakan sebelum inti persembahyangan dilakukan. Setelah upakara dan diri sendiri diperciki tirtha pembersihan baru dilangsukan persembahyangan.
Sedangkan Tirta Wangsuhpada merupakan lambang karunia / wara nugraha  Ida Bhatara kepada umat yang memuja berupa Amrta (kehidupan yang sejahtera). Biasanya Tirtha Wangsuhpada dipergunakan ketika persembahyangan selesai. Jadi fungsi tirtha dalam persembahyangan adalah sebagai pembuka dan penutup persembahyangan.
Tirtha juga dapat dibedakan dari cara memperolehnya yaitu sebagai berikut :
1. Tirtha yang dibuat oleh Sulinggih
Pembuatan Tirtha oleh Sulinggih/ Sang Diksita / Sang Dwijati khususnya untuk tirtha pembersihan, sebagai dasar untuk penggunaan jenis tirtha yang lainnya. Tirtha yang didapat dengan membuat hanya boleh dibuat oleh Sulinggih atau Pendeta (Dwijati). Selain Tirtha pembersihan, juga ada Tirtha Pengelukatan yang mana juga sebagai pokok pada setiap upacara.
2. Tirtha yang didapat melalui memohon  (nuur) oleh Pemangku, Pinandita atau Sang Yajamana (penyelenggara upacara).
Jenis Tirtha ini disebut Tirtha Wangsuhpada, kekuluh atau banyun cokor.  Biasanya terdapat di suatu pura atau tempat suci. Permohonan tirtha wangsuhpada, kekuluh atau banyun cokor dilaksanakan oleh pemangku yang bersangkutan.
Tirtha yang dimohon di pura oleh pemangku yang bersangkutan seperti tirtha pembersihan atau penglukatan bebanten upakara dan umat yang akan bersembahyang berfungsi untuk pembersih atau penyucian. Dan sebagai simbolis / sarana untuk mendorong umat untuk menyucikan diri dengan mengheningkan rohaninya untuk dapat lebih mudah mendekatkan dirinya kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Jika ditinjau dari Fungsinya Tirtha dapat dibedakan sebagai berikut:
  1. Tirtha Pembersihan
  2. Tirtha Pengelukatan
  3. TIrtha Wangsuhpada
  4. Tirtha Pemanah
  5. Tirtha Penembak
  6. Tirtha Pengentas
Dapat disimpulkan sesungguhnya Tirtha adalah benda materi yang sakral, yang mampu menumbuhkan perasaan dan pikiran yang suci. Jadi Tirtha bukanlah air biasa semata. Dan untuk membuktikan kesucian tirtha harus dilandaskan pada Kepercayaan. Karena tirtha adalah sarana  agama. Dalam membuktikan kebenaran agama dasar utamanya adalah kepercayaan.  Jadi tanpa dilandaskan kepercayaan semeton tidak akan mampu membuktikan  bahwa tirtha bukanlah air biasa. Jadi kita harus dapat mengayakini diri kita bahwa didalam Tirtha terdapat kekuatan spiritual dari para Dewa sebagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa.
(sumber : Buku Arti dan Fungsi Sarana Persembahyangan)

Visit Our Sponsor

MAKNA DAN PENEMPATAN BIJA DALAM PERSEMBAHYANGAN,HINDU-BALI

Dalam persembahyang selain nunas Tirtha kita juga nunas bija (mebija atau mewija). Bija atau wija di dalam bahasa Sansekerta  disebut gandaksata yang berasal dari kata ganda dan aksata yang artinya biji padi-padian yang utuh serta berbau wangi.
bija
Wija atau bija biasanya dibuat dari biji beras yang dicuci dengan air bersih atau air cendana. Kadangkala juga dicampur kunyit (Curcuma Domestica VAL) sehingga berwarna kuning, maka disebutlah bija kuning.

Makna Bija

Wija atau bija adalah lambang Kumara, yaitu putra atau wija Bhatara Siwa. Pada hakekatnya yang dimaksud dengan Kumara adalah benih ke-Siwa-an/Kedewataan  yang bersemayam dalam diri setiap orang. Mawija mengandung makna menumbuh- kembangkan benih ke-Siwa-an itu dalam diri orang.  Sehingga disarankan agar dapat menggunakan beras galih yaitu beras yang utuh, tidak patah (aksata). Alasan ilmiahnya, beras yang pecah atau terpotong tidak akan bisa tumbuh.

- Jasa Tata Rias Denpasar

Tata Cara Menempatkan Bija

Dalam menumbuh kembangkan benih ke-Siwa-an / Kedewataan dalam tubuh, tentu meletakkannya juga tidak sembarangan. Ibaratnya menumbuh kembangkan tananam buah kita tidak bisa menamamnya sembarangan haruslah di tanah yang subur. Maka dari itu menaruh bija di badan manusia ada aturannya, agar dapat menumbuh kembangkan sifat kedewataan /ke-Siwa-an dalam diri.
Hendaknya bija diletakan pada titik-titik yang peka terhadap sifat dari  kedewataan /ke-Siwa-an. Dan titik-titik dalam tubuh tersebut ada lima yang disebut Panca Adisesa. Yaitu sebagai berikut:
  1. Di pusar yang disebut titik manipura cakra.
  2. Di hulu hati (padma hrdaya) zat ketuhanan diyakini paling terkonsentrasi di dalam bagian padma hrdaya ini (hati berbentuk bunga tunjung atau padma). Titik kedewataan ini disebut Hana hatta cakra.
  3. Di leher, diluar kerongkongan atau tenggorokan yang disebut wisuda cakra.
  4. Di dalam mulut atau langit-langit.
  5. Di antara dua alis mata yang disebut anjacakra.sebenarnya letaknya yang lebih tepat, sedikit diatas, diantara dua alis mata itu.
Pada umumnya dikarenakan ketika persembahyangan dalam sarana pakaian lengkap tentu tidak semua titik-titik tersebut dapat dengan mudah diletakkan bija. Maka cukup difokuskan pada 3 titik yaitu :
  1. Pada Anja Cakra, sedikit diatas, diantara dua alis. Tempat ini dianggap sebagai tempat mata ketiga (cudamani). Penempatan  bija di sini diharapkan menumbuhkan dan memberi sinar-sinar kebijaksanaan kepada orang yang bersangkutan.
  2. Pada Wisuda Cakra, Di leher, diluar kerongkongan atau tenggorokan. Sebagai simbol penyucian  dengan harapan agar mendapatkan kebahagiaan.
  3. Di mulut, langsung ditelan jangan digigit atau dikunyah. Alasannya seperti tadi kalau dikunyah beras itu akan patah dan akhirnya tak tumbuh berkembang sifat kedewataan manusia.Sebagai simbol untuk menemukan kesucian rohani dengan harapan agar memperoleh kesempurnaan hidup.

Kenyataannya hingga dewasa ini dalam masyarakat Hindu-Bali, selain pada titik-titik diatas. Ada juga yang meletakkan pada titik-titik yang lain. Misalnya ditaruh diatas pelipis, sebelah luar atas alis kanan dan kiri. Ada juga yang menaruh pada pangkal di telingah bagian luar.
Bisa dikatakan kurang tepat menaruh bija selain pada 3 titik-titik yang telah disebutkan diatas. Karena titik-titik yang lain dalam tubuh kurang peka terhadap sifat kedewataan atau Tuhan yang ada dalam diri manusia. Sehingga cukup sulit menumbuh kembangkan sifat Kedewataan dalam diri.
Jadi dapat disimpulkan bahwa makna dari penggunaan Bija dalam persembahyangan ialah untuk menumbuh kembangkan sifat Kedewataan/ Ke-Siwa-aan / sifat Tuhan dalam diri. Seperti yang disebutkan dalam Upanisad bahwa Tuhan memenuhi alam semesta tanpa wujud tertentu tidak berada di surga atau di dunia tertinggi melainkan ada pada setiap ciptaan-Nya.