Jumat, 20 Juli 2018

OBYEK WISATA CANDI DASA KARANGASEM, BALI

Hasil gambar untuk OBYEK WISATA CANDI DASA  KARANGASEM, BALI

Seperti kebanyakan pantai di bali, candidasa juga merupakan pantai berpasir putih. Objek wisata Candidasa memiliki pemandangan alam yang menawan di mana pengunjung dapat menyaksikan sunset dan sunrise yang tak kalah menarik dari pantai kuta. Bahkan pemandangan sunset di pantai candidasa terlihat lebih menarik karena matahari terlihat lebih bulat dan terbenam di antara bukit dan perairan Candidasa. Ketika matahari telah tenggelam, langit masih membiaskan warna kemerahan yang membuat suasana menjadi tambah indah. Pada pagi hari, pemandangan sunrise tidak akan terlihat langsung di pantai Candidasa karena tertutup perbukitan di sebelah timur pantai ini. Jika anda ingin menikmati sunrise sebaiknya anda sedikit berjalan ke arah Tanjung Iri yang berada di sebelah timur objek wisata candidasa bali.
Visit Our Sponsor
- Jual Hotwheels Langka Murah
- Chocolate Gift & Cake Ulang Tahun Bali
- Jasa Desain Grafis Murah
- Service Laptop / Smartphone Panggilan Denpasar
Menjual Kaos, Jaket & aksesoris anime, game band dll
- Cari Penghasilan Tambahan Dari Blog..KLIK DISINI

Selain menikmati keindahan pantai, sunset serta sunrise anda bisa menghabiskan liburan anda di pantai candidasa dengan menyelam, memancing, kanoe, ataupun trekking melalui jalur perbukitan. Pantai candidasa memiliki ombak yang tidak terlalu besar, sehingga anda bisa memanfaatkan untuk melakukan olahraga air seperti kegiatan snorkling maupun diving. Semua fasilitas transportasi dan penginapan juga sangat mendukung untuk anda tinggal lebih lama di candidasa.

- Jual Cake Ulang Tahun Bali
- JUAL ES KRIM PESTA MURAH DI BALI

Selain itu objek wisata candidasa juga memiliki letak yang strategis yang dekat dengan beberapa tempat wisata lain di kabupaten Karangasem misalnya Tirta Gangga, Taman Ujung, Tenganan, dan Nusa Penida serta Nusa Lembongan. Pemandangan lain yang dapat dinikmati dari objek wisata candidasa adalah Lotus Lagoon yang merupakan sebuah danau buatan yang berada di tengah-tengah areal wisata candidasa. Lotus Lagoon memiliki luas sekitar 50 x 50 meter persegi yang di tengah-tengahnya terdapat daratan kecil yang ditumbuhi pohon ketapang dan beringin. Selain itu kawasan wisata ini juga terkenal sebagai tempat untuk belajar yoga.

Sumber : tempatwisatabali2.blogspot.com › ... › 



Credit: https://www.facebook.com/yan.otonksidakarya


Recommended Download
Download Anime Movie Sub Indonesia

Kamis, 19 Juli 2018

SEJARAH PURA PENATARAN SASIH DAN SEJARAH BULAN DI PEJENG

Hasil gambar untuk SEJARAH PURA PENATARAN SASIH DAN SEJARAH BULAN DI PEJENG



Pura Penataran Sasih terletak di Banjar Intaran, Desa Pejeng, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar. Pura ini memiliki sejarah yang panjang.Di pura ini menyimpan mitos.Salah satunya tentang Bulan Pejeng. Nekara perunggu terbesar yang berada di Pura Penataran Sasih ini berukuran 186,5 cm dan dengan garis tengah 160 cm. Nekara tersebut dianggap sangat suci dan dipuja penduduk. Nekara tersebut di letakkan di sebuah pelinggih yang di sebut Ratu Sasih. Orang-orang mempunyai kepercayaan bahwa nekara ini adalah bagian bulan yang jatuh dari langit.4 Sehingga Pura Penataran Sasih berasal dari nama bulan (sasih=bulan). Nekara ini dimungkinkan sebagai sarana upacara untuk memohon hujan agar hutan-hutan menjadi rindang, menumbuhkan tanaman bahan makanan dan obat-obatan, sungai mengalirkan air yang jernih, dan adanya bulan bersinar sejuk merupakan panorama alam yang indah dan memukau.

Visit Our Sponsor
- Jual Hotwheels Langka Murah
- Chocolate Gift & Cake Ulang Tahun Bali
- Jasa Desain Grafis Murah
- Service Laptop / Smartphone Panggilan Denpasar
Menjual Kaos, Jaket & aksesoris anime, game band dll



Sumber-sumber tradisional menyebut, benda ini adalah bulan yang dahulu kala jatuh dari langit, yang membuat Desa Pejeng menjadi terang-benderang sepanjang hari, sehingga para pencuri tidak dapat beraksi. Para pencuri jadi marah, lalu bulan itu dikencingnya, sehingga tidak bersinar lagi sampai sekarang. Sementara itu, ada yang menceritakan bahwa Bulan Pejeng adalah subang Kebo Iwa, seorang tokoh legendaris yang dengan segala kesaktiannya dapat memahat sejumlah kekunaan seperti candi tebing Gunung Kawi di Tampaksiring. Dari beberapa referensi dan sumber yang ada menyebutkan bahwa Pura Penataran Sasih merupakan pura tertua yang merupakan pusat kerajaan pada zaman Bali Kuno. Seorang arkeologi, R. Goris dalam buku “Keadaan Pura-Pura di Bali” menyebutkan bahwa pusat kerajaan pada zaman Bali Kuno terletak di Bedulu, Pejeng.

Pura Penataran Sasih merupakan pura penataran sekaligus sebagai pemujaan awal terjadinya kehidupan di dunia. Sedangkan menurut ahli ilmu purbakala, Von Heine Geldern yang dikutip oleh Prof. I Gst. Gede Ardana dalam bukunya “Penuntun ke Obyek-obyek Purbakala” menyatakan bahwa nekara tersebut merupakan hasil Kebudayaan Dongson dari Vietnam Utara. Maka di duga Pura Penataran Sasih telah ada sejak jauh sebelum Hindu masuk ke Bali. Karena kebudayaan Dongson ada pada tahun 300 SM. Sementara itu adanya Hindu masuk ke Bali diperkirakan sekitar abad ke-8. Ini artinya tempat pemujaan yang bernama Pura Penataran Sasih ini sudah ada sebelum datangnya pengaruh Hindu ke Bali. Setelah adanya pengaruh Hindu di Bali, barulah Pura Penataran Sasih ini diperluas secara bertahap menurut konsep pemujaan Hindu oleh penguasa dan masyarakat Bali yang beragama Hindu pada saat itu. Sekali lagi bahwa nekara tersebut difungsikan sebagai sarana pemujaan agar alam menjatuhkan hujan menurut musimnya.

Nekara yang ada di Pura Penataran Sasih ini mengandung nilai simbolis magis yang tinggi. Pada nekara tersebut terdapat hiasan kedok muka yang disusun sepasang-sepasang dengan mata bulat membelalak, telinganya yang panjang, dengan anting-antingnya yang dibuat dari uang kepeng, dan hidungnya yang berbentuk segitiga. Bulan Pejeng ini dianggap sebagai subagnya Kebo Iwa. Nekara perunggu ini adalah hasil teknologi logam yang mencapai puncaknya pada akhir zaman prasejarah, yaitu pada masa perundagian, sekitar 2000 tahun silam. Jauh sebelum pengaruh Hindu masuk di Bali.Para ahli arkeologi berpendapat, hiasan kedok muka ini berfungsi simbolis magis atau religius magis, yaitu sebagai lambang leluhur yang arwahnya berdiam di puncak gunung atau bukit dan mempunyai kekuatan magis yang dapat menentukan nasib kaum kerabat atau masyarakat yang ditinggalkannya.

- Jual Cake Ulang Tahun Bali
- JUAL ES KRIM PESTA MURAH DI BALI

Hiasan kedok muka seperti itu juga terdapat pula pada sarkofagus (peti mayat) yang tersebar di seluruh Bali, dengan berbagai gaya dan mempunyai fungsi yang sama dengan kedok muka pada “Bulan Pejeng”. Mungkin juga hiasan ini mempunyai fungsi estetik dekoratif. Selain itu ada juga sarkofagus Bali yang memakai hiasan berbentuk geometris, yaitu bundar (agak bulat) dan persegi yang mungkin digunakan untuk mengikat tali pada saat peti mayat di turunkan ke liang kubur. Di sebuah pura di Desa Manuaba ditemukan lima buah fragmen cetakan batu untuk nekara tipe Pejeng, maka timbul dugaan bahwa nekara Pejeng adalah hasil industri logam lokal yang telah maju. Perkiraan ini di dukung kenyataan bahwa cetakan batu dari Manuaba memakai hiasan kedok muka yang memperlihatkan persamaan dengan kedok muka pada nekara Pejeng, walaupun mempunyai ukuran yang lebih kecil.

Nekara yang ada di Pura Penataran Sasih ini sebagai gendrang upacara yang dipukul dengan aturan religius sebagai sarana pemujaan agar hujan jatuh pada musimnya yang tepat. Kesimpulan tersebut diambil berdasarkan hiasan nekara dengan adanya binatang dan matahari dengan delapan sinar. Di samping itu hiasan nekara ada motif lajur-lajur lingkaran terpusat. Pada badan nekara terdapat gambar delapan kepala orang menghadap ke delapan arah. Karena dalam kitab suci agama Hindu pun keberadaan hujan sebagai sumber alam yang paling utama. 

Dalam perkembangan selanjutnya, A.J. Bernet Kempers menyatakan bahwa Pura Penataran Sasih ini menjadi pura penataran sabagai pusat kerajaan di Bali yang berstana di Pejeng. Sedangkan sebagai pusat pura gunungnya adalah Pura Puncak Penulisan di Kintamani. Dalam agama Hindu diharapkan adanya perpaduan antara unsur kejiwaan yang disebut Purusa dengan unsur kebendaan yang disebut Pradana. Dua unsur yang berpadu itu akan mendatangkan kesuburan dan kemakmuran. Di Pura Penataran Sasih ini terdapat beberapa peninggalan purbakala, baik yang berasal dari tahun 300 SM maupun abad X Masehi dan pada abad XIV Masehi. Nekara yang biasa disebut Bulan Pejeng oleh masyarakat setempat ini merupakan peninggalan pada tahun 300 SM. Sedangkan berdasar pecahan prasasti yang dapaat di jumpai di pura ini menunjukan bahwa prasasti tersebut sudah ada sejak abad X Masehi. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan Huruf Kawi dan Bahasa Sansekerta yang digunakan oleh prasasti tersebut.

Di Pura Penataran Sasih juga terdapat pula arca Batara Guru yang disimpan di sebuah pelinggih gedong dengan dua pintu. Pada ruang sebelah utara distanakan dua arca perwujudan sebagai stana Batara Guru. Salah satu arcanya menggunakan candrasengkala yang berbunyi “Krta rasa tinggaling wong”. Candrasengkala tersebut menunjukan angka tahun Saka 1264 atau 1343 Masehi. Pada tahun itu datang serangan dari Gajah Mada ke Bali. Sedangkan di ruang selatan terdapat dua buah arca perwujudan sebagai stana Batara Iswara. Selain itu ada juga arca Catur Kaya yaitu arca dengan empat muka menghadap ke semua arah. Arca ini menggunakan atribut Tri Netra lambang Siwa. Salah satu tangannya membawa Pustaka atribut Dewa Wisnu. Arca Catur Kaya ini melambangkan Dewa Tri Murti.

Pura Penataran Sasih sendiri terdiri atas lima palebaan, meliputi Pura Penataran Sasih sebagai pura induk. Bagian utara terdapat Pura Taman Sari, Pura Ratu Pasek, dan Pura Bale Agung. Sedangkan untuk bagian selatan terdapat Pura Ibu. Untuk areal Pura Penataran Sasih terutama di jeroan terdapat beberapa pelinggih. Dari pintu masuk, pada sisi jaba tengah terdapat bangunan Padma Kurung sebagai tempat penyimpenan Sang Hyang Jaran. Deretan bagian timur terdapat bangunan pengaruman yang biasanya difungsikan sebagai tempat menstanakan simbol-simbol Ida Batara dari Pura Kahyangan Tiga di seluruh Pejeng.

Di Pura Penataran Sasih terdapat beberapa pelinggih pesimpangan yaitu di pojok paling timur laut terdapat pelinggih Trenggana. Di sebelah selatannya agak ke barat terdapat Padmasana. Di selatan Padmasana inilah ditempatkan Gedong Pelinggih Ratu Penataran Sasih. Di selatannya ada bangunan balai pesamuan. Di selatannya lagi ada Gedong Swara. Di deretan tembok di selatannya terdapat pelinggih Gedong Pesimpangan Batara Brahma. Ada pula Pelinggih Pesimpangan Batara Gana, Batara Wisnu dan Batara Mahadewa. Di barat pesimpangan Batara Brahma terdapat pelinggih yang disebut Bale Paselang. Di Bale Paselang inilah tempat melangsungkan upacara Padanaan atau upacara Mapeselang. Upacara ini melambangkan bertemu baktinya umat dengan waranugraha atau swecan Ida Batara. Upacara ini umumnya dilangsungkan sebagai puncak upacara pujawali. Upacara piodalan atau pujawali Ida Batara di Pura Penataran Sasih dilangsungkan pada Hari Manis Kuningan. Untuk piodalan di Pura Penataran Sasih terbagi dalam dua bagian. Tiap 210 hari tepatnya Redite Umanis, wuku Langkir berlangsung upacara yang bernama upacara panyelah yang berlangsung selama tiga hari. Sedangkan untuk karya agung berlangsung pada purnana kesanga, nemu pasha.

Di samping nekara perunggu, di Pura Penataran Sasih juga terdapat peninggalan berupa pecahan prasasti yang ditulis pada batu padas. Tulisan menggunakan bahasa Kawi dan Sansekerta sehingga tidak bisa dibaca karena termakan usia. Namun, dari hasil penelitian yang dilakukan ada kemungkinan bahwa pecahan prasasti tersebut berasal dari abad ke 9 atau permulaan abad ke 10. Di Pura Penataran Sasih juga tersimpan pula beberapa peninggalan pada masa Hindu masuk ke Bali. Misalnya prasasti dari batu yang berlokasi di bagian dalam di bagian selatan. Prasasti tersebut berkarakter huruf dari abad ke 10. Di bagian luar pura, di sebelah tenggara ada fragmen atau bekas bangunan memuat prasasti beraksara kediri kwadrat (segi empat) yang menyebutkan Parad Sang Hyang Dharma yang artinya bangunan suci.

- Jual Cake Ulang Tahun Bali
- JUAL ES KRIM PESTA MURAH DI BALI

Di samping sebagai pura yang menyimpan benda-benda purbakala, Pura Penataran Sasih juga terkenal dengan tarian sakralnya yakni tarian Sang Hyang Jaran. Tarian tersebut dipentaskan bilamana di Pura Penataran Sasih diselenggarakan upacara besar seperti upacara ngenteg linggih dan caru balik sumpah. Tarian ini biasanya dibawakan oleh empat orang penari. Bahkan untuk penarinya ini bukanlah orang sembarangan. Untuk penari biasanya akan hadir beberapa waktu sebelum tarian tersebut dipentaskan. Kehadirannya tersebut terjadi secara mendadak atas petunjuk sesuhunan. Orang tersebut akan tiba-tiba karauhan (kesurupan). Orang yang karauhan tersebut bisa saja warga dari luar daerah Pejeng. Pura Penataran Sasih ini pernah mengalami kerusakan pada ahun 1963 akibat meletusnya Gunung Agung. Oleh karena itu, maka pura tersebut mengalami pemugaran pada tahun 1966 yang ditandai dengan adanya suatu kronogram dengan simbol matahari dan gajah mengapit naga. Kronogram ini menandakan angka tahun saka 1888 atau tahun 1966 Masehi.

A. SEJARAH BULAN PEJENG
Bulan Pejeng adalah sebuah genderang (nekara) perunggu yang dipercayai orang Bali memiliki kekuatan supranatural. Nekara ini terletak di Pura Penataran Sasih di Desa Pejeng, Tampak Siring, Gianyar di Pulau Bali. Genderang ini dianggap suci dan diceritakan bahwa genderang ini tidak dibuat oleh manusia melainkan jatuh dari langit. Nekara ini diperkirakan dipergunakan dahulunya dalam upacara meminta hujan. Banyak legenda tentang nekara ini, salah satunya adalah bahwa nekara ini dahulu merupakan roda dari kereta langit yang menyebarkan sinar terang, sehingga dahulu pada malam hari selalu terang benderang. Legenda lain mengatakan bahwa nekara ini adalah perhiasan telinga dari Dewi Ratih (Dewi Bulan dalam mitologi Bali).10 Menurut penuturan kuno diceritakan juga bahwa dahulu kala ada 13 bulan di atas bumi.Pada suatu hari salah satu bulan ini jatuh ke atas bumi dan tersangkut di ranting pohon. Sinar yang dipancarkan 
bulan ini sangatlah terang sehingga tidak ada pencuri yang berani mencuri di malam hari. Namun pada suatu ketika para pencuri itu berunding dan mereka bersepakat untuk memadamkan bulan itu, salah satu dari mereka memanjat pohon itu dan dengan air kecilnya ia berusaha memadamkan bulan tersebut yang diliputi lidah-lidah api. Seketika juga bulan itu meledak dan salah satu pecahan bulan itu menjadi nekara bulan Pejeng tersebut. Kerusakan yang ada di balik nekara itu diceritakan berasal dari ledakan itu.

Description: pura penataran sasih, penataran sasih

Sumber : pendidikan4sejarah.blogspot.com/2011/08/pura-penataran-sasih.html


Credit: https://www.facebook.com/yan.otonksidakarya


Rabu, 18 Juli 2018

PERKAWINAN MENURUT AGAMA HINDU

Hasil gambar untuk Pawiwahan

Dalam agama Hindu di Bali istilah perkawinan biasa disebut Pawiwahan. Pengertian Pawiwahan itu sendiri dari sudut pandang etimologi atau asal katanya, kata pawiwahan berasal dari kata dasar “ wiwaha”. Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata wiwaha berasal dari bahasa sansekerta yang berarti pesta pernikahan; perkawinan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997:1130).

Pengertian pawiwahan secara semantik dapat dipandang dari sudut yang berbeda beda sesuai dengan pedoman yang digunakan. Pengertian pawiwahan tersebut antara lain: menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1dijelaskan pengertian perkawinan yang berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.

Berdasarkan pengertian-pengertian diatas dapat saya simpulkan bahwapawiwahan adalah ikatan lahir batin (skala dan niskala ) antara seorang pria dan wanita untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal yang diakui oleh hukum Negara, Agama dan Adat.

Visit Our Sponsor
- Jual Hotwheels Langka Murah
- Chocolate Gift & Cake Ulang Tahun Bali
- Jasa Desain Grafis Murah
- Service Laptop / Smartphone Panggilan Denpasar
Menjual Kaos, Jaket & aksesoris anime, game band dll
- Cari Penghasilan Tambahan Dari Blog..KLIK DISINI

Tujuan wiwaha menurut Agama Hindu

Pada dasarnya manusia selain sebagai mahluk individu juga sebagai mahluk sosial, sehingga mereka harus hidup bersama-sama untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Tuhan telah menciptakan manusia dengan berlainan jenis kelamin, yaitu pria dan wanita yang masing-masing telah menyadari perannya masing-masing.

Telah menjadi kodratnya sebagai mahluk sosial bahwa setiap pria dan wanita mempunyai naluri untuk saling mencintai dan saling membutuhkan dalam segala bidang. Sebagai tanda seseorang menginjak masa ini diawali dengan proses perkawinan. Perkawinan merupakan peristiwa suci dan kewajiban bagi umat Hindu karena Tuhan telah bersabda dalam Manava dharmasastra IX. 96 sebagai berikut:

“Prnja nartha striyah srstah samtarnartham ca manavah.

Tasmat sadahrano dharmah crutam patnya sahaditah”

“Untuk menjadi Ibu, wanita diciptakan dan untuk menjadi ayah, laki-laki itu diciptakan. Upacara keagamaan karena itu ditetapkan di dalam Veda untuk dilakukan oleh suami dengan istrinya (Pudja dan Sudharta, 2002: 551).

Menurut I Made Titib dalam makalah “Menumbuhkembangkan pendidikan agama pada keluarga” disebutkan bahwa tujuan perkawinan menurut agama Hindu adalah mewujudkan 3 hal yaitu:


- Jual Cake Ulang Tahun Bali
- JUAL ES KRIM PESTA MURAH DI BALI

Dharmasampati, kedua mempelai secara bersama-sama melaksanakan Dharma yang meliputi semua aktivitas dan kewajiban agama seperti melaksanakan Yajña , sebab di dalam grhastalah aktivitas Yajña dapat dilaksanakan secara sempurna.Praja, kedua mempelai mampu melahirkan keturunan yang akan melanjutkan amanat dan kewajiban kepada leluhur. Melalui Yajña dan lahirnya putra yang suputra seorang anak akan dapat melunasi hutang jasa kepada leluhur (Pitra rna), kepada Deva (Deva rna) dan kepada para guru (Rsi rna).Rati, kedua mempelai dapat menikmati kepuasan seksual dan kepuasan-kepuasan lainnya (Artha dan kama) yang tidak bertentangan dan berlandaskan Dharma.

Lebih jauh lagi sebuah perkawinan ( wiwaha) dalam agama Hindu dilaksanakan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Sesuai dengan undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 yang dijelaskan bahwa perkawinan dilaksanakan dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( rumah tangga) yang bahagia dan kekal maka dalam agama Hindu sebagaimana diutarakan dalam kitab suci Veda perkawinan adalah terbentuknya sebuah keluarga yang berlangsung sekali dalam hidup manusia. Hal tersebut disebutkan dalam kitab Manava Dharmasastra IX. 101-102 sebagai berikut:

“Anyonyasyawayabhicaroghaweamarnantikah,

Esa dharmah samasenajneyah stripumsayoh parah”

“Hendaknya supaya hubungan yang setia berlangsung sampai mati, singkatnya ini harus dianggap sebagai hukum tertinggi sebagai suami istri”.

“Tatha nityam yateyam stripumsau tu kritakriyau,

Jatha nabhicaretam tau wiyuktawitaretaram”

“Hendaknya laki-laki dan perempuan yang terikat dalam ikatan perkawinan, mengusahakan dengan tidak jemu-jemunya supaya mereka tidak bercerai dan jangan hendaknya melanggar kesetiaan antara satu dengan yang lain” (Pudja, dan Sudharta, 2002: 553).

Berdasarkan kedua sloka di atas nampak jelas bahwa agama Hindu tidak menginginkan adanya perceraian. Bahkan sebaliknya, dianjurkan agar perkawinan yang kekal hendaknya dijadikan sebagai tujuan tertinggi bagi pasangan suami istri. Dengan terciptanya keluarga bahagia dan kekal maka kebahagiaan yang kekal akan tercapai pula. Ini sesuai dengan ajaran Veda dalam kitab Manava Dharma sastra III. 60 , sebagai berikut:

“Samtusto bharyaya bharta bharta tathaiva ca,

Yasminnewa kule nityam kalyanam tatra wai dhruwam”

“Pada keluarga dimana suami berbahagia dengan istrinya dan demikian pula sang istri terhadap suaminya, kebahagiaan pasti kekal” ( Pudja dan Sudharta, 2002: 148).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan wiwaha menurut agama Hindu adalah mendapatkan keturunan dan menebus dosa para orang tua dengan menurunkan seorang putra yang suputra sehingga akan tercipta keluarga yang bahagia di dunia (jagadhita) dan kebahagiaan kekal (moksa).

Menurut agama Hindu dalam kitab Manava Dharmasastra III. 21 disebutkan 8 bentuk perkawinan sebagai berikut:

Sistem Pawiwahan dalam Agama Hindu

Brahma wiwaha adalah bentuk perkawinan yang dilakukan dengan memberikan seorang wanita kepada seorang pria ahli Veda dan berkelakukan baik yang diundang oleh pihak wanita.Daiwa wiwaha adalah bentuk perkawinan yang dilakukan dengan memberikan seorang wanita kepada seorang pendeta pemimpin upacara.Arsa wiwaha adalah bentuk perkawinan yang terjadi karena kehendak timbal-balik kedua belah pihak antar keluarga laki-laki dan perempuan dengan menyerahkan sapi atau lembu menurut kitab suci.Prajapatya wiwaha adalah bentuk perkawinan dengan menyerahkan seorang putri oleh ayah setelah terlebih dahulu menasehati kedua mempelai dengan mendapatkan restu yang berbunyi semoga kamu berdua melakukan dharmamu dan setelah memberi penghormatan kepada mempelai laki-laki.Asuri wiwaha adalah bentuk perkawinan jika mempelai laki-laki menerima wanita setelah terlebih dahulu ia memberi harta sebanyak yang diminta oleh pihak wanita.Gandharva wiwaha adalah bentuk perkawinan berdasarkan cinta sama cinta dimana pihak orang tua tidak ikut campur walaupun mungkin tahu.Raksasa wiwaha adalah bentuk perkawinan di mana si pria mengambil paksa wanita dengan kekerasan. Bentuk perkawinan ini dilarang.Paisaca wiwaha adalah bentuk perkawinan bila seorang laki-lak dengan diam-diam memperkosa gadis ketika tidur atau dengan cara memberi obat hingga mabuk. Bentuk perkawinan ini dilarang.

Syarat Sah suatu Pawiwahan menurut Hindu.

Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kitab Suci Manava Dharmasastra maka syarat tersebut menyangkut keadaan calon pengantin dan administrasi, sebagai berikut:

Dalam pasal 6 disebutkan perkawinan harus ada persetujuan dari kedua calon mempelai.dan mendapatkan izin kedua orang tua. Persetujuan tersebut itu harus secara murni dan bukan paksaan dari calon pengantin serta jika salah satu dari kedua orang tua telah meninggal maka yang memberi izin adalah keluarga, wali yang masih ada hubungan darah. Dalam ajaran agama Hindu syarat tersebut juga merupakan salah satu yang harus dipenuhi, hal tersebut dijelaskan dalam Manava Dharmasastra III.35 yang berbunyi:

“Adbhirewa dwijagryanam kanyadanam wicisyate,

Itaresam tu warnanam itaretarkamyaya”

“Pemberian anak perempuan di antara golongan Brahmana, jika didahului dengan percikan air suci sangatlah disetujui, tetapi antara warna-warna lainnya cukup dilakukan dengan pernyataan persetujuan bersama” (Pudja dan Sudharta, 2002: 141).

Menurut pasal 7 ayat 1, perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 ( sembilan belas ) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Ketentuan tersebut tidaklah mutlak karena jika belum mencapai umur.

minimal tersebut untuk melangsungkan perkawinan maka diperlukan persetujuan dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita, sepanjang hukum yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Agama Hindu memberikan aturan tambahan mengenai hal tersebut dimana dalamManava Dharmasastra IX.89-90 yang menyatakan bahwa walaupun seorang gadis telah mencapai usia layak untuk kawin, akan lebih baik tinggal bersama orang tuanya hingga akhir hayatnya, bila ia tidak memperoleh calon suami yang memiliki sifat yang baik atau orang tua harus menuggu 3 tahun setelah putrinya mencapai umur yang layak untuk kawin, baru dapat dinikahkan dan orang tua harus memilihkan calon suami yang sederajat untuknya. Dari sloka tersebut disimpulkan umur yang layak adalah 18 tahun, sehingga orang tua baru dapat mengawinkan anaknya setelah berumur 21 tahun (Dirjen Bimas Hindu dan Budha, 2001: 34).

Sebagaimana diatur dalam pasal 8-11 Undang- Undang No. 1 tahun 1974, dalam Hukum Hindu perkawinan yang dilarang dan harus dihindari dijelaskan dalam Manava Dharmasastra III.5-11 adalah jika ada hubungan sapinda dari garis Ibu dan Bapak, keluarga yang tidak menghiraukan upacara suci, tidak mempunyai keturunan laki-laki, tidak mempelajari Veda, keluarga yang anggota badannya berbulu lebat, keluarga yang memiliki penyakit wasir, penyakit jiwa, penyakit maag dan wanita yang tidak memiliki etika.Selain itu persayaratan administrasi untuk catatan sipil yang perlu disiapkan oleh calon pengantin, antara lain: surat sudhiwadani, surat keterangan untuk nikah, surat keterangan asal usul, surat keterangan tentang orang tua, akta kelahiran, surat keterangan kelakuan baik, surat keterangan dokter, pas foto bersama 4x 6, surat keterangan domisili, surat keterangan belum pernah kawin, foto copy KTP, foto copy Kartu Keluarga dan surat ijin orang tua.

Samskara atau sakramen dalam agama Hindu dianggap sebagai alat permulaan sahnya suatu perkawinan. Hal tersebut dilandasi oleh sloka dalam Manava Dharma sastra II. 26 sebagai berikut:

“Waidikaih karmabhih punyair nisekadirdwijanmanam,

Karyah carira samskarah pawanah pretya ceha ca”

“Sesuai dengan ketentuan-ketentuan pustaka Veda, upacara-upacara suci hendaknya dilaksanakan pada saat terjadi pembuahan dalam rahim Ibu serta upacara-upacara kemanusiaan lainnya bagi golongan Triwangsa yang dapat mensucikan dari segala dosa dan hidup ini maupun setelah meninggal dunia” (Pudja dan Sudharta, 2002:69).

Dalam pelaksanaan upacara perkawinan ( samskara ) tersebut, agama Hindu tidak mengabaikan adat yang telah terpadu dalam masyarakat karena dalam agama Hindu selain Veda sruti dan smrti, umat Hindu dapat berpedoman pada Hukum Hindu yang berdasarkan kebiasaan yang telah turun temurun disuatu tempat yang biasa disebut Acara. Dengan melakukan upacara dengan dilandasi oleh ajaran oleh pustaka Veda dan mengikuti tata cara adat, maka akan didapatkan kebahagiaan di dunia (Jagadhita ) dan Moksa. Hal tersebut dijelaskan dalam Manava Dharma sastra II. 9 sebagai berikut:

“Sruti smrtyudita dharma manutisthanhi manavah,

iha kirtimawapnoti pretya canuttamam sukham”

“Karena orang yang mengikuti hukum yang diajarkan oleh pustaka-pustaka suci dan mengikuti adat istiadat yang keramat, mendapatkan kemashuran di dunia ini dan setelah meninggal menerima kebahagiaan yang tak terbatas (tak ternilai)” ( Pudja dan Sudharta, 2002: 63).

Dalam pelaksanaan upacara perkawinan baik berdasarkan kitab suci maupun adat istiadat maka harus diingat bahwa wanita dan pria calon pengantin harus sudah dalam satu agama Hindu dan jika belum sama maka perlu dilaksanakan upacara sudhiwadani. Selain itu menurut kitab Yajur Veda II. 60 dan Bhagavad Gita XVII. 12-14 sebutkan syarat-syarat pelaksanaan Upacara, sebagai berikut:

1) Sapta pada (melangkah tujuh langkah kedepan) simbolis penerimaan kedua mempelai itu. Upacara ini masih kita jumpai dalam berbagai variasi (estetikanya) sesuai dengan budaya daerahnya, umpamanya menginjak telur, melandasi tali, melempar sirih dan lain-lainnya.

2) Panigraha yaitu upacara bergandengan tangan adalah simbol mempertemukan kedua calon mempelai di depan altar yang dibuat untuk tujuan upacara perkawinan. Dalam budaya jawa dilakukan dengan mengunakan kekapa ( sejenis selendang) dengan cara ujung kain masing-masing diletakkan pada masing-masing mempelai dengan diiringi mantra atau stotra.

3) Laja Homa atau Agni Homa pemberkahan yaitu pandita menyampaikan puja stuti untuk kebahagiaan kedua mempelai ( Dirjen Bimas Hindu dan Budha, 2001:36).

4) Sraddha artinya pelaksanaan samskara hendaknya dilakukan dengan keyakinan penuh bahwa apa yang telah diajarkan dalam kitab suci mengenai pelaksanaan yajña harus diyakini kebenarannya. Yajña tidak akan menimbulkan energi spiritual jika tidak dilatarbelakangi oleh suatu keyakinan yang mantap. Keyakinan itulah yang menyebabkan semua simbol dalam sesaji menjadi bermakna dan mempunyai energi rohani. Tanpa adanya keyakinan maka simbol-simbol yang ada dalam sesaji tersebut tak memiliki arti dan hanya sebagai pajangan biasa.

5) Lascarya artinya suatu yajña yang dilakukan dengan penuh keiklasan.

6) Sastra artinya suatu yajña harus dilakukan sesuai dengan sastra atau kitab suci. Hukum yang berlaku dalam pelaksanaan yajña disebut Yajña Vidhi. Dalam agama Hindu dikenal ada lima Hukum yang dapat dijadikan dasar dan pedoman pelaksanaan yajña.

7) Daksina artinya adanya suatu penghormatan dalam bentuk upacara dan harta benda atau uang yang dihaturkan secara ikhlas kepada pendeta yang memimpin upacara.

8) Mantra artinya dalam pelaksanaan upacara yajña harus ada mantra atau nyanyian pujaan yang dilantunkan.

9) Annasewa artinya dalam pelaksanaan upacara yajña hendaknya ada jamuan makan dan menerima tamu dengan ramah tamah.

10) Nasmita artinya suatu upacara yajña hendaknya tidak dilaksanakan dengan tujuan untuk memamerkan kemewahan.

Demikianlah tinjauan secara umum tentang pelaksanaan perkawinan atau pawiwahan yang ideal menurut agama Hindu. Perkawinan yang sakral tidak boleh dilakukan secara sembarangan dan oleh sebab itu sebelum melakukan perkawinan hendaknya dipikirkan dahulu secara matang agar nantinya tidak menimbulkan permasalahan dalam rumah tangga setelah menikah.


- Jual Cake Ulang Tahun Bali
- JUAL ES KRIM PESTA MURAH DI BALI

Upacara Perkawinan Adat Bali

Dalam ajaran Hindu terdapat empat tahap dalam mencapai tujuan hidup, adapun tujuan hidup tersebut dinamakan Catur Purusa Artha terdiri dari Dharma, Artha, Kama dan Moksa. Dalam pelaksanaannya dilakukan secara bertahap.

Sementara dalam Perkawinan adalah bentuk perujudan dari suatu usaha untuk mencapai tujuan hidup. Dalam lontar Agastya Parwa disebutkan "Yatha sakti Kayika Dharma" ini bermakna dengan kemampuan sendiri melaksanakan Dharma

Upacara perkawinan pada hakekatnya adalah upacara persaksian ke hadapanTuhan Yang Maha Esa dan kepada masyarakat bahwa kedua orang yang bersangkutan telah mengikatkan diri sebagai suami-istri. Sedangkan pengertian perkawinaan sendiri adalah jalinan ikatan secara lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk suatu keluarga yang bahagia dan abadi selamanya hingga akhir usia.

Bila seseorang sudah berniat melakukan perkawinan, diharapkan sudah mereka sudah siap lahir dan batin dalam menempuk bahtera rumah tangga kelak.

Dalam perkawinan umat Hindu di Bali, ada dua tujuan hidup yang harus dapat diselesaikan dengan tuntas yaitu mewujudkan artha dan kama yang berdasarkan Dharma.

Sebelum seseorang memasuki jenjang perkawinan dibutuhkan suatu bimbingan, nasehat dan wejangan agar dalam pelaksaanaannya nanti tidak mengalami kendala, masalah yang mungkin akan timbul dalam mengarui biduk bahtera rumah tangga, bimbingan ini diberikan dari orang yang mengerti dan ahli dalam bidang agama Hindu, orang yang mengerti agama ini akan menerangkan apa yang menjadi tugas dan kewajiban bagi orang yang telah terikat dalam pernikahan sehinggabisa mandiri di dalam mewujudkan tujuan hidup mendapatkan artha dan kama berdasarkan Dharma.

Lalu dilanjutkan dengan proses penyucian diri yang bertujuan memberikan kesempatan kepada leluhur untuk menjelma kembali dalam rangka memperbaiki karmanya (umat Hindu di Bali percaya leluhur yang sudah meninggal dapat berenkarnasi dalam perujudan anak cucu kembali) untuk peleburan perbuatan buruk ke dalam perbuatan yang baik, itu adalah manfaat jadi manusia. Melahirkan anak lewat perkawinan mengasuh, membimbing, memeliharanya dan mendidik dengan penuh kasih sayang sesungguhnya suatu yadnya kepada leluhur. Terlebih lagi kalau anak tersebut dapat menjadi manusia yang sempurna, akan merupakan suatu perbuatan melebihi seratus yadnya, demikian disebutkan dalam Slokantara.

Perkawinan bagi umat Hindu merupakan sesuatu yang suci dan sakral. Saat itu perkawinan layak atau tidak nya ditentukan oleh seorang Resi, dimana sang Resi(Bramana Sista) ini mampu melihat lewat mata batin cocok tidaknya dari pasanngan yang akan dinikahkan, bila tidak cocok atau jodoh akan dibatalkan karena bisa berakibat buruk bagi kehidupan rumah tangga mereka nanti. Namun seiring masa berganti dan pertimbangan duniawi lebih mempengaruhi orang tua dalam memilih jodoh untuk anak anak mereka dan bukan lagi nilai budi pekerti yang di junjung tinggi

Pernikahan adat Bali menggunakan sistem patriarki yaitu semua tahapan dan proses pernikahan dilakukan di rumah mempelai pria.

Menurut UU perkawinan no 1 thn 1974, sah tidaknya suatu perkawinan adalah sesuai menurut hukum dan agama masing masing.

Proses upacara adat pernikahan di Bali disebut “ Mekala-kalaan (natab banten). Pelaksaan upacara ini dipimpin oleh seorang pendeta yang diadakan di halaman rumah sebagai titik sentral kekuatan Kala Bhucari yang dipercaya sebagai penguasa wilayah madyaning mandala perumahan.

Makalan-kalaan sendiri berasal dari kata Kala yang mengandung pengertian energi. Upacara mekala-kalaan ini mempunyai maksud untuk menetralisir kekuatan kala/energi yang bersifat buruk/negatif dan berubah menjadi positif/baik.

Adapun maksud dari upacara ini adalah sebagai pengesahan perkawinan antara kedua mempelai dan sekaligus penyucian benih yang terkandung di dalam diri kedua mempelai.

Peralatan Mekala-kalaan dan symbol upacara adat perkawinan Bali

Sanggah Surya/bambu melekungmerupakan niyasa (simbol) istanaSang Hyang Widhi Wasa, ini merupakan istananya Dewa Surya dan Sang Hyang Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih. Di sebelah kanan digantungkan biyu lalung simbol kekuatan purusa dari Sang Hyang Widhi dan Sang Hyang Purusa ini bermanifestasi sebagai Sang Hyang Semara Jaya sebagai dewa kebajikan, ketampanan, kebijaksanaan simbol pengantin pria dan di sebelah kiri sanggah digantungkan sebuah kulkul berisi beremsimbol kekuatan prakertinya Sang Hyang Widhi dan bermanifestasi sebagai Sang Hyang Semara Ratih dewi kecantikan serta kebijaksanaan simbol pengantin wanita.Kelabang Kala Nareswari (Kala Badeg)simbol calon pengantin yang diletakkan sebagai alas upacara mekala-kalaan serta diduduki oleh kedua calon pengantin.Tikeh Dadakan (tikar kecil)Tikar yang diduduki oleh pengantin wanita sebagai simbol selaput dara (hymen) dari wanita. Kalau dipandang dari sudut spiritual, tikar adalah sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Prakerti (kekuatan yoni).Keris sebagai kekuatan Sang Hyang Purusa (kekuatan lingga) calon pengantin pria. Biasanya nyungklit keris, dipandang dari sisi spritualnya sebagai lambang kepurusan dari pengantin pria.Benang Putihdibuatkan sepanjang setengah meter, terdiri dari 12 bilahan benang menjadi satu, serta pada kedua ujung benang masing-masing dikaitkan pada cabang pohon dapdap setinggi 30 cm. Angka 12 berarti simbol dari sebel 12 hari, yang diambil dari cerita dihukumnya Pandawa oleh Kurawa selama 12 tahun. Dengan upacara mekala-kalaan otomatis sebel pengantin yang disebut sebel kandalan menjadi sirna dengan upacara penyucian tersebut. Dari segi spiritual benang ini sebagai simbol dari lapisan kehidupan, berarti sang pengantin telah siap untuk meningkatkan alam kehidupannya dariBrahmacari Asramamenuju alam Grhasta Asrama. Tegen – tegenanMakna tegen-tegenan merupakan simbol dari pengambil alihan tanggung jawab sekala dan niskala. Adapun Perangkat tegen-tegenan ini :Batang tebu berarti hidup pengantin mengandung arti kehidup dijalani secara bertahap seperti hal tebu ruas demi ruas, secara manis.Cangkul sebagai simbol Ardha Candra. Cangkul sebagai alat bekerja, berkarma berdasarkan Dharma.Periuk simbol windhu.Buah kelapa simbol brahman (Sang Hyang Widhi).Seekor yuyu/kepiting simbol bahasa isyarat memohon keturunan dan kerahayuan.Suwun-suwunan(sarana jinjingan)Berupa bakul yang dijinjing mempelai wanita yang berisi talas, kunir, beras dan bumbu-bumbuan melambangkan tugas wanita atau istri mengembangkan benih yang diberikan suami, diharapkan seperti pohon kunir dan talas berasal dari bibit yang kecil berkembang menjadi besar.Dagang-daganganmelambangkan kesepakatan dari suami istri untuk membangun rumah tangga dan siap menanggung segala resiko yang timbul akibat perkawinan tersebut seperti kesepakatan antar penjual dan pembeli dalam transaksi dagang.Sapu lidi (3 lebih). Simbol Tri Kaya Parisudha. Pengantin pria dan wanita saling mencermati satu sama lain, isyarat saling memperingatkan serta saling memacu agar selalu ingat dengan kewajiban melaksanakan Tri Rna berdasarkan ucapan baik, prilaku yang baik dan pikiran yang baik, disamping itu memperingatkan agar tabah menghadapi cobaan dan kehidupan rumah tangga.Sambuk Kupakan (serabut kelapa). Serabut kelapa dibelah tiga, di dalamnya diisi sebutir telor bebek, kemudian dicakup kembali di luarnya diikat dengan benang berwarna tiga (tri datu). Serabut kelapa berbelah tiga simbol dari Triguna (satwam, rajas, tamas). Benang Tridatu simbol dari Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa) mengisyaratkan kesucian.Telor bebek simbol manik. Kedua Mempelai saling tendang serabut kelapa (metanjung sambuk) sebanyak tiga kali, setelah itu secara simbolis diduduki oleh pengantin wanita. Ini mengandung pengertian Apabila mengalami perselisihan agar bisa saling mengalah, serta secara cepat di masing-masing individu menyadari langsung. Selalu ingat dengan penyucian diri, agar kekuatan triguna dapat terkendali. Selesai upacara serabut kalapa ini diletakkan di bawah tempat tidur mempelai.Tetimpugadalah bambu tiga batang yang dibakar dengan api dayuh yang bertujuan memohon penyupatan dari Sang Hyang Brahma.

(Sumber Asli)

Rangkaian tahapan upacara pernikahan adat Bali:

Upacara Ngekeb:

Acara ini bertujuan untuk mempersiapkan calon pengantin wanita dari kehidupan remaja menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga dengan memohon doa restu kepada Tuhan Yang Maha Esa agar bersedia menurunkan kebahagiaan kepada pasangan ini serta nantinya mereka diberikan anugerah berupa keturunan yang baik.

Setelah itu pada sore harinya, seluruh tubuh calon pengantin wanita diberi luluran yang terbuat dari daun merak, kunyit, bunga kenanga, dan beras yang telah dihaluskan. Dipekarangan rumah juga disediakan wadah berisi air bunga untuk keperluan mandi calon pengantin. Selain itu air merang pun tersedia untuk keramas.

Sesudah acara mandi dan keramas selesai, pernikahan adat bali akan dilanjutkan dengan upacara di dalam kamar pengantin. Sebelumnya dalam kamar itu telah disediakan sesajen. Setelah masuk dalam kamar biasanya calon pengantin wanita tidak diperbolehkan lagi keluar dari kamar sampai calon suaminya datang menjemput. Pada saat acara penjemputan dilakukan, pengantin wanita seluruh tubuhnya mulai dari ujung kaki sampai kepalanya akan ditutupi dengan selembar kain kuning tipis. Hal ini sebagai perlambang bahwa pengantin wanita telah bersedia mengubur masa lalunya sebagai remaja dan kini telah siap menjalani kehidupan baru bersama pasangan hidupnya.


- Jual Cake Ulang Tahun Bali
- JUAL ES KRIM PESTA MURAH DI BALI

Mungkah Lawang (Buka Pintu):

Seorang utusan Mungkah Lawang bertugas mengetuk pintu kamar tempat pengantin wanita berada sebanyak tiga kali sambil diiringi olehseorang Malat yang menyanyikan tembang Bali. Isi tembang tersebut adalah pesan yang mengatakan jika pengantin pria telah datang menjemput pengantin wanita dan memohon agar segera dibukakan pintu.

Upacara Mesegehagung:

Sesampainya kedua pengantin di pekarangan rumah pengantin pria, keduanya turun dari tandu untuk bersiap melakukan upacara Mesegehagung yang tak lain bermakna sebagai ungkapan selamat datang kepada pengantin wanita, kemudian keduanya ditandu lagi menuju kamar pengantin. Ibu dari pengantin pria akan memasuki kamar tersebut dan mengatakan kepada pengantin wanita bahwa kain kuning yang menutupi tubuhnya akan segera dibuka untuk ditukarkan dengan uang kepeng satakan yang ditusuk dengan tali benang Bali dan biasanya berjumlah dua ratus kepeng

Madengen–dengen:

Upacara ini bertujuan untuk membersihkan diri atau mensucikan kedua pengantin dari energi negatif dalam diri keduanya. Upacara dipimpin oleh seorang pemangku adat atau Balian

Mewidhi Widana:

Dengan memakai baju kebesaran pengantin, mereka melaksanakan upacaraMewidhi Widana yang dipimpin oleh seorang Sulingguh atau Ida Peranda. Acara ini merupakan penyempurnaan pernikahan adat bali untuk meningkatkan pembersihan diri pengantin yang telah dilakukan pada acara acara sebelumnya. Selanjutnya, keduanya menuju merajan yaitu tempat pemujaan untuk berdoa mohon izin dan restu Yang Kuasa. Acara ini dipimpin oleh seorang pemangku merajan

Mejauman Ngabe Tipat Bantal:

Beberapa hari setelah pengantin resmi menjadi pasangan suami istri, maka pada hari yang telah disepakati kedua belah keluarga akan ikut mengantarkan kedua pengantin pulang ke rumah orang tua pengantin wanita untuk melakukan upacaraMejamuan/menerima tamu. Acara ini dilakukan untuk memohon pamit kepada kedua orang tua serta sanak keluarga pengantin wanita, terutama kepada para leluhur, bahwa mulai saat itu pengantin wanita telah sah menjadi bagian dalam keluarga besar suaminya. Untuk upacara pamitan ini keluarga pengantin pria akan membawa sejumlah barang bawaan yang berisi berbagai panganan kue khas Bali seperti kue bantal, apem, alem, cerorot, kuskus, nagasari, kekupa, beras, gula, kopi, the, sirih pinang, bermacam buah–buahan serta lauk pauk khas Bali.

Sumber : pura-kebonagung.blogspot.com/.../perkawinan-menur...
Diposkan oleh Jero Mangku Nyoman Pica di 00.14 



Credit: https://www.facebook.com/yan.otonksidakarya


Recommended Download
Download Anime Movie Sub Indonesia