Rabu, 25 Maret 2020

MAKNA DAN TUJUAN UPACARA POTONG GIGI

upacara potong gigi

Dalam tradisi agama Hindu di Bali pada khususnya, ketika seorang anak mulai menginjak usia remaja atau sudah  dewasa wajib melaksanakan Upacara Potong Gigi. Upacara Potong Gigi atau yang biasanya juga disebut dengan istilah Mepandes,Metatah atau Mesangih merupakan upacara yang bermakna untuk menemukan hakekat manusia sejati yang terlepas dari belenggu kegelapan dari pengaruh Sad Ripu dalam diri manusia.
Sad Ripu adalah enam jenis musuh yang timbul dari sifat-sifat asubha karma atau perbuatan yang tidak baik dalam diri manusia itu sendiri, yaitu :
  1. Kama, sifat penuh nafsu indriya.
  2. Lobha, sifat loba dan serakah.
  3. Krodha, sifat kejam dan pemarah.
  4. Mada, sifat mabuk dan kegila-gilaan
  5. Moha, sifat bingung dan angkuh.
  6. Matsarya, sifat dengki dan irihati.

Ciri-ciri Fisik Siap Metatah

Upacara Potong Gigi merupakan bagian dari Manusa Yadnya, yang pada hakikatnya jika ciri-cirinya secara fisik sudah menginjak remaja dapat melaksanakan Upacara Potong Gigi. Ciri- cirinya adalah sebagai berikut:
  • Pada wanita dapat dilakukan setelah mendapatkan menstruasi yang pertama.
  • Pada pria dapat dilakukan setelah mengalami perubahan suara.
Ciri-ciri tersebut dapat dijadikan landasan awal bahwa si anak sudah siap untuk Metatah akan tetapi tidak diharuskan pada saat itu juga, karena harus ditunjang dari kesiapan finansial juga.

Tujuan Upacara Potong Gigi

Ada beberapa tujuan dari Upacara Potong Gigi yang tidak kalah penting untuk diketahui, yaitu sebagai berikut:
  • Menghilangkan kotoran diri dalam wujud kala, bhuta, pisaca dan raksasa dalam arti jiwa dan raga diliputi oleh watak Sad Ripu sehingga dapat menemukan hakekat manusia yang sejati.
  • Untuk dapat bertemu kembali dengan bapak dan ibu yang telah berwujud suci.
  • Untuk menghindari hukuman didalam neraka nanti yang dijatuhkan oleh Bhatara Yamadipati berupa mengigit pangkal bambu petung. Hal ini tertera dalam Lontar Atmaprasangsa.
  • Memenuhi kewajiban orang tua kepada anaknya untuk menjadi manusia yang sejati.

Susunan Upacara Potong Gigi

Berdasarkan ketentuan dalam lontar Dharma Kahuripan dan lontar Puja Kalapati, bahwa tahapan upacara potong gigi disebutkan sebagai berikut :
  • Magumi padangan, Upacara ini juga di sebut mesakapan kepawon dan dilaksanakan di dapur.
  • Nekeb, Upacara ini dilakukan di meten atau di gedong
  • Mabyakala, Ini dilakukan di halaman rumah di depan meten atau gedong.
  • Ke Merajan, atau tempat suci di dalam rumah. Urut – urutan upacara di merajan yaitu : Mohon penugrahan kepada Bhatara Hyang Guru, Menyembah Ibu dan Bapak, Ngayab caru ayam putih, Mohon tirtha (air suci) kepada Bhatara Hyang Guru, Ngerajah gigi (Menulis gigi dengan wijaksara) dan Di pahat taringnya secara tiga kali.
Menuju ketempat potong gigi, Urut – urutan upacaranya :
  • Sembahyang kepada Bhatara Surya dan kepada Bhatara Sang Hyang Semara Ratih dan mohon tirtha kepada beliau berdua.
  • Ngayab banten pengawak di bale dangin,
  • Metatah atau memotong / mengasah dua buah taring dan empat buah gigi seri pada rahang atas dan Turun dari tempat potong gigi, jalannya ke hilir dengan menginjak banten paningkeb.
Kembali ke meten / gedong tempat ngekeb. Bila ingin berganti pakaian, sekarang bias dilakukan mejaya – jaya di merajan. Urutan upacaranya :
  • Mabyakala
  • Sembahyang kepada : Bhatara Surya, Leluhur dan Bhatara Samudaya.
  • Menuju ke hadapan Sang Muput Upacara, disini dilakukan meeteh – eteh persediaan : prayascita, Pangrabodan, Ngayab pungun – pungun dan pajejiwan, Matirtha penglukatan, pebersihan dan kekuluh, Mejaya – jaya, Ngayab banten otonan, Ngayab banten pawinten-digunakan dan Mapadamel
  • Kembali ke meten/gedong tempat ngekeb.
  • Mapinton ke Pura Kahyangan Tiga, ke Pura Kawitan dan ke Pura lainnya yang menjadi pujaannya.
Hal penting yang dapat disimpulkan dan perlu diingat ialah tujuan dari upacara ini untuk meminimalkan sifat negatif dari orang yang bersangkutan, akan tetapi tidak berarti bahwa setelah upacara ini dilakukan orang itu sifatnya akan menjadi sepenuhnya baik . Semua kembali kepada pribadi masing-masing setiap orang. Apakah mempunyai dasar dan keinginan yang kuat dalam merubah diri menjadi pribadi yang lebih baik.
sumber:sejarahharirayahindu.blogspot.com
Visit Our Sponsor

Selasa, 24 Maret 2020

MENGENAL LEBIH DALAM TENTANG BHATARA HYANG GURU

bhatara hyang guru

Didalam agama Hindu khususnya di Bali, Bhatara Hyang Guru (Bhatara Guru) yang juga disebut SangHyang Pramesti Guru  adalah guru sejati. Bhatara Surya memberikan gelar kehormatan “Bhatara Guru” sebagai ucapan terima kasih karena telah menjadi salah satu anak muridnya Dewa Siwa. Gelar itu diberikan kepada beliau karena Dewa Siwa merupakan guru dari para Dewa.
Dalam lontar Sundarigama yang pada saat Pagerwesi merupakan hari Payogan Sang Hyang Pramesti Guru, kita sujud kepada-Nya, merenung dan memohon agar hidup kita ini direstui-Nya dengan kesentosan, kemanjuan hidup dll.
Dalam Tutur Gong Besi (kelompok naskah yang memuat ajaran Siwaistik) Bhatara Guru adalah Dewa Siwa itu sendiri dengan sebutan Ida Bhatara Dalem.
Ida Bhatara Dalem adalah Bhatara Guru sebagai Sanghyang Paramawisesa, karena semua rasa baik, rasa sakit, rasa sehat, rasa lapar dan sebagainya adalah beliau sumbernya.

Beliau adalah asal dari kehidupan, beliau memelihara alam semesta ini dan beliaulah penguasa alam kematian yang tidak ada melebihi beliau sehingga beliau juga disebutkan dengan Sanghyang Pamutering Jagat.
Karena kemahakuasaan beliau sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur, beliau disebut dengan banyak nama, sesuai dengan fungsi dan tempat beliau berstana. Yaitu sebagai berikut:
  1. Di Pura Puseh, beliau dipuja sebagai Sanghyang Triyodasa Sakti
  2. Di Pura Desa, beliau dipuja sebagai Sanghyang Tri Upasedhana
  3. Di Pura Bale Agung, beliau dipuja sebagai Sanghyang Bhagawati
  4. Di perempatan jalan raya beliau dipuja sebagai Sanghyang Catur Bhuwana.
  5. Di pertigaan jalan raya beliau dipuja sebagai Sanghyang Sapu Jagat
  6. Di Kuburan atau Setra Agung beliau dipuja sebagai Bhatara Durga
  7. Di tunon / di pemuwunan (tempat pembakaran mayat) beliau dipuja sebagai Sanghyang Bherawi.
  8. Di Pura Pengulun Setra, beliau dipuja sebagai Sanghyang Mrajapati
  9. Di Laut, beliau dipuja sebagai Sangyang Mutering Bhuwana
  10. Di Langit, beliau dipuja sebagai Bhuwana Taskarapat
  11. Di Gunung Agung, beliau dipuja sebagai Sanghyang Giri Putri
  12. Di Gunung Lebah, beliau dipuja sebagai Dewi Danu
  13. Di Pancuran Air, beliau dipuja sebagai Sanghyang Gayatri
  14. Di Aliran sungai, beliau dipuja sebagai Betari Gangga
  15. Di Sawah, beliau dipuja sebagai Dewi Uma
  16. Di Jineng atau lumbung padi, beliau dipuja sebagai Dewi Uma
  17. Di Bejana (Tempat beras0, beliau dipuja sebagai Sanghyang Pawitra Saraswati.
  18. Di dalam priuk Nasi / makanan, beliau dipuja sebagai Sanghyang Tri Merta
  19. Di Kemulan, beliau dipuja sebagai Sang Hyang Atma, di ruang kanan Pelinggih Kamulan adalah bapa disebutSang Hyang Paratmadi ruang kiri Kamulan adalah ibu disebut Sang Hyang Siwatmadi ruang tengahKamulan raganta menjadi Brahmasebagai ibu dan bapa menjadi Sang Hyang Tuduh.
sumber:sejarahharirayahindu.blogspot.com
Visit Our Sponsor

Senin, 23 Maret 2020

MEMAHAMI LEBIH DALAM AKAN MAKNA “OM SWASTIASTU”

cuntaka

Dalam Agama Hindu mengajarkan ketika bertemu dengan sesama menyapa dengan mengucapkan “Om Swastiastu” diharapkan agar dapat membina hubungan yang harmonis dan mempererat rasa persaudaraan dalam pergaulan di masyarakat. Salam ”Om Swastyastu” itu tidak memilih waktu. Ia dapat diucapkan pagi, siang, sore dan malam.

Makna Om Swastiastu

“OM” artinya Tuhan, “SU” artinya baik, “ASTI” artinya ada dan “ASTU” artinya semoga, jadi keseluruhannya berarti SEMOGA SELAMAT ATAS RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Dengan demikian maka pada setiap kegiatan telah dilaksanakan saling doa mendoakan satu sama lain.
Biasanya dalam aksara Latin menggunakan “OM SWASTIASTU” jika dalam Aksara Bali “OM SWASTYASTU” karena jika dalam Aksara Bali jika ‘i’ ketemu ‘a’ maka ada nania yang akan menjadi ‘y’.
Setelah mengucapkan Om dilanjutkan dengan kata ”swasti”. Dalam bahasa Sansekerta kata swasti artinya selamat atau bahagia, sejahtera. Dari kata inilah muncul istilah swastika, simbol agama Hindu yang universal. Kata swastika itu bermakna sebagai keadaan yang bahagia atau keselamatan yang langgeng sebagai tujuan beragama Hindu. Lambang swastika itu sebagai visualisasi dari dinamika kehidupan alam semesta yang memberikan kebahagiaan yang langgeng.
Adapun bentuk asli dari lambang Swastika ialah dua garis vertikal dan horisontal bersilang sama sisi, tegak lurus di tengah- tengah (+), seperti berikut:
lambang1
Sebagai kreasi seni budaya yang selalu berkembang, Swastika juga mengalami perkembangan sehingga kemudian menjadi berbentuk seperti berikut:
lambang swastika
Jadi bisa disimpulkan makna “OM SWASTIASTU” selain merupakan salam juga merupakan sebuah doa. Jika kita saling mengucapkan salam maka sama artinya kita saling mendoakan. Tapi dewasa ini semakin banyaknya kata-kata yang disingkat-singkat, termasuk Om Swastiastu pun disingkat menjadi OSA. Biasanya banyak dilihat ketika broadcast message ucapan hari raya, dan di sosial media pun banyak bisa ditemui.
Jika pendapat kami, singkatan pada salam Om Swastiastu akan dapat mengurangi maknanya sendiri, karena ketika kita mengucapkan OSA, belum tentu mereka yang membacanya akan memahami bahwa OSA adalah Om Swastiastu. Tidak bermaksud untuk menjadi terlihat fanatik tapi jika sudah memahi akan makna dari salam Om Swastiastu yang merupakan sebuah doa, tentu dalam doa diperlukan keikhlasan dan ketulusan. Ketika doa itu disingkat tentu akan tercermin kurangnya keikhlasan dan ketulusan dalam menyampaikan doa.
Semoga artikel ini dapat bermanfaat untuk semeton. Jika ada penjelasan yang kurang lengkap ataupun kurang tepat. Mohon dikoreksi bersama. Suksma…
sumber:babadbali.com
Visit Our Sponsor

Minggu, 22 Maret 2020

DEWI GAYATRI DALAM AJARAN AGAMA HINDU

Dewi Gayatri

Keberadaan tentang sosok Dewi Gayatri dalam lingkungan masyarakat Hindu Bali khususnya bisa dikatakan belum cukup populer. Dalam artian masih cukup banyak yang belum mengetahui tentang Beliau.
Dewi Gayatri merupakan dewi yang dikenal sebagai penyebab awal dari segala sesuatu yang baik yang telah ada, yang sedang ada maupun yang akan ada nanti nya. Dan semua literatur kitab suci Weda menyatakan bahwa Gayatri merupakan Dewi segala mantra.
Konon Gayatri sendiri yang adalah manifestasi dari lima bentuk bunda alam-semesta ini bersifat maha prakriti (Maya, ilusi Ilahi).  Kelima dewi ini adalah Saraswati-Laksmi-Durga-Uma dan Kali, yang membaur menjadi satu bentuk dominan di seluruh alam semesta ini, baik di alam buana-alit maupun buana-agung.  Gayatri lahir dari Sang Pencipta Brahman pada awal penciptaan dunia ini yang tersirat di Veda sebagai  mantra yang bersifat universal, yaitu suatu bentuk Pengagungan dari Yang Maha Kuasa dalam bentuk seorang Bunda alam-semesta itu sendiri dengan kelima bentuk kewajibanNya.  Itulah sebabnya walaupun memiliki hanya satu raga, Beliau berkepala kelima dewi di atas tersebut.
Dalam cerita mythologis tentang Dewi Gayatri , diceritakan bahwa Beliau dipuja oleh Dewa Tri Murti ( Dewa Brahma, Dewa Wisnu, Dewa Siwa) sebagai ibu pengasuh ketika para Dewa Tri Murti masih kecil.
Secara spiritual Gayatri dianggap hadir selama 9 bulan 10 hari di dalam rahim seorang ibu yang sedang mengandung, dan selama itu pula sang jabang bayi belajar akan hakikat Tuhan Yang Maha esa dengan segala fenomenaNya baik di alam  bumi ini maupun di buana-agung dimana Beliau senantiasa maha hadir dimana saja.

Gayatri Mantra

Gayatri adalah doa universal yang ada dalam Weda, dan Gayatri adalah sari pati ajaran Weda, karena empat pernyataan dasar yang dikandung oleh empat Weda (Catur Weda) diwujudkan dalam Gayatri mantra, dan mantra ini juga dianggap perwujudan dari semua dewa-dewi, sehingga tidak menjadi milik satu sekte atau aliran tertentu dan hanya mantra ini yang dapat menyatukan ratusan aliran (Samprathaya) yang terdapat di dalam agama Hindu.
Berikut adalah Gayatri Mantra yang tentu sudah tidak asing lagi bagi umat hindu karena merupakan bait pertama dari Puja Tri Sandhya
OM BHUR BUWAH SWAH
TAT SAWITUR WARENYAM
BHARGO DEWASYA DHIMAHI
DHIYO YO NAH PRACODAYAT
(Ya Tuhan, Engkau penguasa alam nyata, alam gaib, alam maha gaib)
(Engkaulah satu-satunya yang patut hamba sembah)
(Engkaulah tujuan hamba dalam semadhi)
(Terangilah jiwa hamba agar hamba berada dijalan yang lurus menuju Engkau)
Mantra Gayatri ini tercantum dalam Weda RegWeda III.62:10 yang ditemukan oleh Maharsi Wiswamitra, yang merupakan salah satu Sapta Rsi yang menerima wahyu langsung dari Hyang Widhi/Tuhan yang maha Esa.

Manfaat Gayatri Mantra

Mantram Gayatri akan melahirkan tiga hal jika dilakoni sebagai:
MANTRA = akan menambah kekuatan pikiran dan kebijaksanaan.
STOTRA = sebagai permohonan dan persembahan kepada Tuhan untuk kepentingan dharma agama, keluarga dan dharma negara.
KAVACA = sebagai senjata pelindung bagi kelanggengan dan keharmonisan hidup di kehidupan ini dan kehidupan yang akan datang.
Selain tiga pokok dari manfaat Gayatri Mantra diatas, terdapat kegunaan yang lain dapat dijabarkan sebagai berikut:
  1. Untuk Mengagungkan dan Menyembah Tuhan
  2. Untuk membuka ketujuh cakra utama yang ada dalam diri manusia
  3. Untuk mendoakan para leluhur
  4. Untuk mendoakan orang yang sedang sakit
  5. Untuk doa ketika akan tidur dll.
Tentunya kegunaannya dalam hal yang positif sangatlah banyak dan yang perlu diingat Gayatri Mantra tidak dapat digunakan untuk menyakiti atau merugikan orang lain. Karena jika kita mencoba untuk hal seperti itu maka akan berdampak pada diri sendiri.
Secara umum biasanya Gayatri Mantra diucapkan sebanyak 108 kali. Akan tetapi bisa juga dengan jumlah yang berbeda. Tergantung dari tujuan dan maksud dalam berjapa Gayatri Mantra.
Semoga artikel ini dapat bermanfaat untuk semeton. Jika ada penjelasan yang kurang lengkap ataupun kurang tepat mohon dikoreksi bersama. Dan tentunya akan sangat baik jika ada semeton yang mempunyai pengalaman dalam berjapa Gayatri Mantra dapat membagikan manfaat yang dirasakan. Agar dapat menambah wawasan kami sebagai penulis dan juga semeton-semeton yang lain. Suksma…
sumber:sejarahharirayahindu.blogspot.com,Hindu Bali,shantigriya.tripod.com

Sabtu, 21 Maret 2020

TENTANG KERAUHAN DALAM RITUAL AGAMA HINDU

kerauhan

Setiap daerah di penjuru Nusantara ini mempunyai tradisi yang berbeda-beda. Seperti halnya Bali yang mayoritas adalah umat Hindu, mempunyai banyak tradisi yang telah diwariskan turun temurun oleh para leluhur salah satunya adalah Kerauhan. Kerauhan tidak dapat disamakan dengan kerasukan karena kerauhan dilaksanakan dalam:
  • sebuah ritual keagamaan yang terdapat pemuput upacara (sulunggih/pemangku pura)
  • upacara atau upakara
  • hari suci atau piodalan
  • rangkaian upacara
  • pelaksanaanya di tempat suci (pura)
  • adanya Tapakan Kerauhan
  • dilaksanakan umat (pengempon pura)
  • adanya prosesi sakralisasi dan lain sebagainya.
Berdasarkan hal tersebut kekuatan suci yang masuk dalam tubuh Tapakan/Pengadegan Kerauhan adalah Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi-Nya. Akan tetapi jika tanpa adanya faktor-faktor diatas terjadi kerauhan pada seseorang maka itu lebih tepat dikatakan kerasukan. Dan perlu dipertanyakan apa yang merasuki orang tersebut.

Jenis-Jenis Kerauhan

Jenis-jenis Kerauhan dalam ritual upacara secara umum dapat dikategorikan menjadi 4 yaitu sebagai berikut:
1. Merangkak (tubuh menyentuh tanah)
Kerauhan dengan gerakan merangkak, yang merasuki tubuh Tapakan/Pengadegan Kerauhan adalah ancangan (kendaraan suci) Ida Bhattara/Bhattari.
2. Ngurek (menusuk diri dengan senjata tajam)
Kerauhan dengan gerakan Ngurek yang merasuki adalah pepatih Ida Bhattara/Bhattari.
3. Menari-Nari
Kerauhan dengan gerakan menari-nari yang merasuki adalah widyadara/widyadari
4. Diam
Kerauhan dengan tanpa gerakan (diam) yang merasuki adalah Ida Bhattara/Bhattari

Waktu-Waktu Kerauhan

Waktu Kerauhan dalam ritual agama Hindu di Bali dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu waktu umum dan khusus. Secara umum waktu Kerauhan dapat dibagi lagi menjadi 3 bagian yaitu :
1.  Nedunang Ida Bhattara
Nedunang Ida Bhattara berarti menghadirkan Ida Bhattara yang berstana di sebuah Pura. Biasanya Upacara Nedunang ini tidak sembarangan dilakukan, tentunya ada beberapa persyaratan yang dilaksanakan yaitu adanya upacara, adanya orang suci yang menghadirkan Beliau, adanya sarana upacara sebagai persembahan.
 2. Nglungang Ida Bhattara
Upacara ini berlangsung setelah Upacara Nedunang Ida Bhattara. Jadi ketika Ida Bhattara telah hadir diundang ke dunia, maka Beliau diiring ke pesucian atau ke beji oleh pengempon puraDengan Ida Bhattara distanakan di sebuah jempana yang dibuat khusus dengan kayu pilihan untuk diiring kepesucian. Prosesi Nglungang ini diikuti oleh para pengempon pura, penabuh gamelan dan beberapa Tapakan Kerauhan.
3. Ngwaliang Ida Bhattara
Pada prosesiNgwaliang/Mapamit Ida Bhattara/Bhattari dari Pura Beji. prosesi ini dilaksanakan apabila Ida Bhattara/Bhattari telah menyucikan Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit dengan diakhiri persembahyangan bersama, maka Ida Bhattara/Bhattari akan kembali ke parhyangan masing-masing. Prosesi ini pastinya diawali dengan suara genta, gemalan dan jempana dipundut serta berbagai atribut kelengkapan beriringan membentuk barisan berjajar dua. Tentunya kembali secara spontan Tapakan Kerauhanmulai menunjukkan fenomena Kerauhan dengan perilakumenujuparhyangan masing-masing. Setelah tiba di parhyangandilaksanakan Upacara Pemendakan dan Tapakan Kerauhan pun seperti biasa menunjukkan kekuatan suci Ida Bhattara yang telah merasuki dirinya dan disadarkan dengan diperciki tirtha (air suci) dari Pura tersebut.
Sedangkan waktu khusus dapat juga dibagi menjadi 3 yaitu pada waktu kurangnya sarana upacara, pada waktupuncak upacara dan ketika beliau memberikan nasehat atau bawos.

Sejata Dalam Kerauhan

Senjata yang telah dipersiapkan bukanlah untuk menakuti umat, melainkan memiliki simbol yaitu sebagai penghancur segala kekotoran atau yang sifatnya negatif. Dalam agama Hindu paradewa juga disimbolkan membawa senjata yang disebutAyudhadevataAyudha berarti “yang dibawa waktu perang”. Senjata para dewa itu pada umumnya dibedakan dalam 3 jenis, yaitu:
  1. Praharana            :     senjata yang dipakai memukul seperti tombak dan pedang.
  2. Panimukta :     Senjata yang ditembakan atau dilemparkan seperti cakram.
  3. Yantramukta :      senjata yang dilemparkan menggunakan tenaga atau alat tertentu seperti panah dengan bantuan busur.
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa pada tradisi kerauhan dalam ritual upacara agama Hindu adalah ketika kerauhan yang merasuki bukanlah roh jahat atapun setan. Melainkan roh yang suci atau baik yang akan memberikan petunjuk bagaimana melaksanakan ritual, sehingga melalui Kerauhan itu masyarakat dapat mengetahui apakah ritualnya itu lengkap, sempurna, atau kurang. Dan Kerauhan yang selalu terjadi pada setiap upacara khususnya Upacara Dewa Yadnya ditafsirkan sebagai unsur yang mengesahkan proses pelaksanaan ritual.
sumber: I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag.,M.Fil.H
foto:katronpedia.com
Visit Our Sponsor

Jumat, 20 Maret 2020

MAKNA & TUJUAN UPACARA NGABEN DALAM AGAMA HINDU

upcara ngaben

 Bali yang mayoritas penduduknya beragama Hindu, selalu mempunyai tradisi-tradisi yang menarik diketahui. Salah satunya adalah Upacara Ngaben, yang merupakan bagian dari rangkaian upacara Pitra Yadnya.
Ngaben secara umum didefinisikan sebagai upacara pembakaran mayat, tapi dari asal-usul etimologi itu bisa dikatakan kurang tepat, sebab ada tradisi ngaben yang tidak melalui pembakaran mayat. Ngaben sesungguhnya berasal dari kata beya artinya biaya atau bekal, kata beya ini dalam kalimat aktif (melakukan pekerjaan) menjadi meyanin. Kata meyanin sudah menjadi bahasa baku untuk menyebutkan upacara sawa wadhana. Boleh juga disebut Ngabeyain. Kata ini kemudian diucapkan dengan pendek, menjadi ngaben.

Makna dan Tujuan Upacara Ngaben

Secara garis besarnya Ngaben adalah untuk memproses kembalinya Panca Mahabhuta di alam besar ini dan mengantarkan Atma (Roh) ke alam Pitra dengan memutuskan keterikatannya dengan badan duniawi itu. Dengan memutuskan kecintaan Atma (Roh) dengan dunianya, Ia akan dapat kembali pada alamnya, yakni alam Pitra. Kemudian yang menjadi tujuan upacara ngaben adalah agar ragha sarira (badan / Tubuh) cepat dapat kembali kepada asalnya, yaitu Panca Maha Bhuta di alam ini dan Atma dapat selamat dapat pergi ke alam pitra.
Ada sebuah buku yang berjudul ”108 Mutiara Veda” Terbitan tahun 2001, tepatnya di halaman 107, ada tersurat yang dikutip dari: Yajurveda: 40-15. Dalam bukit itu disebutkan bahwa;
Wahai manusia, badanmu yang dibuat oleh panca mahabhuta akhirnya menjadi abu dan atmanya akan mendapat moksa.
Oleh karena itu, ingatlah nama Tuhan, yaitu AUM, ingatlah nama Tuhan AUM, dan ingatlah perbuatanmu.
Jadi dalam kitab suci veda samhita, dalam hal ini kitab yajurveda ada tersurat bahwa setiap orang (Hindu) yang meninggal mayatnya harus dibuat menjadi abu agar atmanya mencapai moksa. Tapi apakah dengan upacara ngaben langsung bisa mencapai surga atau moksa? Jika menurut kami sepertinya itu belum tentu. Bisa dilihat pada Kutipan dari Yajurveda diatas pada kalimat terakhir. “Ingatlah perbuatanmu” tentunya ketika kita sudah meninggal kita akan mempertanggung jawabkan perbuatan kita semasa hidup. Apakah pantas atau tidaknya untuk mencapai surga ataupun moksa.

Pelaksanaan Upacara Ngaben

Ngaben merupakan upacara yang besar dan tentunya itu memerlukan biaya yang tidak sedikit. Bagaimanakah bagi mereka yang kurang mampu? Agama Hindu fleksibel dan tentunya ada kebijakan-kebijakan mengenai kondisi demikian. Biasanya diadakannya ngaben massal yang tentu dari segi biaya akan lebih mengurangi. Dan dari beberapa penelusuran terhadap berbagai lontar di Bali, ngaben ternyata tidak selalu besar. Ada beberapa jenis ngaben yang justru sangat sederhana. Ngaben-ngaben jenis ini antara lain Mitrayadnya, Pranawa dan Swasta. Namun demikian, terdapat juga berbagai jenis upacara yang tergolong besar, seperti sawa prateka dan sawa wedhana. Berikut Jenis – jenis Ngaben Sederhana :
Mendhem Sawa 
Mendhem sawa berarti penguburan mayat. Di muka dijelaskan bahwa ngaben di Bali masih diberikan kesempatan untuk ditunda sementara, dengan alasan berbagai hal seperti yang telah diuraikan. Namun diluar itu masih ada alasan yang bersifat filosofis lagi, yang didalam naskah lontar belum diketemukan. Mungkin saja alasan ini dikarang yang dikaitkan dengan landasan atau latar belakang filosofis adanya kehidupan ini. Alasannya adalah agar ragha sarira yang berasal dari unsur prthiwi sementara dapat merunduk pada prthiwi dulu. Yang secara ethis dilukiskan agar mereka dapat mencium bunda prthiwi. Namun perlu diingatkan bahwa pada prinsipnya setiap orang mati harus segera di aben. Bagi mereka yang masih memerlukan waktu menunggu sementara maka sawa (jenasah) itu harus di pendhem (dikubur) dulu. Dititipkan pada Dewi penghuluning Setra (Dewi Durga).
Ngaben Mitra Yajna 
Ngaben Mitra Yajna Berasal dari kata Pitra dan Yajna. Pitra artinya leluhur, yajna berarti korban suci. Istilah ini dipakai untuk menyebutkan jenis ngaben yang diajarkan pada Lontar Yama Purwana Tattwa, karena tidak disebutkan namanya yang pasti. Ngaben itu menurut ucap lontar Yama Purwana Tattwa merupakan Sabda Bhatara Yama. Dalam warah-warah itu tidak disebutkan nama jenis ngaben ini. Untuk membedakan dengan jenis ngaben sedehana lainnya, maka ngaben ini diberi nama Mitra Yajna. Pelaksanaan Atiwa-atiwa / pembakaran mayat ditetapkan menurut ketentuan dalam Yama Purwana Tattwa, terutama mengenai upakara dan dilaksanakan di dalam tujuh hari dengan tidak memilih dewasa (hari baik).
Pranawa Pranawa
Pranawa Pranawa adalah aksara Om Kara. Adalah nama jenis ngaben yang mempergunakan huruf suci sebagai simbol sawa. Dimana pada mayat yang telah dikubur tiga hari sebelum pengabenan diadakan upacara Ngeplugin atau Ngulapin. Pejati dan pengulapan di Jaba Pura Dalem dengan sarana bebanten untuk pejati. Ketika hari pengabenan jemek dan tulangnya dipersatukan pada pemasmian. Tulangnya dibawah jemeknya diatas. Kemudian berlaku ketentuan seperti amranawa sawa yang baru meninggal. Ngasti sampai ngirim juga sama dengan ketentuan ngaben amranawa sawa baru meninggal, seperti yang telah diuraikan.
Pranawa Bhuanakosa 
Pranawa Bhuanakosa merupakan ajaran Dewa Brahma kepada Rsi Brghu. Dimana Ngaben Sawa Bhuanakosa bagi orang yang baru meninggal walaupun pernah ditanam, disetra. Kalau mau mengupakarai sebagai jalan dengan Bhuanakosa Prana Wa.
Swasta
Swasta artinya lenyap atau hilang. Adalah nama jenis ngaben yang sawanya (mayatnya) tidak ada (tan kneng hinulatan), tidak dapat dilihat, meninggal didaerah kejauhan, lama di setra, dan lain-lainnya, semuanya dapat dilakukan dengan ngaben jenis swasta. Walaupun orang hina, biasa, dan uttama sebagai badan (sarira) orang yang mati disimbolkan dengan Dyun (tempayan) sebagai kulit, benang 12 iler sebagai otot, air sebagai daging, balung cendana 18 potong. Pranawa sebagai suara, ambengan (jerami) sebagai pikiran, Recafana sebagai urat, ongkara sebagai lingga hidup. Tiga hari sebelum pengabenan diadakan upacara ngulapin, bagi yang meninggal di kejauhan yang tidak diketahui dimana tempatnya, upacara pengulapan, dapat dilakukan diperempatan jalan. Dan bagi yang lama di pendhem yang tidak dapat diketahui bekasnya pengulapan dapat dilakukan di Jaba Pura Dalem.
Secara umum rangkaian pelaksanaan ritual upacara adat ngaben ini sebagai berikut :
  1. Ngulapin, Ngulapin bermakna sebagai upacara untuk memanggil Sang Atma. Upacara ini juga dilaksanakan apabila yang bersangkutan meninggal di luar rumah yang bersangkutan (misalnya di Rumah Sakit, dll). Upacara ini dilaksanakan berbeda sesuai dengan tata cara dan tradisi setempat, ada yang melaksanakan di perempatan jalan, pertigaan jalan, dan kuburan setempat.
  2. Nyiramin/Ngemandusin, Merupakan upacara memandikan dan membersihkan jenazah, upacara ini biasa dilakukan dihalaman rumah keluarga yangbersangkutan (natah). Pada prosesi ini juga disertai dengan pemberian simbol-simbol seperti bunga melati di rongga hidung, belahan kaca di atas mata, daun intaran di alis, dan perlengkapan lainnya dengan tujuan mengembalikan kembali fungsi-fungsi dari bagian tubuh yang tidak digunakan ke asalnya, serta apabila roh mendiang mengalami reinkarnasi kembali agar dianugrahi badan yang lengkap (tidak cacat).
  3. Ngajum Kajang, Kajang adalah selembar kertas putih yang ditulisi dengan aksara-aksara magis oleh pemangku, pendeta atau tetua adat setempat. Setelah selesai ditulis maka para kerabat dan keturunan dari yang bersangkutan akan melaksanakan upacara ngajum kajang dengan cara menekan kajang itu sebanyak 3x, sebagai simbol kemantapan hati para kerabat melepas kepergian mendiang dan menyatukan hati para kerabat sehingga mendiang dapat dengan cepat melakukan perjalanannya ke alam selanjutnya.
  4. Ngaskara, Ngaskara bermakna penyucian roh mendiang. Penyucian ini dilakukan dengan tujuan agar roh yang bersangkutan dapat bersatu dengan Tuhan dan bisa menjadi pembimbing kerabatnya yang masih hidup di dunia.
  5. Mameras, Mameras berasal dari kata peras yang artinya berhasil, sukses, atau selesai. Upacara ini dilaksanakan apabila mendiang sudah memiliki cucu, karena menurut keyakinan cucu tersebutlah yang akan menuntun jalannya mendiang melalui doa dan karma baik yang mereka lakukan.
  6. Papegatan, Papegatan berasal dari kata pegat, yang artinya putus, makna upacara ini adalah untuk memutuskan hubungan duniawi dan cinta dari kerabat mendiang, sebab kedua hal tersebut akan menghalangi perjalan sang roh menuju Tuhan. Dengan upacara ini pihak keluarga berarti telah secara ikhlas melepas kepergian mendiang ke tempat yang lebih baik. Sarana dari upacara ini adalah sesaji (banten) yang disusun pada sebuah lesung batu dan diatasnya diisi dua cabang pohon dadap yang dibentuk seperti gawang dan dibentangkan benang putih pada kedua cabang pohon tersebut. Nantinya benang ini akan diterebos oleh kerabat dan pengusung jenazah sebelum keluar rumah hingga putus.
  7. Pakiriman Ngutang, Setelah upacara papegatan maka akan dilanjutkan dengan pakiriminan ke kuburan setempat, jenazah beserta kajangnya kemudian dinaikan ke atas Bade/Wadah, yaitu menara pengusung jenazah (hal ini tidak mutlak harus ada, dapat diganti dengan keranda biasa yang disebut Pepaga). Dari rumah yang bersangkutan anggota masyarakat akan mengusung semua perlengkapan upacara beserta jenazah diiringi oleh suara Baleganjur (gong khas Bali) yang bertalu-talu dan bersemangat, atau suara angklung yang terkesan sedih. Di perjalan menuju kuburan jenazah ini akan diarak berputar 3x berlawanan arah jarum jam yang bermakna sebagai simbol mengembalikan unsur Panca Maha Bhuta ke tempatnya masing-masing. Selain itu perputaran ini juga bermakna: Berputar 3x di depan rumah mendiang sebagai simbol perpisahan dengan sanak keluarga. Berputar 3x di perempatan dan pertigaan desa sebagai simbol perpisahan dengan lingkungan masyarakat. Berputar 3x di muka kuburan sebagai simbol perpisahan dengan dunia ini.
  8. Ngeseng, Ngeseng adalah upacara pembakaran jenazah tersebut, jenazah dibaringkan di tempat yang telah disediakan , disertai sesaji dan banten dengan makna filosofis sendiri, kemudian diperciki oleh pendeta yang memimpin upacara dengan Tirta Pangentas yang bertindak sebagai api abstrak diiringi dengan Puja Mantra dari pendeta, setelah selesai kemudian barulah jenazah dibakar hingga hangus, tulang-tulang hasil pembakaran kemudian digilas dan dirangkai lagi dalam buah kelapa gading yang telah dikeluarkan airnya.
  9. Nganyud, Nganyud bermakna sebagai ritual untuk menghanyutkan segala kekotoran yang masih tertinggal dalam roh mendiang dengan simbolisasi berupa menghanyutkan abu jenazah. Upacara ini biasanya dilaksakan di laut, atau sungai.
  10. Makelud, Makelud biasanya dilaksanakan 12 hari setelah upacara pembakaran jenazah. Makna upacara makelud ini adalah membersihkan dan menyucikan kembali lingkungan keluarga akibat kesedihan yang melanda keluarga yang ditinggalkan. Filosofis 12 hari kesedihan ini diambil dari Wiracarita Mahabharata, saat Sang Pandawa mengalami masa hukuman 12 tahun di tengah hutan
sumber:Ida Pedanda Made Gunung, budayaindonesia.net
foto:cariwisatabali.blogspot.com
Visit Our Sponsor

Kamis, 19 Maret 2020

MAKNA DARI SEGEHAN

segehan

Segehan adalah tingkatan kecil / sederhana dari Upacara Bhuta Yadnya. Sedangkan tingkatan yang lebih besar lagi disebut dengan tawur. Kata segehan, berasal kata “Sega” berarti nasi jika dalam bahasa Jawa adalah sego. Oleh sebab itu, banten segehan ini isinya didominasi oleh nasi dalam berbagai bentuknya, lengkap beserta lauk pauknya. Bentuk nasinya ada berbentuk nasi cacahan (nasi tanpa diapa-apakan), kepelan (nasi dikepal), tumpeng (nasi dibentuk kerucut) kecil-kecil atau dananan.
Wujud banten segehan berupa alas taledan (daun pisang, janur), diisi nasi, beserta lauk pauknya yang sangat sederhana seperti “bawang merah, jahe, garam” dan lain-lainnya. dipergunakan juga api takep (dari dua buah sabut kelapa yang dicakupkan menyilang, sehingga membentuk tanda + atau swastika), bukan api dupa, disertai beras dan tatabuhan air, tuak, arak serta berem.

Makna Segehan

Segehan artinya “Suguh” (menyuguhkan), dalam hal ini segehan di haturkan kepada para Bhutakala agar tidak mengganggu dan  juga Ancangan Iringan Para Betara dan Betari, yang tak lain adalah akumulasi dari limbah/kotoran yang dihasilkan oleh pikiran, perkataan dan perbuatan manusia dalam kurun waktu tertentu. Dengan segehan inilah diharapkan dapat menetralisir dan menghilangkan pengaruh negative dari limbah tersebut. Segehan juga dapat dikatakan sebagai lambang harmonisnya hubungan manusia dengan semua ciptaan Tuhan (palemahan).
Segehan ini biasanya dihaturkan setiap hari. Penyajiannya diletakkan di bawah / sudut- sudut natar Merajan / Pura atau di halaman rumah dan di gerbang masuk bahkan ke perempatan jalan. Segehan dan juga Caru banyak disinggung dalam lontar Kala Tattva, lontar Bhamakertih. Dalam Susastra Smerti (Manavadharmasastra) ada disebutkan bahwa setiap kepala keluarga hendaknya melaksanakan upacara Bali (suguhan makanan kepada alam) dan menghaturkan persembahan di tempat-tempat terjadinya pembunuhan, seperti pada ulekan, pada sapu, pada kompor, pada asahan pisau, pada talenan.

Jenis-Jenis Segehan

1. Segehan Kepel Putih
Segehan kepel putih ini adalah segehan yang paling sederhana dan biasanya seringkali di haturkan setiap hari.
2. Segehan Putih Kuning
Sama seperti segehan putih, hanya saja salah satu nasinya diganti menjadi warna kuning.
biasanya segehan putih kuning ini di haturkan di bawah pelinggih adapun doanya sebagai berikut :
Om. Sarwa Bhuta Preta Byo Namah.
Artinya :
 Hyang widhi ijnkanlah hamba menyuguhkan sajian kepada bhuta  preta  seadanya.
3. Segehan Kepel Warna Lima (Manca Warna)
Sama seperti segehan kepel putih, hanya saja warna nasinya menjadi 5, yaitu putih, merah, kuning, hitam dan brumbun. Dan penempatan warna memiliki tempat atau posisi yang khusus sebagi contoh ;
  • Warna Hitam menempati posisi Utara.
  • Warna Putih menempati posisi Timur.
  • Warna merah menempati posis selatan.
  • Warna kuning menempati posisi Barat.
  • Sedangkan Warna Brumbun atau kombinasi dari ke empat warna di atas menempati posisi di tengah tengah, yang bisa di katakan Brumbun tersebut sebagai Pancernya.
Segehan Manca Warna ini biasanya di letakkan pada pintu masuk pekarangan (lebuh pemeda­l)atau di perempatan jalan adapun doa dari segehan manca warna ini adalah :
Om. Sarwa Durga Prate Byo Namah.
Artinya :
Hyang Widhi Ijinkan Hamba Menyuguhkan Sajian Kepada Durga Prete Seadanya
4. Segehan Cacahan
Segehan ini sudah lebih sempurna karena nasinya sudah dibagi menjadi lima atau delapan tempat. sebagai alas digunakan taledan yang berisikan tujuh atau Sembilan buah tangkih.
Kalau menggunakan 7 (tujuh) tangkih, sebagai berikut:
  • 5 tangkih untuk tempat nasi yang posisinya di timur, selatan, barat, uatara dan tengah.
  • 1 tangkih untuk tempat untuk lauk pauknya yaitu bawang, jahe dan garam.
  • 1 tangkih lagi untuk tempat base tampel, dan beras.
  • kemudian diatas disusun dengan canang genten.
Kalau menggunakan 9 (sembilan) tangkih,sebagai berikut:
  • 9 tangkih untuk tempat nasi yang posisinya di mengikuti arah mata angin.
  • 1 tangkih untuk tempat untuk lauk pauknya yaitu bawang, jahe dan garam.
  • 1 tangkih lagi untuk tempat base tampel, dan beras.
  • kemudian diatas disusun dengan canang genten.
Keempat jenis segehan diatas dapat dipergunakan setiap kajeng kliwon atau pada saat upacara–upacara kecil, artinya dibebaskan penggunaanya sesuai dengan kemampuan.
5. Segehan Agung
Merupakan tingkat segehan terakhir. Segehan ini biasanya dipergunakan pada saat upacara piodalan, penyineban Bhatara, budal dari pemelastian, serta menyertai upacara Bhuta Yadnya yang lebih besar lainnya. Adapun isi dari segehan agung ini adalah; alasnya ngiru/ngiu, ditengahnya ditempatkan daksina penggolan (kelapanya dikupas tapi belum dihaluskan dan masih berserabut), segehan sebanyak 11 tanding, mengelilingi daksina dengan posisi canangnya menghadap keluar, tetabuhan (tuak, arak, berem dan air), anak ayam yang masih kecil, sebelum bulu kencung ( ekornya belum tumbuh bulu yang panjang) serta api takep (api yang dibuat dengan serabut kelapa yang dibuat sedemikian rupa sehingga membentuk tanda + atau tampak dara).
Adapun tata cara saat menghaturkan segehan adalah pertama menghaturkan segehannya dulu yang berdampingan dengan api takep, kemudian buah kelapanya dipecah menjadi lima, diletakkan mengikuti arah mata angin, kemudian anak ayam diputuskan lehernya sehingga darahnya menciprat keluar dan dioleskan pada kelapa yang telah dipecahkan tadi, telor kemudian dipecahkan, di”ayabin” kemudian ditutup dengan tetabuhan. Doa dalam menghaturkan segehan ini adalah :
Om. Arwa kala perete byo namah.
Artinya :
Hyang Widhi Ijinkanlah Hamba Menyuguhkan Sajian Kepadakala Preta Seadanya.
Setiap menghaturkan segehan lalu di siram dengan tetabuhan, tetabuhan ini bisa menggunakan air putih yang bersih, atau tuak, brem, dan arak. Dengan cara mengelilingi segehan yang di haturkan. Ketoka menyiram atau menyiratkan kita ucapkan doa :
Om. Ibek Segar, Ibek Danu, Ibek Bayu, Premananing Hulun.
Artinya :
 Hyanng widhi semoga hamba di berkahi bagaikan melimpahnya air laut, air danau, dan memberi kesegaran jiwa dan batin hamba.

Unsur-unsur Segehan

Setiap unsur-unsur dari segehan sejatinya memiliki filosofi didalamnya, berikut penjelasannya:
  1. Alas dari daun / taledan kecil yang berisi tangkih di salah satu ujungnya. taledan = segi 4, melambangkan   arah mata angin.
  2. Nasi putih 2 kepal, yang melambangkan rwa bhineda
  3.  Jahe, secara imiah memiliki sifat panas. Semangat dibutuhkan oleh manusia tapi tidak boleh emosional.
  4. Bawang, memiliki sifat dingin. Manusia harus menggunakan kepala yang dingin dalam berbuat tapi tidak boleh bersifat dingin terhadap masalah-masalah sosial (cuek)
  5. Garam, memiliki PH-0 artinya bersifat netral, garam adalah sarana yang mujarab untuk menetralisir berbagai energi yang merugikan manusia (tasik pinaka panelah sahananing ngaletehin).
  6.  Di atasnya disusun canang genten.
  7. Tetabuhan Arak, Berem, Tuak, adalah sejenis alkhohol, dimana alkhohol secara ilmiah sangat efektif dapat dipakai untuk membunuh berbagai kuman/bakteri yang merugikan. Oleh kedokteran dipakai untuk mensteril alat-alat kedokteran. Metabuh pada saat masegeh adalah agar semua bakteri, Virus, kuman yang merugikan yang ada di sekitar tempat itu menjadi hilang/mati.
sumber: Buku Kumplan doa mesegeh (bhuta kala), balikar.blogspot.com
foto:baliesoteris.blogspot.com
Visit Our Sponsor